“Byuur…!”.
Siraman air mengenai wajah cantik Adel. Pelan-pelan
kesadaran gadis cantik itu mulai muncul.
“Ayo bangun!”.
Sayup-sayup Adel mendengar suara seorang laki-laki. Ia
kemudian merasakan kepalanya diguncang-guncang.
“Ooohh…”, Adel melenguh pelan karena merasakan sakit yang
luar biasa di sekujur tubuhnya.
“Kau sudah sadar?”.
Walau dengan pandangan yang masih kabur, Adel bisa melihat
sosok laki-laki yang berdiri di depannya adalah Prasetyo. Ia bisa merasakan
kalau saat ini ia masih terbaring di atas sofa panjang tempat terakhir ia
berada. Adel merasakan saat ini tubuh telanjangnya sedang tertutupi oleh
selembar kain tebal bercorak kotak-kotak. Masih dengar ekspresi wajah dinginnya
Pras berdiri di depan sofa. Dengan susah payah Adel berusaha mengangkat
tubuhnya untuk mengambil posisi duduk. Dipegangnya erat kain penutup tubuhnya.
Gadis itu lalu menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Ternyata di dalam
ruangan itu kini hanya ada dirinya dan Pras. Tidak terlihat lagi kedua
laki-laki sangar yang tadi menyetubuhinya dengan brutal. Suasana ruangan
sendiri masih terlihat berantakan. Hampir tidak ada benda-benda di dalam
ruangan tersebut yang masih berada di posisinya semula.
“Minum ini”, Pras menyodorkan sebotol air mineral.
Adel memalingkan wajahnya.
“Setelah semua yang kamu alami tadi kamu masih saja melawan
aku, ayo minum!”, Pras kembali mengulang perkataannya, namun kali ini dengan
nada keras terdengar seperti perintah.
Adel terlihat ketakutan. Ia segera mengambil botol air
mineral tersebut dan meminumnya. Bekas-bekas sperma yang masih melekat di mulut
Adel membuat rasa air tersebut menjadi sedikit aneh. Gadis cantik itu pun
menyeka mulutnya berusaha membersihkan cairan sperma kering yang menempel
disana. Tak hanya itu, Adel juga bisa melihat bekas-bekas cairan sperma
memenuhi sekujur tubuhnya, terutama bagian payudaranya. Pras berjongkok di
depan Adel lalu memegang wajah gadis cantik itu dan mengarahkannya untuk
memandangi matanya,
“Kamu lihat sendiri tadi, aku sama sekali tidak perlu
rekaman itu untuk bisa menguasai dirimu, aku bahkan mungkin saja bisa melakukan
hal yang lebih kejam dari yang aku lakukan tadi”.
Pras kemudian berdiri. Adel sendiri terlihat tertunduk. Mata
indah gadis cantik itu terlihat kembali berkaca-kaca. Ia benar-benar merasa
tidak berdaya saat ini. Bayang-bayang perkosaan yang baru saja dialaminya
benar-benar meninggalkan trauma yang mendalam kepada dirinya, walaupun untuk
beberapa saat ia sempat menikmati persetubuhan brutal tersebut.
“Aku harap sekarang kamu benar-benar mengerti konsekuensi
dari melawan perkataanku dan selalu camkan itu baik-baik, kamu bisa mengerti?”.
Adel mengangguk lemah.
“Kamu benar-benar mengerti?”.
Kembali Adel mengangguk.
“Bagus, karena sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu, tapi
kalau kamu tetap membandel maka aku tidak akan pernah segan-segan untuk
menyiksamu lagi”.
Pras kemudian berjalan mendekati pintu.
“Rencana “bersenang-senang” kita tunda dulu karena ada klien
yang harus aku temui saat ini. Aktifkan terus HP-mu dan setelah berpakaian kamu
boleh pergi”.
Seperti sebelumnya Pras menghilang begitu saja dari balik
pintu. Laki-laki yang begitu misterius, karena datang dan pergi sesuka hatinya.
Selain itu laki-laki tersebut juga dengan seenaknya mengatur-atur kehidupan
Adel, padahal mereka sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun. Yang paling
tidak bisa diterima oleh Adel adalah sikap kasar cenderung brutal yang kerap
dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya. Siksaan demi siksaan benar-benar
semakin menjadi sebuah mimpi buruk bagi gadis cantik tersebut. Adel menyeka air
mata yang mulai mengalir. Ia bergegas mengumpulkan kembali pakaiannya dan
mengenakannya kembali. Kali ini Adel cukup beruntung untuk tidak kehilangan
lagi bra dan celana dalamnya seperti yang biasa ia alami. Gadis itu juga
bergegas memasukkan kembali barang-barang pribadinya yang berserakan di lantai
ke dalam tas jinjingnya. Ia pun lalu keluar dari ruangan tersebut dengan
tergesa-gesa. Begitu keluar dari ruangan tersebut, Adel langsung berlari tanpa
menghiraukan orang-orang yang mulai ramai berdatangan ke dalam bar dan karaoke
tersebut. Suara dentuman musik dan kelap-kelip lampu sama sekali tidak menarik
perhatian Adel lagi. Yang ada di pikiran gadis cantik tersebut, adalah segera
pergi meninggalkan tempat maksiat ini. Begitu sampai di pintu masuk utama, Adel
melihat dua sosok laki-laki besar yang sangat ia kenal berdiri di depan pintu
tersebut. Dua sosok laki-laki bertubuh kekar itu adalah Yoyok dan Karso.
Melihat mereka Adel berusaha makin mempercepat langkahnya, namun celaka bagi
Adel karena Yoyok sudah keburu melihatnya berlari menuju pintu. Laki-laki
plontos itu pun langsung menghalangi lari Adel.
“Eh, mau kemana non? Hahaha…”.
“Biarkan saya pergi Pak, saya mohon”, suara Adel terdengar
memelas.
Adel hanya bisa menunduk sambil meletakkan tas jinjingnya di
depan dada.
“Kok buru-buru sih non? Disini buka sampai pagi lo, ya nggak
Kar? Hahaha…”.
“Hahaha… iya non, kita-kita siap kok nemenin non ampe pagi”.
“To… tolong pak, biarkan saya pergi”, kembali Adel memelas.
“Tenang non… non boleh pergi, lagian kita sudah puas banget
kok hari ini hahaha…”, Yoyok menatap nanar tubuh Adel dari atas sampai bawah,
seolah-olah ia masih bisa membayangkan bagaimana indahnya tubuh gadis cantik
dihadapannya ketika dalam keadaan telanjang tadi.
Yoyok kemudian menepuk bahu Karso, dan kedua laki-laki
bertubuh besar itu pun menggeser tubuhnya. Melihat hal itu Adel dengan segera
melangkahkan kakinya. Namun belum sempat Adel melewati pintu keluar tersebut,
ia merasakan sebuah tangan menepuk pantatnya. Bahkan tidak hanya menepuk,
tangan usil itu pun sempat meremas pantat Adel.
“Kapan-kapan mampir lagi ya non hahaha…”, rupanya tangan
tersebut adalah tangan Karso.
Adel sama sekali tidak ingin memperpanjang masalah dengan
memprotes pelecehan yang dilakukan oleh Karso tadi. Dengan cepat Adel pun
langsung berlari menuju pelataran parkir dan tidak menoleh lagi ke belakang.
Sedangkan Yoyok dan Karso terlihat tertawa terbahak-bahak. Keduanya terlihat
benar-benar puas karena baru saja mendapatkan kesempatan langka untuk menikmati
kehangatan tubuh seorang bidadari. Kesempatan yang mungkin tidak akan datang
lagi untuk kedua kalinya dalam hidup mereka.
*********
Kebahagian dan penderitaan ibarat dua sisi dari sebuah
keping mata uang. Dua sisi yang tidak terpisahkan dan selalu berdampingan satu
dengan lainnya. Sekali kita melempar sebuah keping mata uang ke udara, maka ia
akan bergulir dan kita tidak akan pernah tahu sisi yang mana yang akan muncul
saat ia mendarat nanti. Peluang satu sisi dengan sisi lainnya untuk muncul
adalah sama besar. Hukum aritmatika numerik, menyebut istilah ini dengan
probabilitas. Demikian pula dengan hidup, kita tidak akan pernah tahu hari ini
kita akan mengalami kebahagian atau penderitaan. Semuanya berjalan bagaikan
sebuah siklus yang penuh misteri. Dan kita sebagai manusia hanyalah sebuah
titik kecil di dalam siklus tersebut. Jadi dengan demikian kapankah siklus
penderitaan berputar menjadi kebahagiaan? Dan kapan siklus kebahagiaan berputar
menjadi penderitaan? No body knows…
Suara ringtone berupa lagu dari salah satu grup band papan
atas terdengar memenuhi kamar. Entah sudah berapa lama ponsel tersebut
berbunyi, namun yang jelas sudah cukup lama untuk membuat pemiliknya terbangun
dari tidurnya yang lelap. Laras berlahan membuka matanya. Gadis manis itu
terlihat begitu terpaksa untuk melepaskan dirinya dari kenyamanan dunia mimpi.
Rasa kantuk sebenarnya masih kuat membelenggu gadis manis ini. Bahkan kepalanya
terasa begitu berat akibat kuatnya pengaruh rasa kantuk tersebut. Namun Laras
berusaha untuk bangun, karena ia tahu siapa pun yang menelponnya pagi-pagi buta
seperti ini pastilah memiliki tujuan yang sangat penting. Berlahan kesadaran
Laras mulai bangkit dengan sempurna. Dengan berlahan pula ia mulai semakin
jelas mendengar sumber suara yang membuatnya terbangun. Ketika hendak beranjak
dari atas ranjang, Laras baru menyadari kalau saat ini Glen sedang memeluk
tubuhnya. Laki-laki itu terbaring di belakangnya dan terlihat masih terlelap.
Gadis manis itu baru sadar kalau saat ini dirinya sedang terbaring di atas
ranjang Glen. Ia pun kini tidak heran kalau saat terbangun tadi ia dalam
kondisi lelah yang teramat sangat. Kemarin malam Glen mencumbuinya berkali-kali
sampai akhirnya ia baru bisa terlelap menjelang dini hari. Laras pun terpaksa
harus memberikan pelayanan ekstra, karena bagaimanapun kemarin adalah hari
spesial untuk kekasihnya ini. Beberapa plastik kondom bekas pakai yang
tergeletak di lantai seakan menjadi saksi bisu jumlah ronde yang harus dilalui
oleh gadis manis tersebut sepanjang permainan cinta mereka kemarin malam.
Tentunya pemberian pelayanan ekstra seperti ini berarti ia harus menanggung
resiko untuk rela menguras tenaga sampai ke titik maksimal yang mampu ditahan
oleh tubuhnya. Laras perlahan menggeser tangan Glen yang memeluk tubuhnya. Ia
melakukannya dengan hati-hati agar kekasihnya ini tidak sampai terbangun.
Setelah berhasil melakukannya, Laras lalu dengan perlahan menggeser selimut
yang menutup tubuh mereka berdua dan beranjak turun dari ranjang. Tubuh Laras
kini menjadi terekspos bebas karena tak ada satu helaipun benang yang melekat
pada tubuh molek tersebut. Bercak-bercak merah bekas cupangan terlihat hampir
di seluruh permukaan payudara montok gadis manis tersebut. Noda-noda putih
bekas sperma yang mengering juga terlihat pada bagian tersebut, selain beberapa
pula terlihat menempel di perut, pinggang dan pahanya. Laras nampaknya tidak
memperdulikan hal tersebut, ia hanya berkonsentrasi pada nada ponsel miliknya.
Hawa dingin AC (=air conditioner) yang langsung mengenai pori-pori kulitnya
tanpa penghalang membuat gadis manis itu sedikit menggigil. Laras melihat
kemeja lengan panjang warna biru muda milik Glen tergeletak di lantai. Ia pun
menyambar kemeja tersebut dan mengenakannya. Sambil berjalan, Laras hanya
mengancingkan dua kancing terbawah dan membiarkan kancing-kancing di atasnya
tetap terbuka. Hal ini jelas membuat belahan payudara indah miliknya tetap
terekspos. Tujuan awal gadis manis itu mengenakan kemeja memang hanya untuk
mengusir rasa dingin, bukan menutupi tubuhnya. Toh, di dalam kamar itu hanya
ada dirinya dan Glen saja, sehingga Laras pun merasa sama sekali tidak perlu
untuk menutupi ketelanjangannya.
“Pagi banget, Jeng?”, suara Laras terdengar serak khas orang
yang baru bangun tidur.
“Sorry Ras, gue ganggu lu pagi-pagi gini”.
“Nggak apa-apa Del, emang ada apa?”.
Penelpon tersebut ternyata adalah Adelia.
