Mendung
bergelayut diatas sekumpulan orang yang sedang bergerombol mengitari liang di
sebuah pemakaman umum di kota Surabaya yang panas. Suasana sedih tampak jelas
dari raut muka para hadirin di tempat itu. Walau bermuka tegar dan berusaha tak
menunjukkan kesedihannya, tapi hati Antok meraskan kehilangan yang amat dalam.
Edo adalah sahabatnya sejak SMU dan sekarang meninggalkannya untuk
selamanya.
Dengan
tatapan tajam pada jenazah yang diturunkan ke liang lahat, Antok melepas
sahabatnya yang telah gigih berjuang melawan penyakit kanker selama satu tahun
terakhir ini. Kembali ke rumah duka, Antok hanya duduk dilantai dipojok kamar
tempat sahabatnya mengehembuskan nafas terkahir. Dia hanya melamum mengenang
kejadian 2 hari yang lalu dimana Edo yang terbaring lemah diatas tempat tidur
dalam kamar itu bercerita tentang rencana pelangsungan pernikahan yang sedang
digagasnya. Dalam hati Antok merasakan sebuah peristiwa yang sangat ironis dari
rencana sahabatnya itu.
Hampir semua
yang berada dalam rumah duka tersebut masih meneteskan air matanya kecuali
Antok. Sementara diluar masih ramai para teman Edo yang juga temannya
bercakap-cakap mengenang seorang teman yang baru saja dimakamkan. Seorang teman
mengajak Antok keluar untuk ikut bercakap-cakap dan menerima tamu, tapi Antok
hanya terdiam saja. Calon mempelai Edo terlihat masih tersedu-sedu diruang
tengah berusaha ditenangkan oleh keluarga sahabatnya. Melihat kejadian itu,
Antok juga ingin menangis tapi otaknya yang penuh kenangan terhadap sahabatnya
mampu menghibur hatinya yang penuh kesedihan. Ingatannya kembali pada masa
lalu, masa dimana ia dan sahabatnya sering menghabiskan waktu bersama untuk
mempelajari hal-hal yang berbau teknologi komputer. Kebersamaan Antok dengan
sahabatnya yang baru saja meninggal itu naik turun karena kesibukan
masing-masing.
Sejak
sahabatnya pindah kembali ke kota Surabaya, kebersamaan Antok dan sahabatnya
kembali seperti saat-saat mereka di sekolah. Walau tak banyak yang dilakukan
Antok di rumah duka sahabatnya kecuali diam dan merokok, tapi ia tak segera
pulang hingga malam hari. Merasa merepotkan keluarga sahabatnya, iapun dengan
berat hati berpamitan pulang. Ketika melangkahkan keluar dari pintu rumah itu,
sebuah suara yang datang dari arah belakang memanggilnya.
Rupanya
kakak perempuan sahabatnya dari luar kota yang telah lama tak dijumpainya minta
tolong untuk diantarkan ke hotel tempatnya menginap. Antok sebenarnya sudah
agak lupa dengan wajah Mbak Eka, kakak sulung sahabatnya yang lebih tua 2 tahun
darinya. Eka adalah satu-satunya anggota keluarga sahabatnya yang tidak begitu
dikenal oleh Antok. "Tok, Sorry ya ngrepoti, bisa minta tolong mengantar
aku dan Lusi balik?", tanya Eka tanpa basa-basi. "Bisa Mbak, saya lagi
lowong kok!", jawab Antok dengan serta merta. Eka lalu balik kembali
kedalam rumah dan tak lama kemudian keluar bersama Lusi, calon mempelai
sahabatnya. Berbeda dengan Mbak Eka, wajah Lusi masih tampak sembab dan
berjalan sangat pelan. "Sorry ya, aku nemenin Lusi di kursi belakang, kamu
sendirian didepan", kata Mbak Eka. "Nggak apa-apa kok Mbak",
jawab Antok.
Dilepas oleh
beberapa anggota keluarga sahabatnya sampai depan rumah, Antok segera
menyalakan mobilnya dan mengantar Lusi dan Mbak Eka. Didalam perjalanan Eka tak
henti- hentinya berusaha menghibur Lusi dan sesekali menasihatinya agar tetap
tabah. Antok mengendarai mobilnya dengan pelan sambil sesekali menanyakan arah
tempat tinggal keluarga Lusi pada Lusi karena sebelumnya memang belum pernah
ketempatnya. Sebelumnya memang Antok sudah dikenalkan sahabatnya pada Lusi,
tapi hal itu telah berlalu 6 bulan yang lalu saat ia diajak Edo ke Jakarta.
Karena perkenalan yang singkat dan tak pernah bertemu lagi hingga sekarang maka
Antok hanya mengenal Lusi sebatas yang Edo ceritakan padanya.
Setelah
sampai di rumah keluarga Lusi, Eka mengantarkan Lusi hingga ke kamarnya. Antok
yang duduk di ruang tamu mendengar isak tangis Lusi kembali muncul ketika akan
ditinggal Eka. Demi menenangkan calon adik iparnya yang batal sepeninggal Edo,
Eka terpaksa harus menunggu Lusi hingga tenang kembali. Sementara itu, Antok
yang banyak diam ditemui oleh ayah Lusi di ruang tamu. Dalam benak Antok timbul
sebuah penasaran mengenai Eka. Dia heran terhadap ketabahan Eka menerima
kematian adik kandungnya. Dan yang membuatnya heran lagi adalah sikap Eka yang
menunjukkan kebijaksanaan dalam tutur katanya yang lembut ketika menenangkan
Lusi.
Sebuah hal
yang sulit bagi seseorang yang berduka cita mendalam tapi mampu mengendalikan
emosinya apalagi mengendalikan emosi orang lain. Antok tak mengenal Eka secara
langsung tapi dari cerita-cerita Edo dan anggota keluarganya yang lain, ia
mengetahui bahwa Eka merupakan wanita karier dengan prestasi yang membanggakan.
Walau umurnya telah menginjak kepala tiga tapi ia masih melajang. Antok yakin
bahwa kelajangan Eka bukan disebabkan oleh penampilannya. Penampilan Eka meski
tak menyolok tapi sangat menarik. Dengan tinggi 165 cm, berat tak lebih dari 60
kg, tubuh atletis dan berparas manis mampu membuatnya dengan mudah memilih pria
yang disukainya bila ia mau. Tapi mungkin karena pekerjaannya sebagai manajer
HRD di sebuah perusahaan asing di Jakarta banyak menyita waktunya sehingga saat
ini ia belum berkeluarga.
Jam dinding
rumah keluarga Lusi berdenting hingga 11 kali ketika Eka mengajak Antok untuk
berpamitan pada kedua orang tua Lusi. Seperti sebelumnya, Antok mengendari
mobilnya tanpa banyak bicara. Dia hanya menanyakan nama hotel tempat Eka
menginap. Berkali-kali Eka membuka bahan pembicaraan tapi Antok tetap tak
banyak komentar. Sesampai didepan pintu masuk hotel, Antok menghentikan
mobilnya dan berpamitan langsung pada Eka. Semula Eka memang hanya ingin
diturunkan di pintu masuk hotel. Tetapi setelah melihat seseorang yang
dikenalnya dari kejauhan ia meminta Antok untuk mengantarnya kekamar. Wajah
tenang Eka berubah menjadi gelisah saat turun dari mobil.
Antok memang
tak tahu apa yang terjadi pada Eka tapi ia merasakan ada sesuatu. Ketika
melewati lobby hotel, seseorang pria menyapa dan menghentikan langkah mereka
berdua. Eka menanggapinya dengan acuh tak acuh meski tetap meladeninya bicara.
Merasa bukan urusannya, Antok mengambil jarak dari Eka. Seakan tak mau jauh
dari Antok, Eka memegang pergelangan tangan Antok dan menariknya agar tetap
berada disampingnya. Pria itu memperhatikannya dengan wajah cemburu. Dalam
keadaan masih berdiri, pria itu berbincang pada Eka dan berusaha membujuknya
segera balik ke Jakarta dengan berbagai alasan perihal urusan kantor tanpa
perduli terhadap kedukaan Eka sepeninggal adiknya. Dengan tenang Eka
meladeninya dan dapat membalik kata-kata pria tersebut karena dia tahu maksud
sebenarnya yang tak terungkap dari omongan pria tersebut. Antok tetap saja diam
tak ingin mencampuri urusan Eka dan setiap kali berusaha mengambil jarak, gandengan
Eka pada pergelangan tangannya mampu menahannya.