“Hari ini gue nggak masuk kerja, gue sakit, lu gantiin gue
sementara di kantor ya”.
“Lu sakit apa? Perasaan kemarin lu baik-baik aja?”.
“Nggak tau nih, tiba-tiba aja gue nggak enak badan”.
Bagi yang mengetahui apa yang menimpa Adel kemarin, tentu
akan mengetahui kalau saat ini Adel jelas sedang berbohong. Laras sama sekali
tidak menyadari kalau nada suara sahabatnya ini terdengar seperti suara tangis
yang tertahan.
“Ya udah, kalau gitu lu istirahat aja”.
“Makasi ya Ras, tolong bilangin sama temen-temen lain”.
“OK! Cepet sembuh ya Jeng”.
Laras mematikan ponselnya. Adel hari ini tidak masuk,
berarti ia harus meng-handle semua tugas-tugas Humas dan Marketing seorang
diri. Apalagi pergelaran fashion show akan segera memasuki hari-H dan masih
banyak hal yang harus dipersiapkan. Laras pun tahu kalau hari ini akan menjadi
hari yang sangat melelahkan.
“Siapa yang nelpon pagi-pagi gini honey?”.
Laras membalikkan tubuhnya. Ia melihat Glen sudah terbangun
dan kini nampak duduk di pinggir ranjang sambil mengusap-usap kepalanya. Bagian
tubuh atas laki-laki itu kini terlihat dalam keadaan telanjang, sementara
bagian bawahnya tertutupi oleh selimut.
“Aduh… Sorry say jadi bikin kamu kebangun, tadi itu Adel,
dia bilang nggak bisa kerja hari ini soalnya lagi nggak enak badan”.
“Oh gitu”.
Laras tersenyum simpul ke arah Glen yang masih terlihat
belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Laki-laki itu kini nampak mengucek-ucek
kedua matanya yang masih terlihat mengantuk. Gadis manis itu lalu berjalan
mendekati kekasihnya tersebut. Sambil berjalan ia sempat mengambil gaun model
terusan warna merah yang terlihat tergeletak di lantai, berikut dengan celana
dalam sexy dan bra renda tanpa tali pundak berwarna senada dengan gaun
tersebut. Gaun terusan itulah yang kemarin ia kenakan sewaktu acara ulang tahun
Glen. Gadis itu kemudian menaruh pakaian tersebut di atas meja di dekat tas
besar yang dibawanya kemarin. Begitu sampai di depan kekasihnya, sebuah ciuman
pun mendarat lembut di bibir lelaki itu.
“Hhhmm… bau iih!”.
“Bau tapi kamu suka kan? Hehe…”, tiba-tiba Glen langsung
menarik tubuh Laras sehingga gadis manis itu jatuh terduduk dipangkuannya.
“Aaoow…!”, Laras berteriak lirih. “Ini perlu ditertibkan
dulu hehe…”, Gadis manis itu lalu menggenggam sesuatu yang keras yang terasa
mengganjal pantatnya. Benda keras itu adalah batang penis Glen yang mengacung
tegak. Ia lalu mengatur posisi penis Glen agar tidak mengganggu posisi
duduknya. Setelah itu Laras menggelayut manja di pundak Glen. Keduanya pun
kembali berciuman, dan kali ini berlangsung cukup lama.
“Kamu nggak usah ke kantor juga hari ini ya”.
“Kok gitu?”.
“Masih pengen nih hehehe…”.
“Ya ampun, kemarin kan udah sampai pagi”, Laras langsung
memasang ekspresi cemberut yang dibuat-buat. “Untung ortu kamu milih nginep di
hotel, kalau nggak bisa-bisa mereka bakalan nggak bisa tidur denger kamu
teriak-teriak semaleman hehehe…”.
“Hehehe… Habis hadiah ulang tahunnya OK banget sih”.
“Suka ya? Hehehe…”.
“Suka banget!”, tangan Glen kemudian dengan nakal masuk ke
dalam kemeja yang dikenakan Laras. Dalam sekejap payudara kanan gadis itu pun
langsung berada dalam remasan tangannya.
“Udah dong Say, mau mandi nih”, Laras berusaha menghentikan
aksi nakal Glen pada payudaranya, namun sia-sia karena Glen tetap saja
meremas-remas bongkahan daging kenyal tersebut sambil sesekali memainkan puting
kecilnya.
“Satu kali lagi ya? Please…”.
“Tapi aku udah capek banget nih”, suara gadis manis itu
terdengar memelas.
Bagaimana pun kemarin Laras telah benar-benar mengerahkan
seluruh tenaganya melayani hasrat kekasihnya yang begitu kesetanan
mengeksploitasi tubuhnya. Maka dari itu sangatlah wajar kalau pagi ini Laras
ingin bersantai dan memulihkan kondisi tubuhnya kembali. Walaupun kemarin
bukanlah percintaan mereka yang pertama, namun mungkin karena momen yang memang
terasa spesial membuat gairah Glen begitu membara.
“Please…”, Glen memasang ekspresi wajah yang tak kalah
memelas.
Laras hanya menggelengkan kepalanya pelan. Sementara tangan
Glen yang sejak tadi meremasi payudara, kini berpindah memasuki sela-sela paha
mulus Laras mengincar selangkangan Laras yang tertutupi bulu-bulu pendek halus.
“Glen… ooh…”, Laras pun menggeliat dibuatnya. “Aduh…”, gadis
manis itu kembali harus berusaha menghentikan aksi tangan kekasihnya yang kini
telah berhasil menyentuh permukaan vaginanya.
“Please honey…”.
Laras kembali menggeleng.
“Sekali… aja”.
Laras tahu penolakannya sama sekali tidak akan mampu
menghentikan rengekan kekasihnya ini. Bahkan kini untuk sekedar menghentikan
tangan Glen yang tengah bermain-main di daerah kewanitaannya pun ia sama sekali
tak mampu. Laras kemudian melirik ke arah ponselnya. Jam di layar ponselnya
menunjukkan pukul setengah tujuh kurang beberapa menit, berarti masih ada waktu
sekitar sejaman untuk bersiap-siap sebelum berangkat ke kantor.
“OK deh, tapi sambil mandi ya?”, ucap Laras pasrah.
Senyum sumringah langsung terpancar di wajah Glen. “Thanks
ya honey!”.
Adel terlihat berbaring di atas ranjangnya. Gadis cantik itu
terbaring dengan posisi tertelungkup. Ia terlihat mengenakan gaun tidurnya yang
berbahan dasar sutera berwarna putih. Suara isak tangis pelan terdengar
memenuhi ruangan kamar tersebut. Kedua mata Adel terlihat lebam dan bantal yang
menjadi sandaran kepalanya terlihat basah oleh air mata. Nampak sekali kalau
Adel sudah menangis cukup lama, bahkan mungkin sejak ia tiba di apartemennya
kemarin. Gadis cantik itu benar-benar menyesali nasib buruk yang menimpa
dirinya. Rasa sakit masih terasa hampir di sekujur tubuhnya, terutama di daerah
selangkangannya. Pipi Adel masih terlihat memerah akibat tamparan demi tamparan
yang ia terima kemarin. Begitu juga dengan tulang-tulang di tubuhnya yang masih
terasa nyeri. Namun semua sakit yang mendera tubuhnya saat ini, jauh tidak
sebanding dengan rasa sakit di dalam hatinya. Saat ini Adel benar-benar merasa
sudah tidak memiliki harga diri sama sekali. Mengingat perkosaan yang
dialaminya kemarin, Adel benar-benar merasa tubuhnya begitu kotor. Kotoran itu
seakan-akan tidak bisa menghilang walaupun ia telah menggosok tubuhnya dengan
sabun berkali-kali. Tak hanya itu, Adel juga kini semakin merasa telah semakin
mengkhiati cinta Abi. Adel tahu kalau Abi dari kemarin telah beberapa kali
menelpon dirinya. Namun dalam kondisi seperti ini jelas ia sama sekali tidak
mampu untuk berbicara dengan kekasihnya tersebut. Adel tidak ingin membuat Abi
khawatir karena pastilah ia tidak akan mampu menahan tangisnya ditengah-tengah
pembicaraan mereka nanti. Adel benar-benar mengutuk Prasetyo yang telah
menghancurkan hidup sekaligus cintanya. Cinta yang seharusnya bisa ia jaga
hanya untuk kekasihnya, sampai akhirnya cinta mereka berlabuh di pelaminan.
Entah sampai kapan Adel harus terus menangis seperti ini. Mungkin sampai
seluruh air matanya mengering atau mungkin sampai tak ada lagi tenaga yang
tersisa untuk menangis? Atau mungkin sampai semua mimpi buruknya ini berakhir?
Namun itu pun kalau semua ini memiliki akhir, karena yang Adel rasakan kini
justru semua mimpi buruk ini terasa menjadi semakin buruk dan menakutkan. Yang
jelas sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan
Adel untuk mengurangi rasa gundah dan sesal di dalam hatinya. Di tengah isak
tangisnya, ponsel yang tergeletak di samping tubuhnya tiba-tiba berbunyi. Kini
tidak ada lagi perasaan was-was di hati Adel ketika mendengar suara ponselnya
sendiri. Gadis cantik ini kini telah benar-benar tidak tahu lagi harus merasa
takut, gundah atau khawatir. Semuanya sudah terasa begitu hampa. Adel melihat
nama yang tertera di layar ponselnya. Ia lalu mengusap air matanya yang
membasahi pipinya. Ia pun berusaha untuk tidak terisak lagi.
“Hai…”.
“Hi honey, yesterday night I call you so many time, but you
didn’t peak up”.
“Sorry honey, yesterday I’m so tired so I slept early”.
“Are you sick? Your voice sound not so good”.
“I’m OK, cuma lagi nggak enak badan aja”, entah ini
kebohongan yang keberapa kali yang terucap dari mulut Adel kepada kekasihnya.
“Kalau gitu hari ini kamu nggak usah ke kantor aja”.
“Iya udah minta ijin kok, ini lagi tiduran”.
“If it necessary, go to the doctor”.
“No, I’ll be fine”.
“Oh honey, you make me worried”.
“I’m fine honey, really! Ntar juga baikan kok”, Adel sengaja
menekankan nada bicaranya agar Abi mempercayai kata-katanya.
“Bener nggak ada apa-apa kan?”.
“Iya bener, cuma agak capek aja nih”.
“I’ll go home as soon as possible, OK?”.
“OK, kamu nggak ada kelas hari ini?”
“Ada, ini lagi di depan kelas, maybe my class will be start
in a few minutes, I’ll have an economic exam today”.
“If that so, I think you must prepare yourself now”, Adel
berusaha memutuskan percakapan ini secepatnya, karena ia merasa sudah tidak
tahan lagi menahan isak tangisnya mendengar suara kekasihnya.
“Yeah that right,OK just take a rest now, I’ll call you
again tonight”.
“OK, have a nice exam, make me proud ”.
“Love you… muaach…”.
“Love you too…”.
Adel mematikan ponselnya dan kembali membenamkan wajah
cantiknya ke bantal. Suara isak tangis pun kembali terdengar lirih. Hatinya benar-benar
teriris-iris karena kerap harus terus menerus berbohong kepada kekasihnya kalau
semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi Adel tahu ia harus terus melakukannya
karena ia tidak ingin konsentrasi Abi terganggu ketika menjalani studi,
walaupun ia sendiri harus mengorbankan perasaannya untuk itu. Pengorbanan untuk
cintanya kepada sang kekasih. Sebuah cinta murni yang kini telah terkoyak.
********
“Ooh…!”.