Kesabaran
pria itu mulai sirna. "Meskipun Mr. Smith bos kamu telah memberimu cuti 5
hari, tapi dia pasti akan menjadikanmu kambing hitamnya bila harga saham
perusahaan jatuh dalam minggu ini!", kata pria itu dengan nada tinggi.
Kata-kata itu membuat Eka terdiam karena dia merasa omongan pria itu ada
benarnya. "Maaf om, bukannya mau mencampuri urusan, tapi bukankah saham
perusahaan "X" habis rebound kemarin? Menurut prediksi malah akan
terus naik minggu ini karena masih under value. Dan lagi bukankah pasar yang
menentukan?", celetuk Antok dengan tenang tapi mengejutkan Eka maupun pria
itu. Ucapan Antok mengingatkan Eka pada berita dari lantai bursa kemarin dan
semakin mengukuhkan pendiriannya untuk tidak segera kembali ke Jakarta. Pada
saat yang sama, pria itu merasa sangat marah pada Antok karena mencampuri
urusannya dan mematahkan argumennya.
"Tahu
apa kamu tentang bursa saham?", tanya pria itu dengan nada menghina dan
mendekat pada Antok. Pria itu berusaha agar dapat berkelahi dengan Antok untuk
melampiaskan rasa kekesalannya yang sudah muncul sejak tadi. Tapi Antok hanya
diam dan menggeleng kepala, sedikitpun tak terprovokasi. Sumpah serapah yang
diterima Antok selanjutnya hanyalah bagai angin lewat tanpa sedikitpun mengusik
emosinya yang ikut terkubur bersama jenazah sahabatnya.
Antok tetap
diam berdiri ditempat, tegar dan pasrah seakan siap menerima apapun membuat
pria itu makin marah dan mendorong- dorongnya dengan keras tapi dicegah oleh Eka.
Datangnya beberapa satpam dan pegawai hotel tersebut membuat pria itu malu dan
segera meninggalkan tempat itu. Sepeninggal pria itu Eka menggandeng tangan
Antok mengajaknya ke arah lift untuk menuju kekamarnya di lantai 4. "Maaf
ya Tok, aku jadi ngrepotin kamu!", kata Eka sesampai didalam kamar.
"Nggak apa-apa kok Mbak", jawab Antok tanpa ekspresi. "Sebentar
ya aku ganti pakaian dulu", kata Eka langsung masuk ke kamar mandi.
"Tok, kamu pandai masalah saham juga ya!", puji Eka sewaktu keluar
dari kamar mandi tanpa mengenakan lagi celana jeans- nya. Pujian Eka memotong
lamunan Antok yang sedang menatap pemandangan malam kota Surabaya dari jendela
kamar hotel.
Setelah
memutarkan badan ke arah ucapan Eka ia melihat sosok wanita cantik berkaki
indah nan mulus hanya mengenakan kemeja lengan panjang dan bercelana dalam
saja. Antok memperhatikan Eka yang sedang berjongkok mengambil minuman kaleng
dari lemari es kecil. "Maaf Mbak, maksud saya tadi bukannya sok tahu soal
saham, saya hanya penasaran soal saham perusahaan Mbak, saham yang baru saja
rebound apalagi masih under-valued bisa kembali anjlok lagi seperti dibilang
orang itu", ungkap Antok dengan nada datar. "Omongan pria itu hanya
mengada- ada, dia itu yang sok tahu, analisa sahammu cukup jitu", kata Eka
sedikit menggoda sambil menyerahkan minuman kaleng pada Antok. "Analisa
berita bukan analisaku", kata Antok tanpa ekspresi sedikitpun. Eka menatap
pemuda yang duduk didepannya dan lagi sibuk membuka kaleng dengan rasa kagum.
Hatinya
merasa bangga pada adiknya yang tak salah memilih sahabat. "Tok, aku bisa
minta tolong lagi? Tapi kalau kamu nggak bersedia nggak apa-apa!", tanya
Eka. "Nggak usah sungkan Mbak, kalau bisa ya aku bersedia", jawab
Antok sambil mengusap ceceran minumannya di bibir. "Keberatan nggak kalau
kamu bermalam disini untuk jagain aku malam ini. Soalnya pria tadi baru saja
kuputus 2 hari yang lalu dan kelihatannya masih belum bisa terima. Aku takut
kalau tiba-tiba ia ngelabrak aku lagi seperti tadi", ungkap Eka.
"Nggak masalah kok Mbak", jawab Antok. "Pacarmu apa nggak marah
kalau tahu kamu menginap di hotel berdua dengan cewek?", tanya Eka agak
penasaran. "Belum punya, Mbak!", jawab Antok singkat. Berbekal salah
satu gelar sarjana yang dimilikinya, psikologi, ditambah dengan pengalamannya,
Eka meyakini bahwa Antok tidak berbohong dengan jawabannya. Keyakinan atas
jawaban Antok beserta sikapnya membuat Eka merasa terhibur. "Tok, kalau
ngantuk tidur aja disampingku, tempat tidurnya besar kok", ajak Eka sambil
membaringkan badan dan menarik selimut.
"Silakan
Mbak tidur dulu, saya nggak ngantuk kok", tolak Antok halus dan kembali
termenung dikursinya menatap langit dengan pandangan kosong dari balik jendela
kamar hotel. Bagi Antok saat ini meninggalnya Edo masih memberinya perasaan
hampa dalam hatinya seakan mengunci pintu emosi dan nafsunya. Penolakan Antok
akan ajakannya menimbulkan sedikit kekecewaan pada Eka, meskipun sepenuhnya
dapat memaklumi situasi dan kondisi Antok. Dalam benaknya ia mempertanyakan
kembali perasaan kecewanya. Sejak melihat kembali Antok siang tadi setelah
waktu yang sekian lama, ia sudah menganggap pemuda itu sebagai adiknya. Dan ia
yakin Antok menganggapnya sebagai kakak yang tak pernah dia miliki. Tapi Eka
heran pada perasaannya sendiri.
Munculnya
getaran lain sewaktu mendengar jawaban singkat Antok yang belum punya pacar dan
timbulnya rasa sedikit kecewa tadi membuatnya semakin penasaran. Dalam
pembaringannya Eka masih dapat melihat sosok Antok yang sedang duduk menerawang
ke langit. Keberadaan Antok sekamar dengannya memberinya selimut rasa aman yang
lebih hangat dari selimut yang sedang dipakainya. Kehangatan itu membawanya ke
alam mimpi. Berjam-jam Antok hanya duduk sambil terus menggali kembali
ingatannya ketika bersama Edo. Seperti orang gila, Antok sesekali tersenyum
seorang diri.
Tiap detik
waktu berlalu membawa ingatannya setitik demi setitik semakin menuju masa-masa
akhir berhembusnya nafas Edo. Tak ada senyum lagi. Setetes demi setetes air
matanya meleleh hangat di kedua pipi dinginnya. Suasana hening kamar dan
sejuknya AC kamar hotel menambah kerinduannya pada sahabatnya yang belum 24 jam
meninggalkannya untuk selamanya. Semakin kuat ia menahan perasaannya, isaknya
semakin dalam. "Antok, kamu Kenapa?", suara khawatir Eka mengagetkan
Antok. "Nggak apa-apa Mbak, masih gelap kok, tidur aja lagi!", jawab
Antok sambil mengusap air matanya berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Eka yang
khawatir pada keadaan Antok dapat menebak beban kesedihannya. Eka turun dari
tempat tidurnya dan berjalan menuju ke tempat duduk Antok. Lalu ia duduk di
kursi yang berseberangan meja dengan kursi yang diduduki Antok. "Tok,
putar kursimu dan mengobrol denganku, tak baik membenam kesedihan seperti
itu", ucap Eka. Walau menuruti perintah Eka untuk memutar kursi dan
berhadapan dengannya tapi Antok masih menyanggah perasaan sedih yang
membebaninya pada Eka. "Kamu nggak usah merasa malu menangis didepanku.