Laras mendesah tertahan ketika Glen mulai menggosok-gosok
vaginanya dengan sabun. Tangan Glen yang lain nampak meremasi payudara Laras
yang telah terlebih dahulu tertutupi busa sabun. Sementara di saat yang sama
tangan Laras sibuk mengocoki batang penis kekasihnya yang sudah nampak
mengacung tegang. Mereka berdua masing-masing melakukan aktifitas tersebut
sambil berpagutan di bawah guyuran air pancuran. Sesekali ditengah pagutan
tersebut, lidah mereka beradu satu sama lain sehingga menimbulkan sensasi yang
begitu menggairahkan. Seandainya saja mereka memiliki lebih banyak waktu,
tentunya kedua insan ini akan memilih bercumbu sambil berendam di dalam bath
tub untuk mendapatkan sensasi romatisme yang lebih kuat. Kini kedua tubuh bugil
tersebut sudah penuh dengan busa sabun, namun keduanya masih saja terlihat
saling berpagutan panas sambil saling merabai tubuh pasangannya. Tak lama Laras
melepaskan pagutan bibirnya kemudian mendorong pelan kekasihnya mendekati
shower. Ia lalu mengambil gagang shower yang tergantung, lalu mulai membilas
busa-busa sabun yang menempel di sekujur tubuh kekasihnya tersebut. Glen bisa
merasakan sentuhan jari-jari lentik Laras terasa begitu lembut di seluruh
permukaan kulitnya. Merasa tubuhnya sudah bersih, Glen mengambil gagang shower
yang dipegang Laras dan giliran laki-laki itu yang membilas tubuh gadis manis
tersebut. Berbeda dengan yang dilakukan Laras tadi, usapan tangan Glen lebih
menyerupai bentuk eksplorasi ketimbang bilasan. Sambil membilas tubuh
kekasihnya, Glen sempat cukup lama meremas-remas payudara montok Laras. Glen
merundukkan tubuhnya guna mengulum puting payudara kanan kekasihnya. Cukup lama
gundukan daging padat itu amblas ke dalam kuluman dan sedotan mulut Glen
sebelum bagian kiri mendapatkan jatah perlakuan yang sama. Laras hanya bisa
mengelus-elus rambut Glen sambil merasakan sensasi geli yang menyerang sekujur
tubuhnya. Sambil mengulum, tangan Glen terus menjelajah menuruni tubuh mulus
tersebut sampai akhirnya mencapai daerah kewanitaan kekasihnya. Bulu-bulu halus
di daerah selangkangan Laras terasa begitu lembut di permukaan jari-jari Glen.
Bagian tersebut rupanya memang menjadi prioritas, karena tangan Glen terlihat
begitu lama berada disana.
“Aaah…!”, Laras mendesah pelan ketika sentuhan tangan Glen
mengenai klitorisnya.
Glen melepaskan kulumannya kemudian tersenyum kecil ke arah
Laras. Rupanya ia sengaja melakukan hal tersebut untuk menggoda kekasihnya.
“Udah dong say, jangan kelamaan, yang lain belum dibilas
nih”, walau dengan tersenyum, namun terdengar nada protes dari kata-kata gadis
manis tersebut karena bilasan Glen terlalu berkonsentrasi di daerah selangkangannya,
sedangkan bagian-bagian tubuhnya yang lain masih terbalur busa-busa sabun.
“Hehe… sorry, abis enak sih”.
“Kebiasaan deh!”.
“Hehe…”, laki-laki itu hanya kembali tertawa ketika
mendengar protes kekasihnya lagi.
Glen pun kemudian melanjutkan bilasannya ke bagian lain dari
tubuh kekasihnya. Laki-laki itu begitu mengagumi keindahan tubuh kekasihnya
ini. Hampir setiap lekuk tubuh Laras begitu terlihat sempurna di matanya.
Apalagi dalam keadaan telanjang dan basah seperti saat ini, tubuh molek ini
seakan-akan kian memancarkan pesona daya tarik sensual yang luar biasa. Sebagai
laki-laki, Glen merasa benar-benar beruntung karena bisa terpilih untuk
menikmati keindahan ciptaan yang Maha Kuasa di hadapannya ini. Birahi
kelaki-lakian Glen pun mulai terpancing karenanya. Glen lalu mengangkat satu
kaki Laras ke atas bath tub, sehingga gadis manis itu menjadi mengangkang.
Laras yang sudah hapal betul kebiasaan kekasihnya ini, ia tahu benar kalau saat
ini Glen ingin melakukan penetrasi. Ia pun menopangkan kedua tangannya ke
dinding di belakangnya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Glen mematikan
shower dan menggantungkan kembali gagangnya kembali ke posisi semula. Kemudian
ia memegang batang penisnya yang sudah mengacung dan mengarahkannya ke
selangkangan Laras yang telah terbuka lebar. Laras terlihat sedikit memejamkan
matanya dan menggigit bibir bawahnya. Gadis manis itu seakan-akan mempersiapkan
dirinya untuk menerima penetrasi batang penis tersebut ke dalam vaginanya.
“Ooohh…!”, keduanya mendesah hampir bersamaan ketika batang
penis Glen perlahan menerobos masuk ke dalam lubang vagina Laras.
Laras merasakan rasa sakit yang teramat sangat ketika
berlahan dinding vaginanya membuka akibat batang penis Glen yang menyeruak
masuk. Sebenarnya vagina Laras sama sekali belum siap menerima penetrasi penis
Glen. Cairan kewanitaan gadis manis itu memang sudah keluar, namun jumlahnya
belum cukup untuk melumasi lubang kenikmatan tersebut. Hal ini karena mereka
sebelumnya memang tidak sempat melakukan foreplay mengingat waktu yang mereka
miliki tidaklah banyak. Gadis manis itu mencoba untuk tidak memperdulikan rasa
sakit tersebut dan mencoba menahannya. Berdasarkan pengalamannya, Laras tahu
benar kalau semua ini hanya akan ia rasakan di awal permainan saja. Seiring permainan
mereka nanti maka berlahan lubang vaginanya akan terus menerus terlumasi cairan
cinta dan semua rasa sakit tersebut akan berangsur-angsur menghilang.
“Aaakhh… aakhh…”, Laras berteriak-teriak lirih seiring
lesakan demi lesakan penis Glen ke dalam vaginanya. Gadis manis itu kini
memeluk tubuh Glen dan mencengkramkan kuat tangannya kuat-kuat pada punggung
kekasihnya itu. Sedangkan satu kakinya masih nampak berada di atas bath tub.
“Aaakhh…!”, Laras semakin melenguh kencang ketika Glen semakin mempercepat
hujaman penisnya.
“Pelan-pelan dikit say, sakit…”.
“Tahan bentar honey, ntar juga enak aahh…”.
“Iya, tapi jangan kenceng-kenceng dulu”.
Glen pun berlahan mengurangi kecepatan hujaman penisnya,
walaupun sebenarnya birahinya sudah begitu menggelora. Jika dihitung dari malam
setelah acara ulang tahunnya berakhir, ini adalah kali kelima ia menghujamkan
batang penisnya ke dalam vagina Laras secara beruntun. Namun tetap saja setiap
kali ia menikmati lubang kenikmatan kekasihnya ini, selalu saja ada sensasi baru
yang membangkitkan gelora nafsunya. Hal inilah yang membuat Glen seakan-akan
tidak pernah bosan menikmati kehangatan tubuh molek kekasihnya ini. Laras
memejamkan matanya dan merebahkan kepalanya di pundak Glen. Rasa sakit masih
terasa, walaupun tidak separah di awal tadi. Kedua tangan Laras menyilang di
belakang leher Glen. Sementara tubuhnya nampak bergoyang-goyang seiring
genjotan penis Glen di dalam vaginanya. Rasa sakit di selangkangannya berlahan
mulai berkurang karena berlahan Laras bisa cairan kewanitaannya mulai semakin
banyak merembes keluar. Gadis manis itu pun akhirnya mulai bisa menikmati
persetubuhannya ini, bahkan gairahnya sendiri mulai ikut berlahan bangkit.
“Udah enakan?”.
“Aah… udah…”, sahut Laras pelan.
Mendengar jawaban kekasihnya, Glen mulai kembali mempercepat
genjotan penisnya. Laras sendiri masih terlihat memeluk tubuh Glen sambil
memejamkan matanya. Tubuhnya berguncang-guncang pelan seirama dengan genjotan
penis yang kini mengaduk-aduk lubang vaginanya.
“Aaahh… oooh… aahh…!”, desahan demi desahan terdengar keluar
dari kedua mulut insan tersebut.
“Ganti posisi yuk”, ucap Glen.
“Terserah kamu saja aah…”.
Glen lalu mencabut batang penisnya dan mengatur posisi tubuh
Laras menjadi menunduk sambil kedua tangannya bertumpu pada pinggiran bath tub.
Glen kemudian meremas-remas bongkahan pantat padat Laras, lalu berlahan
memasukkan kembali batang penisnya ke dalam vagina Laras dari belakang.
Laki-laki itu kemudian menggenjot vagina kekasihnya dengan kecepatan sedang.
Sedangkan Laras sendiri merasakan posisi ini jauh lebih nikmat jika
dibandingkan dengan posisi awal persetubuhan mereka yang terasa agak kaku.
“Ooh… honey it feels good, enak banget…”.
“Iya say… aah…”.
“Kamu suka?”, tanya Glen.
“Aahh… iya, su.. suka.. terus say…”.
Glen mempercepat genjotannya. Laras sendiri terlihat
memperlebar kedua kakinya sehingga penis Glen dapat semakin mudah melakukan
penetrasi ke dalam vaginanya.
“Aaakkh… aaakh… aakkh…!”, desahan dan teriakan terus secara
bergiliran keluar dari mulut Glen dan Laras. Keduanya terlihat begitu menikmati
persetubuhan yang mereka sedang lakukan. Baik Glen maupun Laras seolah-olah
sama-sama ingin memberikan pelayanan terbaik untuk pasangannya. Laras berusaha
menekan otot-otot vaginanya sehingga bisa menjepit dengan kencang, sedangkan
Glen berusaha menghujamkan batang penisnya sedalam mungkin ke dalam lubang
kenikmatan Laras.
Setelah hampir puluhan menit persetubuhan ini berlangsung,
tubuh keduanya mulai nampak menegang. Kedua insan itu seakan-akan merasakan ada
sesuatu yang dasyat ingin meledak dari dalam tubuh mereka masing-masing.
“Say, aku mau keluar nih!”.
“Aku juga honey, tahan sedikit lagi biar kita keluar
bareng”.
Glen lalu semakin mempercepat genjotannya. Tubuh keduanya
pun berguncang-guncang hebat. Glen dan Laras terlihat begitu ingin mencapai
puncak permainan secara bersama.
“Aaakhh… aakhh… aakkh…”, nafas keduanya terdengar menderu
kencang.
“Dikit lagi honey!”.
“Terus say… terus…”.
“Aaakhh… aakhh… aakkh…”, Laras merancau di ujung klimaksnya,
begitu juga dengan Glen yang terus semakin mempercepat genjotannya.
“Say, aku keluar!”, Laras berteriak. “Aaaakkhhh….!”.
“Aku juga…”, Glen rupanya tidak sempat mencabut batang
penisnya sebelum mencapai klimaksnya. “Oooh…!”, cairan putih kental pun tanpa
terhalangi menyembur deras memasuki liang vagina Laras. Cairan itu nampak
muncrat beberapa kali sebelum akhirnya batang penis Glen berlahan menyusut dan
mengecil.
Laras yang semula sempat terlena dengan perasaan nikmat
akibat klimaks yang diperolehnya, tiba-tiba tersentak dan tersadar kalau
barusan Glen mengeluarkan spermanya di dalam vaginanya. Dengan cepat ia
melepaskan pegangannya pada pinggiran bath tub dan segera berdiri. Beruntung
beberapa saat tadi Glen sempat melepaskan batang penisnya, jika tidak mungkin penisnya
akan tercabut dengan paksa dan pastinya akan terasa menyakitkan.
“Kok ngeluarinnya di dalem sih?”, ucap Laras kesal.
Glen sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa selain mematung
melihat Laras menyambar shower kemudian berjongkok dan membasuh vaginanya
dengan air. Gadis manis itu berusaha membersihkan lubang kewanitaannya dari
sisa-sisa sperma Glen. Ia berharap dapat mencegah sperma Glen agar tidak cukup
cepat mencapai rahimnya. Raut wajah Laras sendiri masih menampakkan kekesalan.
Setelah beberapa menit dan merasa vaginanya sudah cukup bersih, Laras pun
kembali berdiri. Sebuah pelukan mesra langsung menyambutnya dari belakang.
“Maaf ya…”, suara Glen terdengar mesra.
“Kan kemarin aku udah bilang hati-hati, soalnya minggu ini
aku lagi subur”.
“Iya, tapi tadi tuh bener-bener nggak sengaja keceplosan”.
Laras hanya diam, dengan dahi yang masih berkerut. Ia
meletakkan kembali shower yang dipegangnya kembali ke tempat semula dengan
tetap dalam keadaan membisu.
“Jangan cemberut gitu dong pagi-pagi”.
“Habis kamu juga sih!”.
Ciuman mesra pun mendarat di pipi, leher dan bibir Laras.
Glen memagut bibir ranum itu cukup lama dengan penuh perasaan, berharap mampu
mengurangi rasa kesal kekasihnya.
“Masih kesel?”, ucap Glen setelah melepas pagutan bibirnya.
Laras masih tetap terdiam untuk beberapa saat. Kemudian
gadis itu pun menggelengkan kepalanya pelan.
“Makasi ya honey atas pagi yang indah ini”.
Gadis manis itu mengangguk pelan.
“Senyum dong”, goda Glen kepada kekasihnya.
Bukannya tersenyum, malahan Laras kembali mengerutkan dahi
dan bibirnya.