Aku tahu bahwa kamu sangat dekat dengan Edo. Selain Lusi aku dapat menebak
bahwa kamu orang selain keluargaku yang amat sangat kehilangan Edo. Bahkan
mungkin beban kesedihanmu bisa-bisa lebih berat daripada keluargaku
sendiri", ungkap Eka panjang lebar pada Antok. "Kasihan Edo, masih
muda seumur denganku, karier mantap, calon pendamping sudah punya, tabungan
hari tua juga cukup, tapi penyakitnya..", kata Antok tak mampu meneruskan
kata-katanya sambil sesenggukan. Eka bangkit dari tempat duduknya mendekat ke
tempat Antok duduk. Tapi Antok sudah terburu menghamburkan tubuhnya ke tempat
tidur dan membenamkan mukanya diatas bantal. Eka menyusulnya dan memeluk
pundaknya. "Sudah Tok, lepaskan kepergian adikku! Biarkan dia tenang!
Sahabat sejati tak akan menambah penderitaan sahabatnya yang pergi,
bukan?", suara lirih Eka diatas telinga Antok yang masih menelungkupkan
mukanya. Nasihat Eka menyadarkan Antok dari keterpurukan suasana kalut
hatinya.
Sedikit demi
sedikit beban kesedihan Antok mulai berkurang. Seiring dengan itu ia mulai
membalikkan badannya pelan. Kepalanya menengadah ke arah plafon dengan muka
masih berurai sisa-sisa air matanya. Sentuhan tangan Eka yang lembut
mengusapnya. Keduanya sangat dekat hingga satu sama lain dapat merasakan nafas
masing-masing. Membangkitkan kembali kesadaran emosi dan nafsu Antok. Antok
bingung dengan apa yang sedang dialaminya hingga tak mampu mengeluarkan sepatah
kata maupun berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukannya adalah memeluk bahu Eka
yang saat ini tengah menidurkan kepalanya diatas dada Antok. Eka merasakan
pelukan tangan Antok pada bahunya dengan hati tersenyum.
Degup
jantung yang didengar Eka dari dada Antok bagaikan irama "nina-bobo"
yang mengantarkannya kembali tidur. Terbuai dengan kehangatan tubuh Eka yang
sedang memeluknya, Antok pun ikut tertidur. Sinar matahari pagi membangunkan
Eka dari tidurnya. Bangkit pelan ia memberanikan diri mendekatkan mukanya pada
muka Antok yang masih tertidur pulas. Ditatapnya wajah sahabat adiknya itu.
Dalam hati Eka menanyai dirinya sendiri, dia heran mengapa dia bisa merasa
sangat dekat dengan Eko. Padahal sebelumnya ia sangat jarang bertemu dengannya
dan telah lama tak bertemu dengannya.
Pertemuan-
pertemuan sebelumnya pun terjadi tanpa sengaja dan sangat sebentar. Memang Edo
pernah menceritakan perihal Antok tapi itupun tidak detil dan banyak yang sudah
ia lupakan. Yang ia tahu pasti adalah Antok merupakan sahabat Edo dalam masa
lebih dari 10 tahun. Dan keluarganya sudah menganggap Antok seperti anggota
keluarganya begitu pula keluarga Antok juga sudah menganggap Edo sebagai
keluarganya. Kebiasaan rutin Eka setelah bangun adalah segera mandi untuk
menyegarkan badan. Tapi kali ini ia merasa berat untuk melakukannya. Ia masih
terbelenggu oleh perasaannya dan belum beranjak dari tempatnya. Tak kuasa
menahan kehendak hatinya, dengan pelan ia mengusapkan bagian belakang jari-jari
tangannya pada wajah Antok yang imut dan lugu selagi pulas. Usapannya pelan dan
lembut penuh perasaan. Kembali hatinya menanyakan perasaannya pada Antok.
Hatinya tak mau diajak kompromi untuk menganggap Antok hanya sebagai adiknya
sepeninggal Edo.
Perasaannya
menginginkan lebih dari itu. Semakin keras usaha Eka untuk melawan perasaannya
semakin gundah pula hatinya. Tapi berkat pengalamannya berhubungan dengan lawan
jenisnya, akhirnya Eka dapat menepis semua itu dengan rasionilnya. Rasio
sadarnya menyatakan bahwa perasaannya pada Antok muncul hanya karena situasi
dan kondisi serta pengaruh gairah nafsunya yang sedang memuncak. Ciuman bibir
basahnya ia layangkan pada kening Antok untuk tanda ucapan perpisahan bagi
perasaannya pada Antok. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi, khawatir ciumannya
akan membangunkan Antok. Dalam guyuran air shower, rasio pikiran Eka ikut jatuh
terguyur. Perasaan yang telah ditepisnya kembali menghinggapi hati Eka.
"Kenapa
aku sangat tertarik pada Antok? Apakah ini bukan sekedar ajakan nafsu? Apakah
hal ini benar-benar kata hatiku? Apakah aku harus mengikuti kata hatiku?
Ataukah harus kuhalau semua perasaan itu? Tapi bagaimana caranya? Bagaimana
dengan Antok? Bagaimana sikapnya kalau dia mengetahui perasaanku
padanya?", itulah sebagian pertanyaan yang muncul dibenak Eka ketika ia
mandi. Ketukan pintu kamar dan suara perbincangan antara Eka dengan pegawai
room service hotelmembangunkan Antok dari tidurnya. Antok agak bingung merasa
seakan-akan ingatannya hilang sebagian. Lalu dilihatnya Eka dengan troli
makanan. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih dan akhirnya ia ingat akan semua
kejadian kemarin hingga saat ini.
"Tok,
kamu kupesankan nasi goreng untuk sarapan", ujar Eka sambil buru-buru
mengenakan celana jeansnya sementara masih mengenakan piyamanya. Lalu Eka memutar
badannya dan mengganti piyamanya dengan kaos putih berkerah. Celana dalam dan
BH warna hitam yang dikenakannya sempat terlihat oleh Antok tanpa sengaja.
Pemandangan Eka berganti pakaian itu membuat ereksi pagi yang sedang dialami
Antok semakin kuat. Segera saja ia turun dari tempat tidurnya dan menuju ke
kamar mandi karena tak ingin malu pada kakak sahabatnya itu. Di kamar mandi ia
hanya buang air kecil, membasuh muka dan menyempatkan gosok gigi dengan sikat
gigi dalam plastik dari fasilitas kamar hotel.
"Mbak,
sikat gigi hotelnya kupakai", kata Antok pada Eka yang lagi minum kopi
panasnya dengan hati- hati. "Nggak apa-apa, aku juga nggak akan
memakainya", jawab Eka. "Cepat minum kopimu sebelum keburu dingin, eh
kamu suka kopi atau nggak?", lanjutnya. "Suka malah sudah jadi
kebutuhan, Mbak kok repot-repot sih!", balas Antok sedikit berbasa-basi.
"Hitung-hitung punya bodyguard yang dibayar pakai sarapan", canda Eka
sambil tersenyum manis pada Antok. Antok pun membalasnya dengan senyuman dan
segera menghabiskan sarapan yang telah dipesankan Eka. "Omong-omong,
mandimu cepat sekali, Tok!", komentar Eka seusai sarapan. "Memang
nggak Mbak", jawab Antok santai. "Apa? Kamu nggak mandi.. Uhh.. jorok
kamu!", komentar Eka yang sempat keheranan.
"Sudah
dari dulu Mbak", kata Antok polos tanpa rasa bersalah. "Pantas aja
kamu belum dapat pacar!", olok Eka. "Ah, Mbak bisa aja! Saya memang
belum usaha cari kok Mbak!", tangkis Antok. "Hmm.. rupanya kamu
pinter ngomong juga ya, kukira kamu pendiam", kata Eka. "Soalnya
kuperhatikan sejak kemarin, kamu banyak diam", imbuh Eka. "Bukannya
gitu Mbak, tapi kenyataannya memang seperti itu", jawab Antok. "Terus
kalau sudah usaha, apa kamu yakin dan pasti bisa dapat pacar?", kejar Eka.