“Ye kok malah cemberut lagi? Ayo dong senyum hehe…”, kini
Glen menggelitik pinggang Laras yang mau tidak mau membuat tawa gadis manis itu
pun pecah.
“Udah dong, geli tau!”, Laras menepis tangan Glen dari
pinggangnya.
Keduanya pun kembali berciuman untuk beberapa saat. Bibir
kedua insan tersebut berpagutan mesra. Laras rupanya sudah melupakan rasa
kesalnya tadi. Setelah cukup lama berpagutan keduanya kembali membersihkan diri
dari bekas-bekas percintaan mereka tadi.
“Ayo, kita keluar”, Glen menggandeng tangan Laras.
“Kamu duluan saja, aku masih mau keramas dulu nih”.
“OK deh, aku tunggu di luar ya”, Glen pun menghilang dari
balik pintu kamar mandi, sedangkan Laras nampak mulai membasahi rambut
panjangnya.
Tak lama setelah Glen mengenakan pakaian kerjanya, Laras
nampak keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut handuk berwarna kuning
dengan corak garis-garis. Ia berjalan sambil mengelap rambut panjangnya yang
basah dengan sebuah handuk yang berukuran lebih kecil. Glen yang berdiri di
depan kaca sambil mengenakan dasinya, tersenyum ke arah kekasihnya. Laras pun
membalas senyuman tersebut dengan senyuman pula.
“Honey, nanti malam aku musti ke luar kota lagi nih”.
“Oh, ada proyek lagi?”, tanya Laras sambil mulai mengelap
tubuh sintalnya dengan handuk.
“Iya, ada kerusakan di tower pemancar disana, jadi kita di
minta mengecek kerusakannya”.
“Berapa lama?”.
“Mungkin seminggu paling lama”, Glen masih nampak merapikan
dasinya. Mereka berbicara tanpa saling memandang satu dengan yang lain. Dengan
perantara bayangan kaca di depannya, Glen bisa melihat kekasihnya telah selesai
mengeringkan tubuhnya. Kini laki-laki itu bisa melihat Laras berjalan menuju
meja kecil tempat ia meletakkan tas yang berisi seluruh pakaiannya dalam
keadaan berbalut handuk sebatas dada sampai paha. Walau tertutupi handuk, namun
Glen bisa melihat pantat montok kekasihnya bergoyang menggoda ketika berjalan.
Ia pun hanya tersenyum kecil melihat pemandangan indah tersebut.
“Sama siapa saja kesana?”, Laras mengeluarkan sebuah hair
dyer dari dalam tasnya.
“Sama teknisi dan sopir saja, mungkin sekitar tiga atau
empat orang”.
“Cowok semua?”.
Glen berjalan mendekati Laras yang kini telah terlihat duduk
di depan meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya yang basah dengan
menggunakan hair dyer . “Ya iyalah, kenapa emangnya? Cemburu nih ceritanya
kalau ada ceweknya? Hehe…”.
“Nggak kok!”, Laras langsung membantah.
“Hehe… Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal lama?”.
“Nggak apa-apa, asal inget bawa oleh-oleh saja hehe…”.
“Iya dong, apa sih yang nggak for my honey bunny sweety”.
Glen mencium pipi Laras dari belakang sambil meremas
payudara kekasihnya yang memang belum tertutupi bra. Laras tetap menatap ke
arah cermin dan hanya melempar tersenyum kecil atas perbuatan nakal kekasihnya.
“Ya sudah sekarang kamu siap-siap aja dulu, biar aku yang
nyiapin sarapan”.
“OK…”, Laras menghentikan aktifitasnya, membalikkan
kepalanya dan mengecup bibir kekasihnya.
Glen pun kemudian beranjak keluar dari kamar. Dalam keadaan
duduk di depan meja rias dengan tubuh hanya berbalut handuk, Laras kembali
melanjutkan aktifitasnya mengeringkan rambut. Beberapa menit kemudian,
tiba-tiba terdengar ringtone dari ponselnya menandakan adanya SMS (=short
message service) yang masuk. Laras beranjak dari tempat duduknya dan mengambil
ponselnya di atas meja yang lain. Rupanya sejak tadi ia tidak menyadari
inbox-nya telah dipenuhi oleh beberapa SMS dari nomor yang sama. Laras lalu
membuka beberapa SMS tersebut.
“Kok ga prnh d bles c? smbong amat!”.
“Ktemuan lg yuk”.
“Bles dnk!”
“Klo ga bles lg aq dtng k kntormu lo”.
Laras menghela nafas setelah membaca SMS-SMS tersebut. Si
pengirim adalah Aldo, salah satu dari mantan kekasihnya. Aldo atau Laras biasa
memanggilnya Dodo, adalah mantan pacarnya ketika masih duduk di bangku kuliah.
Sudah lama kisah cinta mereka berakhir dan itu pun harus berakhir melalui
sebuah pertengkaran yang hebat. Semula Laras menyukai laki-laki itu karena
perawakannya yang keren dan perlente. Namun berlahan Laras mulai tidak menyukai
sifat Aldo yang cenderung egois dan keras kepala. Selain itu mantan kekasihnya
ini kerap bolos kuliah akibat kebiasaannya dugem. Kisah cinta mereka pun
berakhir hanya dalam hitungan bulan.
Kenangan kisah cinta mereka itu sudah lama terhapus dari
ingatan Laras, sampai suatu saat mereka bertemu kembali di dalam sebuah acara
seminar. Laras sendiri sudah tidak merasakan apa-apa lagi ketika bertemu dengan
mantan kekasihnya ini, selain layaknya bertemu teman lama. Hal ini jelas
berbeda dengan yang dirasakan oleh Aldo, karena sejak pertemuan itu Aldo hampir
setiap hari selalu mengganggu Laras dengan telepon-telepon iseng ataupun
SMS-SMS yang tidak jelas tujuannya. Pada dasarnya Aldo mencoba untuk menjalin
kembali kisah cinta lama mereka kembali, walaupun Laras sudah dengan tegas
mengatakan kalau dirinya kini sudah tidak sendiri lagi. Seperti biasa Laras
tidak menggubris SMS tersebut. Gadis itu kemudian mengosongkan inbox ponselnya
agar Glen tidak sampai membaca SMS-SMS tersebut dan menimbulkan masalah di
kemudian hari. Dengan tidak membalas SMS dan mengangkat telepon dari Aldo,
Laras berharap mantan kekasihnya ini akan bosan dengan sendirinya dan tidak
akan mengganggu kehidupannya lagi. Laras pun kembali melanjutkan aktifitasnya.
Beberapa menit kemudian gadis manis itu telah terlihat mengenakan satu set
pakaian kerjanya berupa blazer dan rok span berwarna hitam. Ia juga mengenakan
syal sutra berwarna merah untuk mempermanis penampilannya. Setelah dirasa
semuanya telah rapi, Laras memasukkan pakaian-pakaian lain ke dalam tas
besarnya dan juga memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam tas jinjing yang
akan dibawanya. Kemudian gadis manis itu pun keluar kamar.
“Sudah selesai masak Chef Glen? Hehe…”, Laras menghampiri
kekasihnya yang sedang sibuk di dapur dengan membawa sebuah wajan yang nampak
berisi telur oseng-oseng.
“Sudah dong! Miss Laras duduk saja di meja makan, sebentar
lagi masakan akan siap untuk dihidangkan hehe…”.
Laras tersenyum melihat tingkah kekasihnya yang bertingkah
seperti koki profesional. Ia merasa geli saja melihat Glen yang saat ini
memakai celemek, namun juga memakai pakaian kerja rapi lengkap dengan dasinya.
Laras pun kemudian berjalan menuju meja makan kecil dimana diatasnya telah
terhidang dua buah piring berisi nasi goreng serta dua gelas orange juice. Tak
lama setelah ia duduk, Glen keluar dari dapur membawa sepiring telur
oseng-oseng dan meletakkannya di atas meja.
“Bon appetit, Mademoiselle…”, Glen bergaya ala chef dari
negeri Perancis mempersilakan tamunya menikmati masakan hasil karyanya.
Laras tersenyum kecil, “Merci beaucoup, Monsieur”.
Kemudian Glen melepas celemek yang digunakannya lalu duduk
di hadapan Laras. Keduanya kemudian menikmati sarapan mereka bersama. Keduanya
saling menatap mesra sambil sesekali melemparkan senyum. Cinta terlihat begitu
jelas terpancar dari wajah kedua insan tersebut. Sebuah cinta yang terasa
begitu manis.
********
Tak terlihat namun bisa dirasakan seperti angin
Tenang namun mampu menghanyutkan seperti air
Hangat namun kadang menyengat seperti api
Damai namun kerap bergejolak seperti bumi
Begitulah Cinta
Sebuah misteri Yang Kuasa, untuk ciptaan-Nya.
********
Suasana di kantor.
“Mit, tolongin gue dong!”, Laras mendongakkan kepalanya dari
pintu memanggil Mita yang duduk di meja kerjanya.
Mita pun beranjak dari mejanya dan masuk ke dalam ruangan.
“Ada apa Bu?”.
“Aduh! Udah berapa kali sih gue bilangin ke lu kalau jangan
panggil gue ibu, kesannya tua banget tau nggak? Panggil gue Laras aja”, Laras
yang berdiri di depan komputer langsung sewot. Agaknya beban pekerjaan yang
sedemikian menumpuk sedari pagi dan itupun harus ia urus sendiri cukup
memancing emosinya.
“Maaf Bu, eh maksud saya maaf mbak Laras”, Mita nampak masih
segan memanggil Laras tanpa embel-embel Ibu atau mbak di depan namanya.
Mita masih berdiri di posisinya tadi. Gadis cantik ini
adalah pegawai baru di bagian Humas dan Marketing. Umurnya masih 20 tahun dan
masuk ke kantor ini dengan menggunakan ijasah D3-nya. Mita sendiri ditempatkan
di bagian sekretaris merangkap administrasi atas permintaan Adel. Saat ini ia
masih menjalani masa trainning selama 3 bulan dan telah berjalan selama 2
bulan. Adel sangat menyukai cara kerja Mita yang telaten, rapi dan cekatan
sehingga mungkin tak perlu waktu lama bagi gadis tersebut untuk bisa diangkat
sebagai pegawai tetap. Perawakan Mita sendiri cukup mungil namun proporsional.
Rambutnya yang hitam dipotong pendek sebahu dan kadang-kadang ia ikat ekor
kuda. Mita tergolong gadis yang cantik dan menarik, namun cenderung kalem dan
pemalu.
“Ya udah, lu kesini deh gue bingung lihat hitung-hitungan
yang satu ini”, Laras menunjuk ke layar komputer.
Mita kemudian berjalan mendekati tempat Laras di belakang
meja.
“Ini hitungan laporan keuangan bagian Marketing yang dibuat
Adel kan Mit?”.
“Iya Mbak, memang ini laporan yang terakhir dibuat sama Ibu
Adel”.
“Terus sudah di print? Tadi soalnya Pak Gatot nanyain hard
copy laporannya”.
“Kayaknya sih udah Mbak, saya dapet liat Ibu Adel ngeprint
data ini begitu selesai disusun”.
“Terus lu tahu dimana biasanya ditaruh ama Adel?”.
“Biasanya sih di lemari berkas disana”, Mita menunjuk ke
arah lemari berkas berbahan besi bertumpuk tiga di pojok ruangan.
Laras lalu beranjak menuju lemari besi tersebut dan mencoba
membukanya.
“Dikunci Mit, lu ada kunci cadangannya nggak?”.
“Nggak ada mbak”.
“Coba lu cek dulu data yang ada di komputer ini sudah bener
apa nggak, soalnya gue puyeng nih ngeliat angka sebanyak gini, ntar kalau sudah
bener lu print ulang aja deh biar nanti gue yang bawa ke ruangan Pak Gatot”.
“Iya mbak”, Mita pun menggantikan posisi Laras duduk di
depan komputer.
Entah untuk berapa lama Laras harus menggantikan posisi
Adel. Yang jelas terasa sangat ruwet dan melelahkan menggantikan tugas seorang
Manager Humas dan Marketing karena memang Laras bukanlah tipe pekerja gesit dan
cekatan seperti Adel. Laras tahu benar kalau Adel bukanlah seorang wanita lemah
yang gampang menyerah bila sakit menderanya. Jika memang Adel sampai harus
meminta ijin karena sakit, maka sakit yang dialaminya jelaslah sungguh luar
biasa. Hal ini pula yang mendasari mengapa sampai detik ini ia tidak menelpon
Adel ketika masalah muncul di kantor, karena ia tidak ingin mengganggu
sahabatnya tersebut. Walau penuh dengan keluh kesah, semua pekerjaan yang
semestinya dikerjakan oleh Adel sudah cukup lumayan dapat Laras jalani dengan
baik. Paling tidak, sampai saat ini belum tugas yang dikacaukan oleh tingkahnya
yang urakan dan selengean. Juga belum ada data yang tidak sengaja terhapus
ataupun file yang hilang oleh sifatnya yang teledor. Bersyukur di kantor ada
Mita yang membantunya sehingga ia jadi tidak perlu repot lagi mempelajari semua
masalah yang selama ini ditangani Adel. Jika tidak, mungkin Laras akan
mengalami stroke ringan apabila harus meng-handle semua pekerjaan rumit seperti
ini. Mita memang kerap diminta oleh Adel untuk ikut mempelajari tugas-tugas
kantor guna berjaga-jaga seandainya Adel harus meninggalkan kantor untuk
beberapa hari.
“Ini mbak”, Mita menyerahkan satu map berkas yang tadi
diprintnya kepada Laras.
“Thanks ya Mit, sekarang gue ke ruangan Pak Gatot dulu, lu
tunggu disini saja siapa tahu ada tamu yang datang”.
“Iya mbak”.
Laras pun beranjak menuju pintu dan berjalan keluar ruangan.
Namun belum beberapa langkah berjalan keluar ruangan tiba-tiba seseorang
menabraknya dari belakang. Tubrukan itu terjadi lumayan keras sehingga otomatis
semua berkas yang dipegang Laras terjatuh dari genggamannya dan berserakan di
lantai.
“Pak hati-hati dong, berantakan nih!”, Laras langsung
mengomel-ngomel ketika tahu yang menabraknya tadi adalah Pak Darmin, pesuruh di
kantor tersebut.
“Ma… maaf Non, bapak nggak sengaja”.
Laras melengos lalu berjongkok memunguti satu persatu
kertas-kertas yang berserakan di lantai dan memasukkannya kembali ke dalam map.
“Bantuin dong… bengong aja!”, umpatan kembali keluar dari
mulut gadis manis tersebut ketika melihat Pak Darmin hanya berdiri mematung
memandanginya.
“Eh, i… iya… Non”, Pak Darmin ikut berjongkok kemudian
meletakkan baki kosong yang dipegangnya dilantai. Laki-laki tua berwajah buruk
rupa itu lalu ikut membantu Laras mengumpulkan satu persatu kertas yang masih
terlihat cukup banyak berserakan di lantai.
“Tuh ambil yang disana sekalian!”.
“I… iya… Non”.
Memang pada dasarnya otak Pak Darmin sudah ter-setting untuk
berpikir mesum terhadap Laras, sehingga walau hari masih tergolong pagi namun
tetap saja otak mesum laki-laki tua itu tetap mampu berkontraksi dengan
otot-otot selangkangan melihat sosok bidadari di hadapannya. Sambil memunguti
kertas-kertas yang berserakan di lantai laki-laki tua itu sempat-sempatnya
sesekali melirik ke arah kedua paha dan betis Laras. Dalam keadaan berjongkok
seperti ini, kedua paha dan betis Laras memang menjadi cukup terekspos. Kedua
paha dan betis yang terlihat begitu mulus dan padat karena perawatan khusus
yang selalu dilakukan oleh sang pemilik. Pemandangan yang jelas begitu menggoda
birahi apalagi saat itu Laras mengenakan rok span pendek berukuran 10 cm diatas
lutut. Sayang celah yang terbuka diantara kedua paha tersebut tidak begitu
lebar sehingga Pak Darmin tidak begitu jelas melihat apa yang ada di balik rok
pendek tersebut. Tapi walau begitu pemandangan itu sudah sangat cukup untuk
membangkitkan gairah laki-laki tua itu.
“Apa liat-liat?”.
“Eh, nggak Non”.
“Bawa sini dong!”, kembali Laras berteriak cetus sambil
berdiri.
“Eh… I… iya Non”, pikiran kotor Pak Darmin pun langsung
lenyap akibat teriakan tersebut. Ia pun lalu berbegas berdiri dan menyerahkan
beberapa lembar kertas yang dipegangnya kepada Laras.
“Dasar… bikin repot aja nih!”.
“Ma… maaf Non”, Pak Darmin menjawab singkat.
“Lain kali kalau jalan itu pake mata dong pak!”.
“I… iya Non, maaf”.
Setelah itu Laras langsung beranjak pergi begitu saja tanpa
mengatakan sepatah kata apapun lagi kepada Pak Darmin. Pak Darmin sendiri hanya
bisa berdiri terpaku sambil memandang kepergian Laras. Gerakan tubuh Laras
ketika berjalan sungguh begitu terlihat indah di mata laki-laki tua itu. Di
matanya hampir tidak ada cacat yang terlihat dari tubuh proporsional tersebut.
Penilaian ini tentunya hanya sebatas untuk bagian-bagian tubuh yang bisa
ditatap langsung oleh mata nakalnya. Sedangkan untuk apa yang tertutupi oleh
pakaian, laki-laki tua itu tentu sampai saat ini hanya bisa sebatas
membayangkan keindahannya. Semakin lama Pak Darmin semakin terobsesi oleh sosok
gadis manis bernama lengkap Larasati Savitri tersebut. Obsesi liar yang ingin
sekali ia wujudkan menjadi kenyataan suatu saat nanti.
********
“Hei… belum makan siang nih?”, Heri mendongakkan kepalanya
ke dalam ruangan setelah ia mengetuk pintu beberapa kali.
Tak ada jawaban dari yang ditanya. Akhirnya Heri pun masuk
ke dalam ruangan tanpa menunggu jawaban.
“Masih sibuk ya Ras?”.
“Iya nih Her, hari ini kerjaan gue numpuknya segudang nih!”,
Laras menjawab tanpa melepaskan pandangannya dari layar komputer”.
“Ah? Sejak kapan cewek kayak lu dipindahin ke bagian gudang?
Tega amat! Haha…”.
“Gudang lu dari Hongkong?! Maksud gue ini nih!”, Laras
langsung mengomel dan menunjuk ke arah tumpukan berkas dan map di atas mejanya
di samping komputer.
“Iya, iya gue tahu jangan ngambek gitu dong hehe…”, Heri
lalu berjalan mendekat. “Ada yang bisa gue bantu nggak?”.
Heri adalah seorang pegawai yang bertugas di bagian tata
usaha, namun kadang diperbantukan pula di bagian perlengkapan. Laki-laki
bertubuh kurus dengan potongan rambut pendek belah dua tengah tersebut, berusia
setahun lebih tua dari Laras. Sudah sejak lama sebenarnya Heri menaruh hati
pada Laras, namun karena mendengar gadis manis itu telah memiliki kekasih ia
pun memilih untuk memendam perasaannya. Memandang dan bercengkrama dengan gadis
pujaan hatinya ini setiap hari sudah menjadi hal yang sangat membahagiakan bagi
dirinya, termasuk melihat senyum Laras yang begitu terlihat indah di matanya.
Laki-laki muda itu tahu benar kalau Laras saat ini hanya menganggapnya teman
biasa, tapi paling tidak dengan begini ia bisa terus berada dekat dengan gadis
pujaan hatinya itu setiap hari. Ia tahu ia harus tetap memendam cintanya,
sampai mungkin suatu saat nanti ia bisa menemukan momen yang tepat untuk mengungkapkan
perasaannya secara langsung. Cinta terpendam memang kadang terasa menyesakkan
di dada, namun tidak ada lagi yang bisa Heri lakukan saat ini selain menahan
rasa sesak tersebut dan menjalani kesemuanya dengan “normal”.
“Hari ini lu ada keluar nggak?”, Laras pun akhirnya
melepaskan pandangannya dari layar komputer.
“Ada sih, ntar gue disuruh nganterin pakaian-pakaian untuk
pemotretan besok ke studio”.
“Kalau gitu tolong sekalian beliin gue makanan dong,
kayaknya gue nggak bakal bisa keluar kantor nih seharian”.
“OK deh nona manis, Heri siap membantu hehe… memang mau
makan apa?”.
“Hhhmmm… apa ya?”, Laras nampak mengerutkan dahinya sejenak.
“Nasi campur di jalan *** aja deh, lu lewat sana nggak ntar?”.
“Ah itu sih bisa diatur, gampang deh ntar gue beliin”.
“Thanks ya Her, sorry nih ngerepotin hehe…”, Senyuman manis
pun tersungging di bibir gadis tersebut. Senyuman yang memang selalu dinanti
Heri setiap harinya, jauh melebihi penantiannya terhadap apapun di dunia ini.
“Nggak apa-apa kok, nyante aja”.
Heri pun beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Eh Her! Satu lagi…”, Laras berteriak ketika Heri sampai di
depan pintu.
“Apa lagi nona manis?”.
“Jangan lupa sambelnya dibanyakin, tambah krupuk and nggak
pake lama ya, cacing-cacing di perut gue udah pada demo nih minta di subsidi
hehehe…”.
“Ih dasar, cantik-cantik kok cacingan! Hahaha…”.
Laras hanya menjulurkan lidahnya menanggapi kata-kata Heri
tadi. “Tolong ya…”, ucap Laras lagi dengan nada manja.
“Beres bos, hitung aja dari satu ampe satu milyar, sebelum
hitungannya selesai gue pasti udah balik kok hahaha…”.
Heri pun menghilang dari balik pintu setelah sukses membuat
manyun gadis manis tersebut.
********
Sementara itu di tempat lain, masih di hari yang sama.
Telepon berbunyi di atas meja. Seorang wanita berparas
cantik ber-make up naturalis yang nampak sibuk memperhatikan beberapa berkas di
atas meja kerjanya kemudian nampak mengangkat gagang telepon tersebut.
“Halo selamat siang, Bank *** dengan Ecy disini, ada yang
bisa dibantu?”.
“Ibu Desi, bisa tolong ke ruangan saya sebentar”.
“Baik Pak, saya segera kesana”.
Wanita cantik itu pun berdiri dari tempat duduknya. Setelah
merapikan beberapa lembar kertas dan map di atas meja kerjanya, wanita itu pun
berjalan menuju sebuah ruangan tak jauh dari tempatnya tadi. Dari gerak
tubuhnya terlihat sekali sisi feminisme dan keeleganan yang terpancar pada
sosok wanita dewasa tersebut. Apalagi dibalut dengan pakaian kerja yang
dikenakannya saat ini kian menambah pesona keelokan tubuh wanita tersebut.
Wanita cantik itu adalah Desiany Lestari, biasa dipanggil Ecy atau Desi. Sosok
wanita dewasa ini adalah kakak kandung kedua dari Adelia. Sama seperti adik
kandungnya, di usia yang bisa dikatakan relatif sangat muda, 29 tahun, Ecy
telah memiliki karier yang cemerlang. Wanita cantik ini sudah dipercaya sebagai
manager keuangan dan fiskal di sebuah bank swasta. Sungguh suatu tanggung jawab
yang sangat besar, dimana sirkulasi keuangan yang melewati manajemen bank
tersebut sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun rupanya Ecy cukup mampu
dan cekatan memikul tanggung jawab tersebut karena kian hari memang kariernya
terlihat kian menanjak.
“Permisi Pak”, Ecy membuka pintu ruangan setelah sebelumnya
mengetuk beberapa kali.
“Silakan masuk”.
Ecy pun beranjak masuk ke dalam ruangan dan perlahan menutup
kembali pintu ruangan tersebut. Di belakang meja duduk seorang laki-laki paruh
baya bertubuh tambun. Laki-laki itu jelas bukanlah orang sembarangan di kantor
ini jika dilihat dari bahasa tubuh dan pakaian yang dikenakan. Setelan jas dan
kemeja lengkap dengan dasi sangat terlihat berkelas, ber-merk dan jelas
berharga mahal. Jam tangan dan sepatu yang dikenakan laki-laki tersebut mungkin
senilai dengan lima bulan gaji pegawai biasa di kantor tersebut. Namun dengan
segala kementerengan tersebut hanya satu kekurangan laki-laki tersebut, yaitu
penampilan fisiknya. Wajah laki-laki itu sangat jauh dari unsur tampan, bahkan
kalau harus di perhalus mungkin kita bisa mengatakan tidak cukup menarik.
Rambut di kepalanya hanya tersisa di bagian-bagian pinggir sedangkan diatasnya
sudah mengalami kebotakan. Kulit wajahnya penuh bopeng-bopeng bekas jerawat.
Laki-laki itu adalah Pak Baskoro, Direktur Utama dari bank tempat Ecy bekerja.
“Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu?”.
“Silakan duduk dulu”.
“Terima kasih Pak”.
Ecy menggeser kursi yang ada di depannya, kemudian duduk di
depan Pak Baskoro. Laki-laki paruh baya itu sama sekali tidak menoleh ke arah
Ecy. Ia nampak sibuk menandatangani beberapa tumpukan berkas yang ada di atas
meja kerjanya. Setelah selesai menandatangani berkas-berkas tersebut, Pak
Baskoro kemudian merapikannya dan memasukkannya kembali ke dalam map.
“Eehem…!”, Pak Baskoro berdehem. Ia lalu mengambil gelas air
di ujung mejanya kemudian meminumnya. Setelah itu ia meletakkannya kembali di
tempatnya semula.
Ecy sendiri terlihat hanya menunduk dan berdiam diri.
“Begini Ibu Desi, saya memanggil Ibu terkait dengan masalah
proses pemberian kredit atas permohonan yang diajukan oleh PT. ***”.
“Memang ada masalah dengan permohonan kredit PT. *** Pak?”.
“Sama sekali tidak ada masalah dengan proses pengucuran
dananya, namun yang menjadi masalah adalah pasca pengucuran dana kredit
tersebut”.
“Pasca pengucuran kredit? Maksud Bapak?”.
“Apa Ibu tidak mendengar kalau kemarin putusan pengadilan
telah memutus PT. *** pailit atau dengan kata lain bangkrut?”.
“Bangkrut Pak?”, Ecy cukup terkejut mendengar berita
tersebut.
“Iya bangkrut, dan untuk sementara ini aset perusahaan itu
telah dibekukan sambil menunggu perkembangan audit oleh kurator terhadap aset
kekayaan total perusahaan baik di dalam maupun di luar negeri”.
Pak Baskoro lalu mengambil sebuah map berwarna merah dari
dalam laci meja kerjanya dan menyerahkannya kepada Ecy. Ecy kemudian
menerimannya dan berlahan membuka halaman berkas tersebut satu persatu.
“Itu adalah salinan putusan pengadilan, kita diberikan
salinannya karena bank kita adalah menjadi salah satu debitur dari perusahaan
tersebut. Dengan telah dikabulkannya permohonan pailitnya PT. ***, tentu Ibu Desi
tahu apa konsekuensi terhadap bank kita?”.
“Iya Pak”, ucap Ecy lemah.
“Apa konsekuensinya Bu?”
“Kredit yang telah kita kucurkan beserta dengan bunganya
kemungkinan tidak akan bisa kembali sepenuhnya”.
“Benar… dan itu juga berarti bank kita akan mengalami
kerugian yang sangat besar”.
Ecy sama sekali tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu
benar kalau selama proses penilaian dan studi kelayakan pemberian kredit
terhadap PT. *** dirinyalah yang memegang tanggung jawab penuh terhadap
pengucuran dananya. Tapi saat itu, hasil studi menunjukkan kalau kondisi
keuangan perusahaan tersebut sangatlah baik, sehingga diperkirakan akan mampu
mengembalikan kredit yang mereka mohonkan beserta dengan bunganya terhitung
selama lima tahun. Namun jika semua ternyata justru terjadi sebaliknya, maka
jelas terdapat kesalahan atau pemalsuan data-data yang diberikan oleh
perusahaan tersebut kepada pihak bank. Ecy benar-benar menyesal kenapa ia bisa
begitu ceroboh dengan tidak melakukan cross check dengan teliti terhadap data-data
tersebut.
“Ibu Desi tentu bisa menghitung sendiri kerugian yang
mungkin akan kita alami. Ibu juga tentu tahu siapa yang paling bertanggung
jawab atas semua kerugian ini”.
Ecy tetap hanya bisa membisu. Ia benar-benar tidak terbayang
kalau kejadian seperti ini bisa menimpa dirinya. Saat ini Ecy benar-benar
merasa seperti orang yang paling bodoh sekaligus orang yang paling sial
sedunia. Wanita cantik ini sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana cara
dirinya harus mempertanggungjawabkan kerugian ini. Bahkan mungkin konsekuensi
yang paling buruk adalah mengalami pemecatan atau bahkan sanksi pidana berupa
penjara. Ini berarti pemasukan bulanan untuk rumah tangganya akan berhenti,
sedangkan saat ini tidak ada suami yang bisa ia andalkan untuk membiayai
hidupnya serta anak semata wayangnya, Joshua. Hal ini jelas akan menjadi
sesuatu berat bagi kehidupan Ecy yang memang saat ini sudah terasa sangat
berat.
“Ada yang ingin Ibu sampaikan?”.
Ecy hanya bisa menunduk. Ia pun kemudian hanya bisa
menggeleng dan berkata pelan, “Tidak ada Pak, ini semua memang kesalahan saya”.
“Bagus kalau Ibu sudah mengerti situasinya dengan jelas”,
Pak Baskoro kemudian kembali mengambil sebuah map dari meja kerjanya. Laki-laki
bertubuh tambun itu lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati
Ecy. Ia kemudian duduk di tepian meja kerjanya, tepat disamping Ecy. “OK, saya
sudah menyampaikan berita buruknya, sekarang saya akan menyampaikan berita
baiknya untuk Ibu”.
“Maksud Bapak?”.
“Saya sudah dapat membicarakan masalah ini dengan Pak
Candra, Komisaris Utama sekaligus pemilik dari PT. *** dan kami sudah
memperoleh kesepakatan tentang cara penyelesaian hutang piutang terkait kredit
yang telah dikucurkan oleh bank kita lengkap dengan bunganya. Bahkan kami juga
sudah menyusun draft perjanjian terkait penyelesaian hutang piutang tersebut”.
Pak Baskoro lalu menyerahkan sebuah map berwarna biru yang
dipegangnya kepada Ecy.
“Itu adalah draft perjanjian yang kami susun, Ibu bisa
membacanya sendiri”.
Ecy menerima map tersebut, kemudian membukanya. Di dalamnya
ada tiga lembar kertas, lalu ia pun mulai membaca isi yang tertulis di
dalamnya. Isi perjanjian tersebut memang mengatakan kalau bank tempatnya
bekerja mendapatkan prioritas utama untuk diselesaikan hutang piutangnya dan apabila
aset yang ada kurang, maka harta kekayaan pribadi Komisaris beserta dengan
Direksi sepenuhnya akan digunakan untuk mengganti kerugian tersebut. Hal ini
sungguh suatu yang sangat menggembirakan bagi Ecy, karena memang ini berarti
masih ada pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya.
“Jadi masalah Ibu akan segera teratasi apabila perjanjian
ini ditandatangani nanti. Sayangnya, hanya ada satu masalah yang sedikit
mengganjal di dalam tercapainya kesepakatan antara saya dengan Pak Candra dan
masalah itu ada kaitannya dengan Ibu Desi”.
“Saya Pak?”.
“Iya… Ibu…, Pak Candra menginginkan adanya sebuah klausul
tidak tertulis di dalam perjanjian di mana Ibu Desi memiliki peranan yang besar
di dalamnya”.
“Saya tidak mengerti Pak”.
Pak Baskoro kembali berdiri kemudian berjalan pelan menuju
ke belakang Ecy.
“Selama proses negosiasi permohonan kredit Pak Candra
mengatakan kepada saya, kalau Beliau menaruh perhatian spesial kepada Ibu Desi,
bahkan semakin hari Beliau menjadi semakin terobsesi akan sosok Ibu. Ketika
masalah ini muncul dan mendengar Ibu kemungkinan akan terseret ke dalam kasus
ini, maka Beliau bersedia mengeluarkan uang dari rekening pribadinya untuk
mengganti kerugian bank kita asalkan Ibu Desi terbebas dari jeratan hukum”.
Sesaat Pak Baskoro terdiam. Sedangkan Ecy masih hanya bisa
menunduk, namun di dalam hati kecilnya seolah-olah ia bisa membaca arah
pembicaraan bosnya ini. Ada perasaan tidak enak di dalam dirinya, seolah-olah
mengatakan kalau semua ini akan berimbas tidak baik untuk dirinya.
“Eehem…!”, Pak Baskoro berdehem sebelum melanjutkan
kata-katanya. “Sebagai konsekuensi atas kesediaan Pak Candra untuk mengeluarkan
dana pribadinya demi Ibu, maka Beliau menginginkan Ibu Desi untuk menukar uang
sejumlah tersebut dengan kehangatan tubuh molek Ibu”.
Bagaikan tersambar petir Ecy bergitu tersentak mendengar
kata-kata atasannya tadi. Ia benar-benar tidak menyangka laki-laki yang begitu
ia hormati bisa mengeluarkan kata-kata sekotor dan sehina itu. Bagaimana bisa
atasannya ini menyetujui perjanjian yang jelas-jelas akan merugikan dan
menyudutkan dirinya dalam keadaan serba salah seperti ini. Ecy terlihat begitu
shock, sehingga kini ia hanya bisa duduk mematung dengan tatapan kosong.
“Ibu tidak perlu menjawabnya saat ini juga, Ibu bisa
memikirkannya dulu matang-matang di rumah, namun saya minta besok Ibu sudah
bisa memberikan jawaban”, Pak Baskoro kemudian kembali berjalan menuju ke
belakang mejanya dan duduk di kursinya. “Sekarang saya akan coba mempertegas
lagi posisi Ibu saat ini, Ibu Desi bisa memilih untuk mempertanggungjawabkan
seluruh kerugian yang dialami bank dan menggantinya dengan sejumlah uang,
dimana bila Ibu tidak mampu melakukannya maka bank akan menempuh jalur hukum
atau di pihak lain Ibu bisa memenuhi permintaan Pak Candra mungkin hanya untuk
beberapa hari saja dan masalah ini kita anggap selesai”.
Ecy terlihat masih shock dan masih belum bisa berkata
apa-apa. Pak Baskoro melihat ekspresi kosong bawahannya ini dengan tersenyum
kecil.
“Ibu Desi tentu tahu pilihan terbaik yang harus Ibu pilih
demi masa depan Ibu dan anak Ibu”.
Wanita cantik itu pun kembali tersentak ketika Pak Baskoro
menyebut-nyebut mengenai anaknya. Apa yang dikatakan atasannya yang berhati
jahat ini memang benar adanya. Masalah ini memang tidak hanya menyangkut dirinya
saja, tetapi juga menyangkut anaknya Joshua, satu-satunya yang tersisa dari
hubungan rumah tangganya yang telah lama hancur.
“Sekarang Ibu boleh keluar dan melanjutkan kembali pekerjaan
Ibu, tapi ingat besok saya akan meminta jawaban Ibu atas permasalahan ini”.
Ecy segera beranjak dari tempat duduknya. Wanita cantik lalu
langsung berjalan keluar dari ruangan tersebut tanpa sama sekali melihat
kembali ke arah atasannya tersebut. Sedangkan Pak Baskoro terlihat hanya
tersenyum melihat Ecy yang berjalan menuju pintu dan kemudian menghilang dari
baliknya. Senyuman itu seakan-akan memperlihatkan kalau dirinya tahu benar apa
jawaban yang akan diberikan oleh bawahan cantiknya tersebut esok hari.
********
Malam harinya Ecy sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.
Ia masih terus terbayang-bayang kata-kata gila Pak Baskoro sore tadi. Bagaimana
mungkin seorang pimpinan yang begitu ia hormati bisa sedemikian tega menukar
dirinya demi mencapai kesepakatan dengan rekan bisnisnya. Semua masalah ini
memang berawal dari dirinya, namun Ecy sama sekali tidak bisa menerima kalau ia
sampai harus mempertanggungjawabkan semua masalah ini dengan menggunakan
tubuhnya sebagai imbalan. Ecy membuka sedikit pintu kamar Joshua dan memandang
ke arah anak kandungnya yang kini sedang tertidur di ranjang. Sebagai seorang
ibu tentunya Ecy sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada
Jos seandainya ia harus berurusan dengan hukum dan pengadilan. Tentu ia tidak
bisa menyerahkan begitu saja Jos kepada mantan suaminya, karena mantan suaminya
tersebut kini telah memiliki keluarganya sendiri. Tentu Jos sendiri tidak akan
bisa hidup dalam keluarga baru dengan status sebagai anak tiri. Pepatah memang
mengatakan kalau kasih anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang masa, namun
jika ia mengutamakan cintanya kepada Jos maka itu berarti ia harus memilih
untuk menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki lain yang bukan suaminya dan masih
berstatus suami orang. Hal inilah yang membuatnya begitu bingung karena jika ia
menerima permintaan tersebut berarti ia melakukan dosa yang luar biasa karena
melakukan perzinahan.