"Belum, namanya juga usaha, Mbak", jawab Antok tanpa beban. Eka
kemudian berdiri ke depan cermin dan menyisir rambutnya serta melanjutkannya
dengan sedikit merias wajahnya. Sambil memperhatikan Eka, Antok berceloteh,
"Mbak
meskipun aku belum berusaha cari pacar tapi sudah ada kok cewek yang memperhatikan
aku". Eka hanya melirikkan matanya ke arah Antok sambil tersenyum penuh
arti. Senyuman bibir mungil Eka diantara kedua lesung pipitnya membuat Antok
terpana sesaat dan salah tingkah. "Eh, Mbak.. mm.. saya bisa bertanya
sedikit soal Edo?", kata Antok mengalihkan pembicaraan setelah ia teringat
perihal yang lebih serius. "Soal apa Tok?", tanya Eka sambil kembali
ke tempat duduknya. "Ini soal hutang piutang Edo dengan saya, apa bisa
kuutarakan pada bapak dan ibunya Mbak Eka?", tanya Antok kemudian.
"Sebaiknya jangan diutarakan hari ini, tunggulah 2-3 hari lagi, biar bapak
dan ibu agak tenang dulu", jawab Eka. Antok hanya mengangguk mendengar
penjelasan Eka.
"Begini
saja, kalau kamu memang sedang butuh kira-kira berapa hutang Edo biar
kutanggung dulu", kata Eka agak tegang. "Mbak, kalau Edo yang
berhutang pada saya, sudah kurelakan sejak kemarin, tapi ini kebalikannya
Mbak", kata Antok. "Maksudmu?", tanya Eka kebingungan.
"Saya yang masih punya tanggungan pada Edo makanya saya merasa punya beban
hutang", jelas Antok. "Kalau begitu sewaktu-waktu kamu bisa
mengembalikannya baru kamu ngomong ke bapak dan ibu", kata Eka kembali
tenang. "Mbak, ini bentuknya bukan uang tunai", kata Antok. Melihat
Eka yang jadi bingung oleh penjelasannya, Antok menceritakan dengan lebih rinci
lagi soal investasi Edo yang dipercayakan padanya.
Dari
penjelasan Antok akhirnya Eka mengetahui bahwa Edo memutarkan sebagian
tabungannya di pasar saham bersama Antok. Dan sewaktu Edo meninggal sebagian
besar investasi Edo masih berbentuk saham yang belum diuangkan didalam account
Antok. Dan saat ini Antok sedang tidak tahu apakah investasi Edo tersebut ingin
dicairkan atau terus diputar karena si empunya sudah tiada. Tapi akhirnya Eka
dapat membantu memberinya saran solusi mengenai hal itu. "Sudah lama kamu
bermain saham Tok?", tanya Eka. "Hampir 2 tahunan Mbak, tapi Edo baru
ikut setelah kerjanya pindah kesini, ya kira-kira 8 bulanan kalau Edo",
jelas Antok. "Makanya semalam kamu tahu soal saham, sungguh nggak mengira
aku", kata Eka.
"Semalam
itu sebenarnya saya penasaran dengan perkataan temannya Mbak dan ingin
memancing keluarnya informasi baru mengenai saham perusahaan Mbak bekerja kalau
memang ada, eh tahunya malah dapat caci- maki", jawab Antok. "Tentu
saja Tok, kamu cari informasi dengan orang yang lagi cemburu padamu",
komentar Eka. Antok terbengong mendengar komentar Eka, lalu beranjak dari
kursinya untuk menghindar dari subyek yang dikomentari Eka. "Mbak, aku
pamit pulang dulu ya!", ujar Antok. "Eh, tunggu! Tolong anterin aku
ke rumah lagi ya", kata Eka. "Iya Mbak, saya kan sudah dibayar
sarapan, jadi ya tidak bisa nolak", canda Antok sambil menuju ke arah
pintu kamar.
Eka senang
mendengar Antok dapat bergurau dan melupakan kesedihannya tapi juga agak gemas
terhadap kata-kata yang dilontarkan Antok karena seperti tak pernah serius.
Setelah menyalakan mesin mobil Antok tak segera melajukan kendaraannya. Ia
menyempatkan mengambil hand phone nya dari laci dashboard didepan Eka. Tanpa
sengaja tangannya bergeser dengan paha Eka. "Oh, maaf Mbak!", kata
Antok. "Memangnya kenapa?", tanya Eka sengaja bergurau. "Nggak,
eh nggak apa-apa!", jawab Antok dengan muka agak merah dan segera
menyibukkan diri dengan HP nya menunggu mesin mobilnya panas. Eka pun hanya
tersenyum melihat Antok salah tingkah.
Dalam
perjalanan mereka berdua banyak berbincang tentang keadaan kota Surabaya.
Mereka berdua juga saling menukar nomer HP masing-masing. Sesampai dirumah
orang tua Eka, Antok langsung melajukan mobilnya kembali tanpa mampir. Di
rumahnya yang sedang ramai dikunjungi oleh sanak famili keluarganya, Eka
kembali disibukkan oleh kesibukan- kesibukan yang berhubungan dengan
meninggalnya seseorang. Di sela-sela kesibukannya ia sempat menanyakan perihal
Antok pada adik-adiknya. Rupanya tak hanya Edo yang mengenal Antok tapi
adik-adiknya yang lain juga karena ia memperoleh informasi lebih banyak yang ia
perkirakan.
3 Hari
Kemudian Antok sedang bercakap-cakap dengan kedua orang tua Edo, ketika Eka
datang bersama Edi adiknya, dengan membawa bungkusan makanan. "Tok, kamu
kok tahu kalau ada makanan enak", ujar Eka. "Ayo Mas kita santap
bersama makanan ini", imbuh Edi. Belum sempat Antok berkomentar, Edwin si
bungsu keluar dari kamarnya sambil berteriak, "Kok lama sih kak, sudah
lapar nih!". "Ah kamu bisanya ngomel melulu, antrinya nih bikin kaki
capek", hardik Eka tak dihiraukan Edwin karena sudah berlari menyusul Edi
ke ruang makan. Tak mau ketinggalan Antok pun langsung menyusul Edi dan Edwin
meninggalkan sopan santunnya pada kedua orang tua sahabatnya. Ayah dan ibunya
Edo menyambut hal itu dengan bahagia karena kesedihan keluarga sepeninggal Edo
berangsur-angsur surut. Sewaktu Eka melangkahkan kaki ke ruang makan, Ayahnya
memanggilnya.
"Ini
Ka, tadi Antok menyerahkan ini tapi ayah masih belum mengerti meski Antok sudah
menerangkannya tadi", kata ayahnya sambil menunjukkan cek dan beberapa
lembar catatan. "Iya Ka, darimana sih kok Edo bisa dapat banyak
uang?", lanjut ibunya. Eka pun menerangkan dengan bahasanya hingga kedua
orang tuanya mengerti. Setelah agak mengerti, ibunya berkomentar, "Edo tak
pernah cerita soal ini pada siapapun, beruntung ia punya sahabat seperti
Antok". Komentar itu diiyakan oleh ayahnya dan wajah Eka yang berbinar
haru. Ramainya ruang makan terdengar hingga ruang tengah dan mengingatkan Eka
pada makanan yang dibelinya. Bergegas ia pun bergabung dengan 3 pemuda yang
sedang melahap makan malam sambil bersenda gurau.
"Awas
kalian kalau sampai aku nggak kebagian", ancam Eka. Antok, Edi dan Edwin
saling menyalahkan dan mengolok yang makannya banyak. Ketiga pemuda itu telah
menyelesaikan makannya ketika Eka mengambil lauk pauk yang ada di meja.
"Sudah Kak, meski ada Mas Antok nggak usah malu-malu, ambil aja yang
banyak seperti biasanya", goda adiknya Edwin. "Iya, kemarin bisa menghabiskan
3 potong, masa sekarang cuman satu", timpal Edi. "Makanya kakakmu
belum dapat jodoh, rupanya calon-calonnya takut nggak bisa memberi jatah",
tambah Antok yang langsung disambut tawa oleh Edi dan Edwin. Eka berusaha
menahan emosinya dengan wajah bersungut dan diam seribu bahasa. "Ngambek
nih ye!", goda Edi. "Marah, ya?", imbuh Edwin. "Eh, kalian
kesini sebentar!", ajak Antok pada Edi dan Edwin agar duduk mendekat
disampingnya. "Coba lihat, wajah kakakmu, kalau lagi ngambek gitu tambah
cakep ya, tapi kenapa jodohnya pada lari ya!", kata Antok sambil tertawa
diikuti Edi dan Edwin.
Mendengar
kata-kata Antok, Eka pun tak kuasa menahan amarahnya. Ia langsung berdiri
memegang piring kosong yang ada disampingnya. Ketiga pemuda yang ada didepannya
segera saja lari ketakutan dan berhamburan dari ruang makan. Dan Eka pun
kembali duduk untuk melanjutkan makannya karena memang dia hanya berniat
menggertak saja. Sesaat kemudian ayah dan ibunya ikut duduk di meja makan.
"Kamu apakan mereka sampai pada lari keluar rumah?", tanya ayahnya
pada Eka. "Uhh.. itu Yah, Edi dan Edwin kompak banget sama Antok menggoda
aku", keluh Eka. "Mereka kan sudah kumpul lama jadi wajar kalau
kompak, kamu sih jarang pulang!", kata ayahnya. "Kok aku yang salah,
mereka itu yang kekanak-kanak-an", tangkis Eka.
"Mereka
kalau sudah kumpul memang gitu, Edo yang mau nikah pun juga gitu kalau sudah
kumpul dengan Antok", kata ibunya. Dalam hati, Eka tertawa dengan
kelakuannya sendiri. Ia merasa menjadi muda kembali ketika bergurau dengan
adik-adiknya dan Antok. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan selama
sibuk bekerja di Jakarta yang selalu menuntut kedewasaannya. Keberadaan Antok
juga memberi suasana baru dalam hatinya, sayangnya hal itu baru muncul
sepeninggal Edo. Ketertarikannya pada Antok semakin bertambah walau tanpa
rayuan. Sebaliknya ia malah lebih sering mendapat gurauan lugu nan cerdik tanpa
dibuat-buat setiap kali berbincang dengannya pada tiap kali temu dalam 2 hari
ini. Tak jarang pula ia menerima godaan kekanak-kanak-an dari Antok. Semua itu
cukup mengusik emosinya pada daya tarik Antok yang aneh dan belum pernah ia
jumpai pada pria-pria yang dikenalnya.
Dari
pengetahuan dan pengalamannya, Eka tahu bahwa Antok memiliki wawasan yang luas
dan sangat dalam di beberapa bagian. Ia juga tahu bahwa Antok memiliki pola
pikir mirip seperti teman-teman dan bos-bosnya yang bule walau tak sepenuhnya
meninggalkan adat istiadatnya. Cara berpikir Antok juga cenderung praktis,
dewasa dan bijak. Sikap skeptis pada sekelilingnya sangat kuat membuatnya selalu
cepat merespon keadaan sekeliling. Satu hal yang membuat Eka penasaran adalah
kenapa Antok terlihat seperti menyembunyikan sifat-sifat positifnya dibalik
sifat-sifat kekanak-kanak-annya. Eka memperkirakan ada sesuatu yang ditakuti
oleh Antok. Sebuah dering HP nya membuyarkan lamunan Eka.
Setelah
berbincang lama ia menutup pembicaraan dengan rasa kecewa telah mengangkat
panggilan telepon dari pimpinannya tadi. Setelah berbincang sebentar dengan
kedua orang tuanya, ia pun bergegas masuk kamar dan mengemasi pakaiannya.
Sementara itu ayahnya memanggil Antok, Edi dan Edwin yang masih ngobrol dan
merokok di teras rumah. "Eh, kakak masa ngambek sampai keburu balik
malam-malam begini?", tanya Edwin pada Eka yang dilihatnya sudah siap-siap
bepergian. Raut muka Edi dan Antok pun juga kaget dan tegang merasa bersalah
pada Eka. Apalagi Eka tak kunjung membuka mulut. Hal ini disengaja Eka untuk
membalas godaan yang dialaminya tadi. "Mbak maafin kami deh, kami memang
keterlaluan menggodanya tadi", ujar Antok.
"Iya memang
kalian keterlaluan, sorry ya tak ada maaf bagi kalian", jawab Eka.
"Udah Ka, jangan bercanda lagi, ini udah malam, Malang itu nggak dekat
apalagi malam begini", kata ibunya. Walau masih bingung tapi ketiga pemuda
itu sudah merasa kalau dikerjai Eka yang sekarang lagi menahan tawanya.
"Rupanya kalian juga berat ya kutinggal", ejek Eka pada adik- adiknya
dan Antok. "Jelas dong adikmu merasa berat karena nggak ada lagi yang
membelikan makanan lezat", kata Antok spontan. "Heh, Mas Antok juga
ikut makan gitu lho", kilah Edi. "Tapi itu kan sedikit, cuman
ngicipin doang", balas Antok. "Enak aja, Mas Antok habis 2 piring kok
bilang cuman ngincipin doang", sergah Edwin. Perang mulutpun terjadi
antara Antok, Edi dan Edwin. Eka melihat pemandangan itu sambil tersenyum.
"Eh, sudah-sudah! Kalian kok seperti anak kecil saja, ini sudah
malam", bentak ayah Eka membuat semuanya terdiam. "Siapa yang bisa
mengantar aku malam ini?", tanya Eka sambil berharap Antok bisa.
"Yuk, kita antar kakakmu ke Malang, kita bisa menghirup udara
pegunungan", ajak Antok pada dua bersaudara itu. Tapi Edi dan Edwin
beralasan dengan kesibukannya masing- masing sehingga hanya Antok yang terlihat
bisa.
Satu jam
berselang, Antok dan Eka telah berkendaraan di jalanan luar kota
Surabaya-Malang. Antok melajukan kendaraannya dengan santai. Berdua mereka
menembus kegelapan malam sambil bercakap soal berbagai hal ringan. Setiap hal
yang mereka bicarakan selalu berkepanjangan seakan mereka berdua memperoleh
lawan bicara yang cocok. Diselingi canda dan tawa, mereka berdua merasakan
saat-saat yang tak akan mudah mereka lupakan. Waktu mendekati pukul 12 tengah
malam ketika mereka berdua sampai ditempat tujuan.
Di sebuah
pelataran hotel berbintang 1 yang mereka masuki telah menunggu 2 orang kolega
Eka. Antok menolak turun dari mobil ketika diajak Eka karena dia merasa tak ada
kepentingan dengan urusan perusahaan Eka. Tak lama setelah Eka masuk ke lobby
hotel, ia kembali ketempat Antok memarkir kendaraannya. "Tok, kamu tidur
di kamar ini ya, aku langsung rapat sampai pagi dan mungkin baru bisa ketemu
kamu lagi besok agak siang karena setelah rapat langsung menuju ke
perkebunan", kata Eka sambil menyerahkan sebuah kunci kamar hotel.
Antok segera
bergegas turun dari mobilnya dan masuk kedalam hotel mencari kamar yang
nomernya tertera di gantungan kunci yang dipegangnya. Dalam perjalanannya
menuju kamarnya, Antok sempat berjalan bersama-sama Eka sebelum akhirnya
berpisah di lobby. Dalam kesempatan itu, Antok menyempatkan curi-curi pandang
ke arah Eka. Wanita berparas manis dengan rambut hitam lurus sebahu yang berada
selangkah didepannya itu membuat hati Antok gusar. Sebuah perasaan yang telah
terpupuk di hati Antok makin tak kuasa ia hindari. Panah asmara yang menembus
hatinya ikut menyertai dinginnya kota Malang yang menembus jaketnya.
Tertegun
didepan sebuah acara TV yang ramai, pandangan Antok masih kosong dan hanya
terisi oleh bayang-bayang wanita berwajah lonjong agak oval dengan alis tebal,
mata bersinar, berhidung mancung, berlesung pipit dan berbibir mungil.
Bayang-bayang itu tak lain adalah Eka. Pikirannya berusaha berontak dan
menaklukkan hatinya, tapi semua itu sia-sia belaka. Hanya rasa kantuk akibat
lelah yang akhirnya menyapu kesadarannya hingga pulas. Sendiri di dalam kamar,
membuat Antok bermalas-malasan semenjak bangun. Bosan didalam ia pun keluar dan
berjalan-jalan disekitar hotel setelah membasuh muka. Setelah sarapan dengan
menu makan pagi yang telah disediakan hotel secara gratis, Antok duduk- duduk
di lobby sambil merokok dan membaca koran. Merasa puas, ia pun kembali ke
kamarnya untuk melanjutkan bermalas-malasan. Tak terasa waktu berjalan sangat
cepat. Eka kembali dengan raut muka terlihat lelah dan langsung membaringkan
tubuhnya di tempat tidur. Melihat Eka yang capek, Antok membantu melepaskan
sepatu yang masih dikenakan Eka.