Ecy memang seperti layaknya Adel, adalah juga wanita bertipe
konservatif yang tidak suka berganti-ganti pasangan. Perbedaan antara dua
saudara kandung ini adalah jika Adel pernah merasakan nikmatnya persetubuhan
tidak hanya dengan satu laki-laki, maka Ecy merengkuh kenikmatan duniawi
tersebut hanya dengan satu laki-laki. Ecy memang sebenarnya telah hamil sebelum
melangsungkan pernikahan, namun laki-laki yang memerawaninya sekaligus
menanamkan benih di rahimnya hanyalah mantan suaminya seorang. Setelah bercerai
Ecy sama sekali tidak pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki manapun
juga. Dengan wajah cantik dan tubuh yang indah, memang membuat banyak laki-laki
yang coba untuk mendekati Ecy dan ingin menjadi pendamping hidupnya yang baru.
Namun Ecy merasa belum menemukan adanya kecocokan dari mereka semua. Akhirnya
wanita cantik ini pun memilih untuk tetap hidup sendiri. Ecy lalu menutup pintu
kamar Jos dan beranjak menuju ke kamarnya sendiri. Di dalam kamar wanita cantik
itu merebahkan tubuhnya. Dengan hanya berbalut gaun tidur berwarna hitam tipis,
lekuk-lekuk tubuh sempurna Ecy terlihat begitu indah di atas ranjang. Memang
ranjang tersebut sampai saat ini terasa begitu dingin, namun itu tentu tidak
bisa menjadi pembenar bagi Ecy apabila ia terpaksa memilih untuk menyerahkan
tubuhnya. Kehangatan cinta sejati tentu sangatlah berbeda dengan kehangatan
yang ia peroleh hanya beralaskan nafsu belaka. Tanpa diinginkan air mata pun
mulai mengalir dari kedua mata indahnya. Pergolakan batin itu pun terus
berkecambuk di dalam diri Ecy, sampai akhirnya wanita cantik itu terlelap dalam
tidurnya.
********
Keesokan harinya.
“Ooohhh… ssshh… ohhh… aaahh…”.
Terdengar suara desahan lirih dari dalam kamar mandi. Suara
itu mungkin tidak akan terdengar begitu jelas oleh orang-orang yang kebetulan
lewat dari luar, kecuali memang orang tersebut menempelkan telingannya di pintu
kamar mandi. Di dalam ruangan kecil tersebut nampak seorang laki-laki tua
sedang mengocok batang penisnya yang sudah terlihat menegang hebat menggunakan
tangan kirinya. Sementara tangan kanannya terlihat memegang sebuah ponsel
dimana di layar ponsel tersebut terpampang foto wajah seorang gadis cantik.
“Aaah… ssshh… Oohh…”.
Walaupun sudah terlihat berumur cukup lanjut namun batang
penis laki-laki tua tersebut terlihat begitu kokoh. Ukuran yang panjang,
ditambah diameter yang lebar serta urat-urat yang kekar seolah-olah
memperlihatkan betapa hebatnya kekuatan laki-laki tua tersebut diatas ranjang.
Hal ini juga menunjukkan bagaimana tingginya nafsu birahi laki-laki tua
tersebut. Kocokan laki-laki itu semakin kencang seiring foto-foto di layar
ponselnya terus berganti pose dengan gambar gadis yang tetap sama. Laki-laki
tua itu adalah Pak Darmin, sang pesuruh kantor. Sedangkan foto gadis di layar
ponselnya adalah foto Laras, gadis idaman di dalam mimpi-mimpi mesumnya.
Foto-foto tersebut jelas diambil secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan
sang gadis. Memang kian hari obsesi Pak Darmin terhadap Laras kian tak
terbendung. Ingin sekali rasanya ia memeluk tubuh molek gadis manis tersebut
dan menikmati kehangatannya. Namun Pak Darmin jelas tahu benar kalau ia tidak
bisa mengatakan niatnya tersebut secara langsung kepada sang gadis. Ia sadar
kalau status dirinya di kantor tersebut hanya pegawai rendahan. Selain itu
sosok nya yang menyerupai buruh kasar dan berperawakan buruk rupa jelas tidak
akan menarik di mata Laras. Sehingga saat ini ia hanya bisa menjadikan Laras
sebagai objek fantasi seksualnya setiap kali melakukan self service. Pak Darmin
sendiri berperawakan pendek dengan rambut keriting dan keriput menghiasi wajah
serta sekujur kulit tubuh yang memang telah termakan usia. Saat ini Pak Darmin
masih memiliki seorang istri, tapi istrinya berada jauh di kampung. Ia baru
bisa menemui istri, anak-anak dan cucu-cucunya hanya setahun sekali karena
memang biaya untuk pulang ke kampung akan cukup menguras koceknya yang
pas-pasan. Akibatnya, kebutuhan biologis laki-laki tua itu menjadi tidak
tersalurkan padahal ia termasuk laki-laki dengan tingkat libido yang tinggi.
Bertemu dengan wanita-wanita cantik, entah itu para model ataupun
pegawai-pegawai yang kerap kali berseliweran di depannya kian menyiksa birahi
Pak Darmin. Dorongan untuk menyalurkan libido pun kian hari kian tak
tertahankan.
“Oohh… Non Laras… aahh…”, Pak Darmin merancau lirih.
Laki-laki tua itu pun terpaksa menambah sabun di penisnya
karena kocokannya mulai terasa seret. Termasuk cukup gila juga Pak Darmin
melakukan coli di kamar mandi kantor dimana setiap waktu bisa saja ada
seseorang yang masuk ke dalamnya. Namun apabila nafsu sudah menjadi raja maka
akal sehat otomatis akan terpinggirkan. Beruntung saat itu memang sedang
waktunya makan siang, sehingga hanya tersisa beberapa pegawai saja yang berada
di kantor.
“Ooohhh… ohhh… oooh…”, Pak Darmin kian mempercepat
kocokannya, apalagi ketika di layar ponselnya memperlihatkan foto pantat Laras
yang montok ketika berjongkok.
Setelah beberapa menit melakukan aktifitas onani, akhirnya
tiba juga laki-laki tua itu pada puncak permainan. “Croot… croot… croot!”,
batang kokoh itu pun menyemburkan beberapa kali cairan putih kental dari
ujungnya. Cairan itu muncrat ke dalam lubang kloset. Pak Darmin nampak terpejam
dan menikmati betul rasa nikmat yang diperolehnya walaupun tentunya rasa nikmat
itu tidak sebanding dengan rasa nikmat apabila melakukan persetubuhan secara
langsung. Ketika Pak Darmin tersadar dari belenggu birahinya dan hendak
membersihkan sisa sperma di penisnya, laki-laki tua itu baru menyadari kalau
dari luar ruangan tempatnya berada kini terdengar beberapa kali bentakan dan
teriakan yang sangat keras. Suara teriakan tersebut terdengar seperti beberapa
orang yang sedang berkelahi. Pak Darmin pun segera membersihkan diri dan
bergegas mengenakan kembali celananya. Laki-laki tua itu keluar dari dalam
kamar mandi dan dengan segera berlari menuju ke sumber suara. Suara-suara
teriakan tersebut terdengar semakin kencang ketika Pak Darmin mendekati ruangan
utama di kantor tersebut. Suara tersebut terdengar seperti suara seorang
laki-laki. Begitu Pak Darmin memasuki ruangan tersebut ia melihat seorang
pemuda dengan gaya berpakaian casual sedang meronta sambil berteriak-teriak
karena kedua tangannya di pegangi oleh kedua satpam kantor. Sedangkan di depan
pemuda tersebut berdiri Laras dengan didampingi beberapa karyawan lain yang
tidak keluar makan siang hari itu. Laki-laki tua itu pun memilih untuk melihat
kejadian itu dari kejauhan. Agaknya Pak Darmin memilih untuk memperhatikan dahulu
apa yang sebenarnya terjadi di ruangan tersebut.
“Gue punya hak kok datang kesini Ras, lu nggak bisa
ngusir-ngusir gue kayak gini!”.
“Iya, tapi bukan dalam kondisi nggak waras kayak gini Do!
Ini tempat umum”.
“Gue itu cinta mati ama lu Ras, tapi kenapa sih dulu lu
ninggalin gue? Kenapa Ras?”.
“Do, gue itu sudah nggak tahan jalan bareng lagi ama lu,
berapa kali sih gue musti jelasin ke lu? Kita itu sudah nggak ada kecocokan
lagi”.
“Gue nggak peduli pokoknya gue mau balik ama lu!”.
“Nggak bisa Do, beneran nggak bisa!”.
Pemuda itu terus meronta dan berteriak-teriak. Kedua satpam
kantor yang kini memegang kedua tangannya terus berusaha menyeretnya keluar
ruangan, namun pemuda tersebut tetap berusaha untuk bertahan. Pemuda itu adalah
Aldo, mantan kekasih Laras yang kerap menerornya beberapa minggu ini. Entah
kenapa tiba-tiba saja Aldo muncul di dalam kantor tersebut dan langsung menarik
Laras keluar dari ruangan dan memaksa untuk mengikutinya meninggalkan kantor.
Beruntung satpam kantor tersebut dengan sigap menangkap laki-laki tersebut
sebelum melakukan hal-hal yang lebih gila lagi kepada gadis manis tersebut.
Namun dari ekspresi wajah Laras nampak sekali kalau ia begitu shock atas
kejadian ini.
“Lepasin! Lepasin gue!”, Aldo terus meronta namun pegangan
kedua satpam tersebut justru semakin kencang mencengkeram kedua lengannya.
“Anjing lu pada, lepasin gue!”.
“Do, mending lu pergi deh sekarang, nggak enak di lihat
orang-orang”.
“Gue nggak bakal pergi Ras sebelum lu bilang kalau lu mau
balik sama gue!”.
“Lu jangan keras kepala gitu dong, hubungan kita itu sudah
selesai sejak dulu”, Laras hampir menangis melihat tingkah Aldo yang menggila
dan kekanak-kanakan seperti ini.
Ia benar-benar malu karena pemuda di hadapannya ini
mengumbar masalah yang seharusnya bersifat pribadi di depan teman-teman
kantornya seperti sekarang. Dua orang pegawai wanita yang tadinya berdiri di
samping Laras, kini memegang tubuh Laras karena melihat gadis manis itu mulai
terlihat limbung dan kehilangan keseimbangannya. Sementara masih di tempatnya
semula Pak Darmin nampak terus mengawasi apa yang sedang terjadi. Tatap matanya
terlihat begitu tajam memperhatikan sosok laki-laki yang saat ini sedang
berteriak-teriak ke arah Laras.
“Bilang kalau lu mau balik ke gue Ras!”.
“Do, lu tu sakit jiwa tahu nggak!”.
“Lu boleh bilang apa saja, gue cinta lu Ras, tolong balik ke
gue!”.
“Nggak Do, nggak mungkin”.
Kini dua orang pegawai laki-laki ikut memegangi tubuh pemuda
tersebut. Tak lama mereka pun kemudian berhasil menarik tubuh Aldo keluar dari
ruangan tersebut. Aldo sendiri nampak masih terus meronta-ronta berusaha
melepaskan diri.
“Anjing… Bangsat! Lepasin gue! Lepasin gue!”, rontaan
laki-laki tersebut semakin liar ketika keempat laki-laki tersebut berhasil
menarik dirinya menjauhi Laras.
Kedua kakinya menendang-nendang kesegala arah dengan
kesetanan. Umpatan-umpatan kasar pun terus keluar dari mulut laki-laki
tersebut.
“Gue nggak bakal berhenti sampai lu bilang iya Ras, lu
denger? Gue cinta lu Ras! Gue nggak bakal berhenti sampai gue ngedapetin lu
lagi!”, teriak Aldo ditengah rontaannya.
Akhirnya Aldo pun berhasil ditarik keluar dari ruangan
tersebut. Berlahan teriakan-teriakan Aldo terdengar semakin kecil dan kemudian
menghilang. Laras berhasil menahan dirinya untuk tidak menangis, namun di dalam
hatinya terbersit ketakutan dan perasaan was-was melihat kegilaan mantan
kekasihnya tadi. Apalagi ditambah kata-kata Aldo yang mengatakan kalau dirinya
tidak akan menghentikan kegilaannya ini. Laras hanya bisa merinding
membayangkan hal gila apa lagi yang mungkin bisa dilakukan oleh laki-laki
tersebut. Setelah berkali-laki meminta maaf kepada rekan-rekan kantornya, Laras
pun kembali memasuki ruangannya. Pegawai-pegawai yang tadi berkerumun pun mulai
membubarkan diri dan kembali ke tempat mereka masing-masing. Di dalam ruangan
Laras menghempaskan dirinya di kursi. Ia lalu menopangkan kepalanya dengan
kedua tangan di atas meja. Kepalanya terasa benar-benar pusing akibat kejadian
yang baru saja terjadi. Rupanya Laras yang semula mengira kalau dengan cara
tidak membalas dan mengangkat telepon dari Aldo maka laki-laki itu akan
berhenti mengganggunya, ternyata tidak terealisasi. Justru kini Aldo menjadi
semakin nekat dengan datang langsung ke kantornya. Hari ini beban pikirannya
pun semakin bertambah, menambah berat hari ini yang memang telah terasa berat.