"Urusannya
bagaimana Mbak?", tanya Antok yang hanya dijawab Eka dengan kata
"beres". "Jam berapa Mbak kita bisa pulang?", tanya Antok
lagi. "Santai Tok, aku masih capek!", jawab Eka sambil melelapkan
matanya. Antok lalu duduk di kursi yang tak berjauhan dengan tempat tidur dan
memandangi Eka yang terbaring dengan lemas. Meski matanya menutup tapi hati Eka
merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Matanya terbuka dan melihat Antok
yang masih duduk memperhatikan dirinya. "Tok, kamu kok duduk disitu, takut
ya dekat denganku? Ayo sini kalau berani!", tantang Eka dengan nada manja.
Mendengar tantangan itu, Antok memberanikan diri berbaring disamping Eka yang
masih telentang diatas tempat tidur.
"Hii..
dingin ya disini", sebuah kalimat meluncur dari bibir Eka sambil memeluk
tubuh Antok. Antok hanya diam bagai guling yang bernapas. Sedikit demi sedikit
kedua kepala mereka berdekatan dan saling bersentuhan. Eka memejamkan mata
dengan bibir sedikit terbuka, menunggu reaksi Antok. Tapi Antok hanya memandang
saja wajah Eka. "Ada apa Tok?", tanya Eka berbisik setelah membuka
kembali matanya. "Mbak cakep sekali", jawab Antok dengan pandangan
mata beradu dengan Eka. Perasaan Eka bergetar bagai lonceng yang berdentang
membawa bibir mungilnya menempel pada bibir Antok.
Tanpa
aba-aba, Antok melumat lembut bibir Eka. Gelombang asmara menyapu rasio mereka
berdua. Kuluman demi kuluman datang silih berganti baik dari Antok maupun Eka.
Pertautan dua bibir menghasilkan pergumulan lidah dalam kurungan asmara dan
nafsu. Sebuah persamaan yang tidak ada bandingannya dengan rumusan matematis
yang ada sampai saat ini. Saling memeluk masing-masing tubuh terjadi tanpa
mereka sadari. Gesekan tubuh dengan tubuh terasa nikmat bagai buaian mimpi walau
masih terhalang oleh pakaian yang masih dikenakan. Irama halus yang menjadi
awal berubah seiring dengan tindih menindih yang saling mereka lakukan pada
satu sama lainnya.
Rotasi
posisi mereka lakukan sambil berciuman bibir tanpa ada habisnya. Sesaat
kemudian, Eka menghentikan ciumannya pada bibir Antok. Berpandangan mata dengan
penuh arti, tangan Eka melepas kancing dan membuka resleting celana Antok.
Antok mereaksinya dengan membuka kancing kemeja Eka dengan pelan. Satu persatu
pakaian mereka berjatuhan dari tempat tidur. Duduk berhadap-hadapan, mereka
saling memandang tubuh bugil masing-masing. Lekuk-lekuk tubuh yang ada didepan
satu sama lainnya merasuki pikiran mereka dan mengundang selera Antok dan Eka.
Benak mereka terisi dengan rasa bahagia akan kenikmatan yang akan segera mereka
rengkuh. Waktupun terasa berhenti bagi keduanya. Api cinta menyulut asmara dan
mengobarkan nafsu yang telah sampai diubun-ubun Antok dan Eka.
Embun duka
telah mengering dan tak mampu lagi memadamkan apa yang akan terjadi. Titik
kritis dimana perbuatan ini masih dapat dicegah telah mereka lewati. Yang
tersisa saat ini hanyalah lampu hijau traffic light yang takkan padam walau
putus kabelnya. Pelan tapi pasti, Antok dan Eka merapatkan tubuhnya. Sambil
duduk beradu pandang, mereka berdua mengusap lembut bagian tubuh masing-masing.
Bibir Eka makin terbuka mengeluarkan desahan-desahan pendek ketika usapan
tangan Antok melewati daerah kemaluannya yang telah basah. Eka pun segera
membelai batang kemaluan Antok dengan perasaan. Lalu.. Merangkul dalam pelukan
masing- masing, menghantarkan hangat di tubuh pada lawannya. Kelembutan kulit
Eka menyentuh kulit berbulu milik Antok. Pelan-pelan Eka naik keatas pangkuan
Antok. Tangan Eka merarangkul bagian belakan leher Antok. Sedangkan Antok
memegang punggung Eka dan mengusapkan tangannya naik turun. Keduanya beradu
ciuman kembali dengan sangat-sangat mesra dan dekat.
Tiba-tiba
Eka melepaskan bibirnya dari bibir Antok sambil mendesah panjang,
"Ahh..". Batang kemaluan Antok yang tengah mendongkak keatas terselip
masuk kedalam liang kenikmatan Eka. Ciuman Antok mendarat di leher Eka membuat
ia tak kuasa untuk segera menurunkan tubuhnya dan membenamkan seluruh batang
kemaluan Antok kedalam lobang kenikmatannya. Eka pun mendesah makin keras dan
makin panjang, "Aaahh..". Lepas pulalah kecupan nikmat bibir Antok
pada leher Eka. Mata Eka yang sedang terpejam membelalak menatap pandang mata
Antok. Pandangan Eka bagai menembus kalbu Antok. Daya tarik keduanya sudah
seperti 2 magnet yang beda kutub. Bibir menganga Eka disambut dengan kuluman
bibir juga Antok.
Sedikit demi
sedikit Eka menggerakkan tubuhnya keatas kebawah di pangkuan Antok. Gerakan
pelan Eka sesekali membuat ciumannya terlepas dari bibir Antok dan berlanjut
dengan adu pandang. Dua tubuh saling menempel dan bergesek. Dua nafas saling
bersambung. Kulit bertemu kulit. Dada Antok bagai dibelai payudara Eka yang
menegang. Belaian punting Eka yang mengeras menyentuh puntingnya. Belaian yang
lain daripada yang lain. Irama gerakan naik-turun Eka terus berlanjut walau
pelan. "Ohh Mbak.. ohh..", ucap Antok dalam kenikmatan dengan mata
berkejap-kejap. Eka makin mempererat dekapannya dan berbisik pada telinga
Antok, "Tok, aaku mauu..". Tapi belum tuntas kalimatnya, Eka sudah
mengejang hebat tak kuasa menahan tumpahan kenikmatan dalam perasaannya yang
terdalam. Seakan mengerti apa kelanjutan kalimat Eka, Antok membalas bisikan
dengan bisikannya tepat ditelinga Eka, "Lepaskan Mbaak, ohh..".
"Ahh..", desah Eka tak bergerak lagi serta bergelinjang dalam
kehangatan dekapan Antok. Dinding-dinding liang kenikmatan Eka terasa berdenyut
mengantarkan tumpahan kebahagiannya. Cairan orgasme Eka yang membasahi batang
kemaluannya, dirasakan Antok bagai guyuran gelombang asmara. Sesaat kemudian
mereka berdua tak bergerak maupun bersuara.
Masih dalam
dekapan Antok, Eka lemas diatas pangkuan Antok sambil terpejam. Eka membelai
rambut Antok dengan rasa kasih sayang. Antok pun membalasnya dengan kecupan
dalam di pangkal leher Eka. Masih tegak bertopi baja bagai tentara siap perang
dalam kegelapan, batang kemaluan Antok tak kunjung keluar dari liang kenikmatan
Eka. Dengan segenap tenaganya, Antok mengangkat lalu membaringkan tubuh Eka.
Menindih diatas tubuh Eka, Antok memandangi kecantikan wajah Eka yang makin mempesonanya.
Tak kuasa menahan gejolak jiwanya, Antok kembali melayangkan ciumannya pada
bibir Eka.
Pertautan
lidah kembali terjadi walau sesaat. Bergerak pelan dan penuh perasaan, ia
menggerakkan pinggulnya naik- turun maju-mundur. Kaki-kaki Eka yang semula
terlempang lemas, kemudian mengapit kaki-kaki Antok yang tengah berada
diantaranya. Antok terus menggerakkan pinggulnya dengan irama yang
menghanyutkan. Membawa dirinya bersama Eka meniti tangga gairah menuju puncak
kenikmatan. Tangan-tangan Eka menggapai bantal dan seprei yang ada
disekelilingnya. Menggegamnya erat-erat seakan menahan sesuatu yang tak ingin
ia lepaskan lebih dahulu. Diiringi dengan desahan- desahan menggairahkan yang
jujur nan polos tak dibuat-buat. Pendakian bersama akhirnya mencapai tujuannya.
Gerakan Antok terhenti tiba-tiba dengan tubuh yang menegang. Didalam liang
kenikmatang Eka yang paling dalam, batangnya bergemuruh hebat. Berdenyut tiada
henti disambut dengan cengkeraman dinding liang. Kehangatannya melumuri
permukaan dinding, memicu sambutan selanjutnya. Melepas semua yang telah ia
tahan sejak tadi, Eka melenguh dalam kenikmatan, "Ooaah..". Tubuhnya
bergelinjang dalam dekapan Antok.
Waktu seakan
berhenti ketika denyut dan aliran kenikmatan mereka bersatu padu. Ledakan nafsu
asmara menyisakan bara kasih yang membahana didalam 2 jiwa yang sedang
berdekapan. Kecupan bibir Antok pada kening Eka menjalankan kembali alur waktu
yang telah terhenti beberapa saat. Lalu ia beranjak dari tindihannya pada tubuh
Eka dan berbaring disampingnya. Keduanya merasa lemas seakan tak ada lagi sisa
tenaga yang mampu mereka keluarkan kecuali mendekapkan diri satu sama lain
dibawah kehangatan selimut. Dan tertidur pulas hingga sore. Dalam perjalanan
pulang, mereka berdua hampir tak mengeluarkan suara. Sikap Antok berubah dingin
dan Eka juga tak mengerti apa yang harus diperbuat menanggapi sikap Antok
tersebut.
Walau
berbagai usaha mengajak bicara yang dilakukan Eka pada Antok selalu dijawab
dengan hanya beberapa patah kata tapi ia tetap merasa bahwa Antok adalah pria
idamannya. Sesampai di depan rumah keluarga Eka, Antok menurunkannya dan hanya
mengucapkan kata perpisahan pendek lalu tancap gas pulang. Diatas ranjangnya,
Antok bersiap untuk tidur. Tapi aktivitas yang biasa ia lakukan dengan mudah
itu terasa sulit dilakukan saat ini. Pikirannya berkecamuk, bingung dan ragu
akan apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Disatu sisi ia menyesal telah
melakukan permainan cinta dengan Eka dan merasa mengkhianati sahabatnya Edo.
Tapi disisi
yang lain ia menyesal telah bersikap dingin pada Eka, kakak Edo. Antok
merasakan kecocokan ketika berhubungan dengan Eka. Tak hanya oleh parasnya yang
selalu mempesona dirinya tapi juga oleh semua sikapnya yang mampu merebut
simpatinya. Hatinya seakan berat melepas Eka tapi wanita yang ada dalam hatinya
itu adalah kakak sahabatnya yang telah meninggal. Dalam benaknya, ia merasa
harus memposisikan Eka bukan sebagai kekasih tapi sebagai kakaknya. 2 Hari
Kemudian Telah 2 hari Eka berusaha menghubungi Antok setiap ada waktu tapi selalu
gagal. Telepon dan SMS nya tak pernah memperoleh jawaban dari Antok. Ia
benar-benar tak mengerti atas sikap Antok yang telah berubah sepulangnya dari
Malang. Yang ia inginkan saat ini adalah bertemu dengannya dan berbicara dengan
Antok, karena besok pagi ia harus balik ke Jakarta. Rasa penasarannya
membawanya menuju kamar adiknya, Edi.
"Ed,
tumben ya Antok nggak pernah kesini lagi?", tanya Eka pada Edi yang
mengerjakan tugas kampus. "Tadi aku ketemu", jawab Edi. "Di
sini?", tanya Eka. "Nggak, di rumahnya sewaktu aku pinjam
bukunya", jawab Edi "Memangnya ada perlu apa Kak sama Mas
Antok?", lanjut Edi. Eka hanya menggelengkan kepala. "Kangen ya,
hehehe..", goda Edi pada kakaknya. Eka hanya bisa cemberut dengan wajah
yang agak merah. "Mas Antok itu orangnya aneh ya kak?", kata Edi pada
Eka kemudian. "Aneh gimana maksudmu?", tanya Eka tidak mengerti.
"Dia sepertinya lebih senang sendiri daripada punya pacar, pergaulannya
juga kurang, tapi kalau kita sudah berteman dan mengenalnya, rasanya sulit
untuk melepaskannya", jelas Edi. "Lalu, anehnya dimana?", tanya
Eka penasaran. "Kak, umurku jauh lebih muda dari Mas Antok, jelek-jelek
begini apalagi cuma bermodal dengkul, aku sudah gonta-ganti pacar sampai 5
kali, Mas Antok belum satu pun", jawab Edi sedikit menyombongkan diri.
"Hmm..
Kamu yang keterlaluan dan layak disebut playboy kampungan", kata Eka
meledek adiknya, tapi yang diledek malah tertawa cekikikan. "Eh Ed, cewek
macam apa sih yang dicari Antok", tanya Eka. Edi tak langsung menjawab
tapi memandangi kakaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Jelas, jelas bukan yang
dicari, huahaha..". "Apa kamu bilang? Aku kurang cakep ya? terlalu
tua ya?", tanya Eka nerocos. "Kak, Kak aku cuman bercanda, kakak memang
cakep dan masih muda kok, tapi..", jawab Edi tergesa-gesa tapi ragu untuk
melanjutkannya. "Tapi apa?", buru Eka. "Tapi kakak ada hubungan
saudara dengan almarhum Kak Edo", jawab Edi. Kakak beradik itu lalu
terdiam sesaat. "Apa hubungannya Ed?", tanya Eka. "Saya pernah
mencuri dengar bahwa Mas Antok punya prinsip kalau ia tak akan mengencani
saudara ataupun relatif sahabatnya walaupun cakep, alasannya bisa merusak
persahabatan", kata Edi.
Eka hanya
terdiam mendengar penjelasan itu. Ia mulai mengerti arti sikap Antok saat ini.
Eka melangkahakan kakinya keluar dari kamar Edi. Tiba-tiba sebuah bunyi SMS
masuk dari HP nya Edi. "Wow, Mas Antok sakti sekali, baru di bicarakan
sudah SMS aku", kata Edi. Eka menghentikan langkahnya dan menunggu reaksi
Edi atas SMS Antok. "Aduh! sayang sekali, Mas Antok ngajak kok pas lagi
banyak tugas gini, terpaksa dilewatkan nih", kata Edi dengan raut menyesal
dan sibuk menjawab SMS. "Emangnya, ngajak apa si Antok?", tanya Eka.
"Ngajak latihan main game Counter-Strike dirumahnya yang lagi sepi",
jawab Edi. 1 Jam Kemudian Di Rumah Antok Bel rumah keluarga Antok berbunyi dan
mengagetkan Antok yang lagi asyik nonton acara TV. "Siapa sih malam-malam
gini?", pikir Antok dalam hati. Dengan enggan ia menuju kedepan rumah.
Lalu ia bergegas membukakan pintu setelah dipikirnya Edi yang datang walau SMS
dari nya mengatakan sebaliknya. "Paling SMSnya cuman bercanda saja",
dalam benak Antok. Kagetnya bukan kepalang setelah dilhatnya yang datang adalah
Eka bukan Edi. Antok sempat tertegun tak bergerak membiarkan Eka yang masih
berdiri di depan pintu pagar rumahnya.
"Aku
boleh masuk nggak nih?", tanya Eka dengan nada canda. "Sorry-sorry
Mbak!", kata Antok dengan tergopoh-gopoh. Lalu Antok membukakan pintu dan
menyilakan Eka masuk. "Sepi sekali Tok rumahmu, sendirian?", tanya
Eka. "Eh, iya Mbak, keluarga lagi keuar kota semua, pembantu juga
pulang", jawab Antok. Eka berkeliling dirumah Antok yang luas dan
melihat-lihat tempat nongkrongnya adik-adiknya terutama Edo. Setelah puas
berkeliling, Eka duduk di sofa ruang tengah. "Ada perlu apa Mbak
kesini?", tanya Antok tanpa basa-basi. "Eh, jahat sekali kamu, masa
cuma adik-adikku yang boleh main kesini?", tanya Eka. "Bukannya jahat
gitu Mbak, tapi Mbak kok berani kesini sendirian", kata Antok. "Apa yang
perlu kutakutkan?", tanya Eka tegas. "Nggak ada, malah aku yang
takut, hehehe..", jawab Antok dengan bergurau. "Sejak dari Malang
kenapa kamu nggak mau jawab HP dan SMS ku?", tanya Eka. Antok tertunduk
malu mendengar pertanyaan itu.