Bagaimana tidak, di satu sisi gadis manis ini masih harus menggantikan posisi
Adel yang masih belum juga kembali bekerja sedangkan di sisi lain Aldo datang
di saat yang tidak tepat untuk mengacau di kantor ini.
“Maaf mbak Laras, ada yang bisa saya bantu?”, Laras baru
menyadari kalau Minta rupanya tadi mengikutinya masuk ke dalam ruangan. Ia pun
membuka kedua matanya dan menoleh ke arah Mita.
“Nggak ada Mit, lu keluar aja, gue lagi pengen sendiri nih”.
“Iya mbak”, Mita pun hendak beranjak keluar ruangan.
“Eh Mit, kalau ada tamu yang nggak begitu penting tolong lu
handle sendiri aja dulu ya”.
Mita hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Sedangkan
di lain pihak, Pak Darmin yang sedari tadi melihat kejadian tersebut dari
kejauhan justru terlihat tersenyum. Sebuah senyuman penuh kelicikan. Entah
pikiran jahat apa yang kini sedang melintas di dalam otak kotornya. Yang jelas
kini laki-laki tua tersebut terlihat berjalan menuju ke luar ruangan tersebut,
dengan tetap meyunggingkan senyumannnya. Senyuman yang penuh dengan
kemisteriusan.
********
“Sepertinya saya tidak perlu berbasa-basi lagi, jadi
bagaimana jawaban Ibu?”.
Akhirnya saat-saat yang paling ditakuti Ecy terjadi juga di
hari ini. Wanita berparas cantik itu harus kembali duduk di depan atasannya
yang ternyata berotak mesum dan berhati iblis. Parahnya lagi kini ia harus
memberikan jawaban atas permintaan tidak waras yang disampaikan oleh atasannya
ini kemarin. Jawaban yang sama sekali belum ia temukan walaupun telah ia
pikirkan sepanjang malam. Ecy pun hanya terlihat duduk sambil menundukkan
wajahnya.
“Bagaimana Bu?”.
Ecy masih belum bisa mengeluarkan kata-kata. Wanita cantik
itu sampai saat ini tetap hanya bisa menunduk.
“Baiklah, kalau begitu kembali saya akan pertegas pilihan
yang saya berikan kemarin. Opsi pertama, Ibu bersedia mempertanggungjawabkan
segala kerugian yang dialami oleh bank, termasuk apabila masalah ini sampai ke
ranah hukum atau opsi kedua permasalahan kredit ini akan diselesaikan secara
pribadi oleh Pak Candra, tapi itu berarti Ibu bersedia untuk memenuhi klausul
perjanjian yang ditawarkan oleh Beliau”. Sesaat Pak Baskoro berhenti berbicara,
“Opsi mana yang akan ibu pilih?”.
Kata-kata yang keluar dari mulut Pak Baskoro terdengar
begitu tenang dan berwibawa. Namun bagi Ecy kata-kata itu terdengar seperti
musik horor di telinganya. Semua opsi yang diberikan oleh laki-laki bertubuh
tambun di hadapannya ini masih tetap seperti yang didengarnya kemarin, dimana
kesemuanya menyudutkan dirinya. Saat ini Ecy merasa bagaikan makan buah
simalakama yang legendaris, dimana makan ataupun tidak memakannya tetap saja
dirinyalah yang menjadi korban.
“Sa.. saya nggak tahu Pak”, ucap Ecy pelan.
“Jadi Ibu belum tahu harus menjawab apa?”.
Ecy mengangguk, kemudian ia kembali menunduk.
“Saya sudah memberikan Ibu waktu, sekarang kita sudah tidak
memiliki waktu lagi, cepat atau lambat masalah ini akan terendus oleh media dan
masyarakat, pada saat itu Ibu sama sekali tidak akan memiliki opsi seperti
seperti yang saya tawarkan ini lagi”. Laki-laki tambun itu lalu memainkan
pulpen yang dipegangnya kemudian melanjutkan kata-katanya, “Saat itu ibu suka
tidak suka harus berhadapan dengan yang berwajib, bayangkan bagaimana nasib
anak ibu yang kini beranjak dewasa, bagaimana ia akan menjadi ibarat seekor
ayam yang kehilangan induknya”.
Ecy menggigit bibir bawahnya sambil tetap membisu dan
tertunduk. Pak Baskoro nampaknya berusaha mempengaruhi psikologis wanita cantik
tersebut dari sisi keibuannya. Melihat bahasa tubuh Ecy, agaknya usaha tersebut
memang berhasil.
“Bukankah Ibu adalah seorang janda? Tentunya akan sangat
berat bagi anak Ibu untuk hidup dibawah tekanan orang tua yang bercerai,
apalagi kemudian Ibu juga akhirnya terpaksa untuk meninggalkannya akibat harus
menjalani hidup di balik jeruji besi”, Pak Baskoro terus berusaha menstimulus
otak Ecy dan menekan mentalnya.
Ecy mengepalkan erat kedua tangannya. Ia benar-benar kesal
dengan ketidakberdayaannya ini.
“Siapa yang akan menafkahi anak Ibu lagi? Ayahnya? Bisa
saja, tapi itu pun pasti tetap akan menyiksa batin Ibu karena akan terpisah
dengannya untuk jangka waktu yang sangat panjang”.
“To… tolong hentikan Pak!”, Ecy berguman pelan. Emosinya
mulai terstimulus mendengar kata-kata yang diucapkan oleh atasannya.
“Yang saya inginkan hanya ibu memikirkan baik-baik pilihan
yang hendak Ibu ambil, pikirkan karier Ibu dan masa depan anak Ibu, tidak ada
salahnya kan kalau Ibu menerima permintaan Pak Candra dan semua ini pasti akan
berakhir dengan baik”.
Kembali Ecy harus mengepalkan telapak tangannya, berusaha
menekan emosinya agar tidak meledak. Ia benar-benar sadar kini laki-laki tambun
ini berusaha menggiring pikirannya untuk memberi jawaban seperti keinginannya,
yaitu menyerahkan tubuhnya.
“Bagaimana Ibu Desi?”.
Untuk beberapa saat Ecy masih tetap terdiam sambil tetap
berusaha menjaga akal sehatnya. Pak Baskoro hanya duduk di meja kerjanya
memandangi wanita cantik di hadapannya yang masih tertunduk lesu. Karena masih
belum juga ada jawaban yang keluar dari mulut Ecy setelah sekian lama ia
menunggu, kesabaran Pak Baskoro nampaknya mulai berkurang.
“Tolong jangan menguji kesabaran saya, sekali lagi saya
ulangi pertanyaan saya, opsi mana yang akan Ibu pilih?”, kini nada suara
laki-laki tambun itu terdengar agak meninggi.
Dengan tetap dalam keadaan tertunduk, Ecy memejamkan matanya
dan menghela nafas panjang. “Op.. opsi du… dua”, ucap wanita cantik lirih.
“Maaf bu, saya kurang jelas mendengarnya”, Pak Baskoro
seakaan-akan berusaha menegaskan apa yang sebenarnya sudah sangat jelas ia
dengar.
“Opsi kedua Pak”, ingin sekali Ecy mengutuk dirinya sendiri
karena kata-kata penuh rasa putus asa itu akhirnya keluar dari mulutnya.
“Hahaha… pilihan yang bagus! Kalau begitu saya akan
beritahukan Pak Candra secepatnya agar masalah ini segera beres”.
Walau dalam keadaan tertunduk, Ecy seolah-olah bisa melihat
senyum mesum pasti kini sedang tersungging di wajah laki-laki bertubuh tambun
dan berwajah buruk rupa dihadapannya. Hal ini pun menambah kesal dan rasa muak
di dalam dirinya terhadap atasannya ini. Pak Baskoro kemudian berdiri dari
kursinya dan berjalan ke belakang Ecy.
“Ibu benar-benar yakin dengan keputusan Ibu tadi?”, tangan
Pak Baskoro menyentuh pundak Ecy dan berlahan memainkan ujung-ujung jarinya.
Wanita cantik itu pun tidak berusaha menepisnya, ia rupanya memilih untuk diam
dan membiarkannya.
Ecy hanya mengangguk pelan. Kata-kata telah terucap, pilihan
telah diputuskan. Kini Ecy hanya bisa pasrah pada nasibnya. Dalam benaknya
wanita cantik ini hanya bisa berkata yang terjadi maka biarkanlah terjadi,
selama ia tidak terpisahkan dari buah hatinya.
“Baiklah sepertinya kesepakatan ini perlu kita rayakan
dengan makan siang hehe…”.
“Ma… makan siang?”, ucap Ecy pelan.
“Iya, bukankah ini memang waktunya makan siang?”. Pak
Baskoro melepaskan rabaan tangannya di pundak Ecy. Kemudian ia melangkah
kembali ke belakang meja kerjanya. “Sekarang saya beri waktu Ibu sepuluh menit
untuk membereskan meja Ibu, setelah itu kita pergi makan siang dan persiapkan
diri Ibu karena mungkin kita akan kembali ke kantor cukup lama”.
Ecy sama sekali tidak mengerti dengan maksud dari kata-kata
atasannya ini, namun ia jelas tidak ingin melawan laki-laki tambun tersebut. Ia
pun berdiri dan beranjak menuju pintu ruangan. Langkah kakinya terlihat begitu
gontai. Wanita itu pun kemudian menghilang dari pintu ruangan. Sedangkan Pak
Baskoro merapikan berkas-berkas yang ada di atas mejanya, masih dalam keadaan
senyum yang sama tersungging lebar di wajahnya.
********
“Bagaimana makanannya Ibu Desi? Enak?”.
Ecy hanya mengangguk pelan.
“Kalau Ibu mau menambah pesanan lagi, silakan saja tidak
usah malu-malu hehe…”.
Pak Baskoro mengajak Ecy makan siang di sebuah restoran yang
cukup berkelas di kota tersebut. Terlihat hanya beberapa orang yang makan di
tempat tersebut. Rata-rata dari mereka terlihat seperti pebisnis ataupun
eksekutif muda yang sedang membicarakan bisnis mereka dengan klien. Restoran
ini memang merupakan bagian dari sebuah hotel bintang lima sehingga tentunya
makanan yang tersedia di bandrol dengan harga yang cukup menguras kantong untuk
ukuran masyarakat kelas menengah kebawah. Entah kenapa Pak Baskoro mengajaknya
makan di tempat semewah ini. Apakah untuk merayakan kesuksesannya menyelesaikan
perjanjian dengan Pak Candra? Bukanlah perjanjian itu belum terealisasi? Lalu
kenapa harus dirayakan jauh-jauh hari sebelumnya? Ecy sebenarnya ingin
mengetahui jawabannya, namun ia tetap milih untuk diam dan mengikuti apa yang
diinginkan oleh Pak Baskoro.
“Ibu Desi sudah berapa lama bekerja di perusahaan?”.
“Hampir lima tahun Pak”.
“Hhmm… lama juga ya?”, Pak Baskoro sejenak mengelap bibirnya
dengan serbet. “Kalau saya boleh tahu sudah berapa lama Ibu menjanda?”.
Ecy nyaris saja tersedak mendengar pertanyaan atasannya
tersebut. Beruntung ia segera bisa menguasai dirinya kembali. “Hampir tiga
tahun”, jawab Ecy singkat.
“Oh… tentu susah ya menjadi single parent untuk anak Ibu
selama tiga tahun ini”.
“Begitulah Pak”, Ecy mulai merasa risih dengan pertanyaan
Pak Baskoro yang mulai menjurus ke masalah pribadi.
“Kenapa Ibu berpisah dengan suami Ibu?”.
“Maaf Pak, saya tidak bisa menjawabnya soalnya masalahnya
sedikit rumit”, Ecy berusaha dengan sehalus mungkin menghindar untuk menjawab
pertanyaan tersebut, karena ia tidak ingin mengenang kembali masa-masa kelamnya
dalam membina rumah tangga.
“O tidak apa-apa, saya mengerti, maafkan kalau saya sudah
menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi terlalu jauh”.
Mereka pun kembali melanjutkan makan mereka dalam kesunyian.
“Sudah Bu?”, akhirnya Pak Baskoro membuka suara setelah
melihat Ecy selesai menikmati segelas kecil vanilla ice cream di hadapannya
sebagai makanan pencuci mulut.
Kembali Ecy hanya mengangguk pelan.
“Pelayan!”, Pak Baskoro lalu melambai ke arah seorang
laki-laki yang berdiri beberapa meter