"Tok,
aku tidak menuntut pertanggung jawaban, aku hanya butuh penjelasan
darimu", kata Eka. "Kita sama-sama dewasa dan aku bisa mengerti kalau
kamu hanya menganggap yang kita lakukan adalah sex", lanjut Eka semakin
blak-blakan. Antok menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, "Bukan Mbak,
bukan hanya sex tapi lebih dari itu, dan itulah penyebab perubahan sikap saya.
Saya memang sengaja menjauh dari Mbak, bukan karena saya tidak suka tapi
sebaliknya, saya suka sekali dengan Mbak. Mmm.. Saya mencintai Mbak
Eka..". Kata-kata terakhir Antok menggetarkan hati Eka, membuatnya tak
mampu mengucapkan sepatah kata. Eka hanya diam dan memandang Antok, menunggu
dan menunggu.
"Kalau
Mbak hanya menganggap yang kita lakukan hanyalah sex semata, saya bisa
mengerti. Maaf Mbak, sebenarnya saya tahu saya tak pantas mengutarakan cinta
pada Mbak. Apapun tanggapan Mbak terhadap saya, saya akan menerimanya. Mbak
jangan kasihan pada saya", lanjut Antok. Eka mendehem mencoba dapat
bersuara kembali, lalu berkata, "Aku nggak mengerti sama kamu Tok? Biasanya
bila pria menyukai wanita, ia akan mengejarnya bukan sebaliknya, apalagi
menghindar. Kenapa kamu menghindar dariku?". "Supaya saya dapat
melupakan perasaan saya pada Mbak Eka", jawab Antok. "Kenapa? Apa
karena aku saudaranya sahabatmu?", tanya Eka. Antok terkejut dengan dugaan
Eka yang benar. Ia hanya menganggukkan kepalanya.
"Sekarang
sahabatmu, adikku Edo sudah tiada, apa kamu masih ingin melupakan perasaanmu
padaku?", tanya Eka lagi. "Edo memang sudah meninggal, jazadnya
memang sudah tiada, tapi ia masih ada di pikiranku sampai akhir hayatku",
jawab Antok. Sebuah jawaban yang membuat haru hati Eka. "Selanjutnya apa
mau mu, Tok?", tanya Eka. Antok hanya geleng kepala dan mengangkat
pundaknya. Keduanya terdiam dan saling memandang. Dengan ragu Antok bertanya,
"Mbak Eka, sebenarnya ada perasaan sama aku atau nggak?". Pipi Eka
merona dan tersenyum mendekat kearah Antok. "Menurutmu bagaimana?",
bisik Eka dengan manja. "Mbak Eka cuma merasa kasihan saja padaku karena
masih jomblo, tak lebih dari itu", jawab Antok polos tak mengerti maksud
dibalik pertanyaan Eka. Senyum Eka berubah jadi cemberut dan berkata,
"Huh,
teganya kamu ngomong gitu!". Kali ini Antok jadi bingung dengan sikap Eka.
"Jadi, jadi..", kata Antok tak mampu melanjutkan kata-katanya karena
mulai mengerti maksud Eka. "Jadi apa? ha..", tanya Eka dengan nada
menantang sambil mendekatkan wajahnya di dekat wajah Antok. Mendengar nada Eka,
Antok merasa apa yang tadi dimengertinya salah. Ia pun lalu menunduk lemas. Dua
tangan Eka memegang dan mendongkakkan wajah Antok hingga memandang wajahnya.
"Tok, kamu terlalu polos", kata Eka. Belum sempat Antok
menanggapinya, bibirnya telah dilumat oleh bibir Eka. Karena agak kaget, Antok
bergerak mundur. Tapi Eka mengikutinya dengan merangsek maju, makin mendekat
hingga tubuhnya condong ke tubuh Antok. Ciuman Eka dibibirnya, sempat membuat
Antok bingung, tapi akhirnya ia pun meresponnya. Tiba-tiba Eka menghentikan
ciumannya dan berkata, "Aku takkan melakukan hal itu pada sembarang pria.
Saat ini mungkin kita belum dapat menjadi kekasih. Tapi apakah kita juga harus
berhenti menjadi teman akrab?", tanya Eka. "Saya selalu menganggap
Mbak Eka lebih dari teman akrab meskipun bukan kekasih", jawab Antok.
"Kalau begitu beres kan urusan kita?", tanya Eka dengan senyum
manisnya. Antok mengangguk tanda setuju.
Mereka
berdua lalu duduk berdampingan dengan santai diatas sofa ruang tengah. Lalu Eka
mengeluarkan sebuah permintaan, "Tok, besok aku balik ke Jakarta. Sebagai
teman akrab masa kamu tidak memberiku sesuatu". "Saya mau memberi
kejutan, tapi Mbak Eka harus memejamkan mata dulu", kata Antok. Permintaan
Antok dituruti oleh Eka. Dengan mata terpejam, Eka merasakan bibirnya
memperoleh ciuman basah dari Antok. Sebuah sentuhan hangat telapak tangan ia
rasakan mengusap payudaranya. Jiwanya seakan terbang ke awang- awang. Sekujur
tubuhnya terasa bergairah kembali. Ciuman bibir basah Antok bergerak ke arah
leher lalu turun ke arah payudara Eka.
Eka heran
dengan kecepatan dan kelihaian Antok membuka kancing kemejanya serta melepas
BHnya tanpa ia sadari. Keheranannya sirna karena jalan pikiran Eka telah
terbuntu oleh rasa nikmat yang ia rasakan. Dengan mata masih terpejam, Eka
dapat merasakan kedua payudaranya memperoleh kuluman nikmat secara bergantian.
Tangan-tangan Antok bergerak lagi, membuka kancing dan resleting celana jeans
Eka. Lalu mengusap-usap celana dalam Eka tepat di daerah kemaluannya. Eka
mengeluarkan desahan pertamanya, "Ahh.. Oh.. Tok, lepaskan sekalian,
ahh..". Tanpa kesulitan Antok telah melepaskan celana jeans dan celana
dalam Eka secara bersamaan karena Eka sudah mengangkat pantatnya. Mata Eka
terbelalak ketika ciuman bibir basah Antok telah mencapai liang kenikmatannya.
"Ahh..",
Desah panjang nan dalam membahana di ruang tengah yang luas nan sepi. Sesekali
lidah Antok menjulur-julur kedalam liang kenikmatan Eka menyelingi kuluman yang
dibuat oleh bibirnya. Tak lama kemudian, Eka mengerang, menarik kepala Antok
dengan tangannya dan menjepitnya dengan kedua kakinya. Tubuhnya mengejang dan
akhirnya menggelinjang. "Oh, kamu nakal banget Tok", kata Eka manja
dan tersenyum puas. "Itu tadi belum masuk katagori nakal Mbak! Apa Mbak
ingin tahu katagori nakal?", tanya Antok. Eka hanya tersenyum dan
mengangguk agak penasaran. Antok langsung melayangkan ciuman di bibir Eka
setelah mendapat anggukan dari Eka. Sesaat kemudian Antok telah melepaskan
semua celananya sambil tetap memberi ciuman bibir pada Eka. Antok merebahkan
Eka di sofa dan segera menindih serta menyetubuhinya.
Aksi
tiba-tiba yang dilakukan Antok membuat Eka terkejut dalam kenikmatan tingkat
tinggi. Antok melepas ciumannya dan menegakkan tubuhnya untuk membuat dorongan
maju mandur yang makin lama makin cepat sambil memegang kedua kaki Eka.
"Ahh.. ahh.. Tok.. oh..", desah Eka. Antok melepas pegangan pada kaki
Eka dan segera memeluk tubuhnya. Kedua tubuh yang saling bercengkerama itu
sama-sama mengejang. Akhirnya Antok dan Eka melepas muatan nafsu asmara yang
telah mereka tahan. Kenikmatan dan kepuasan mereka raih bersama-sama dalam
selimut duka yang telah menyatukan mereka berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar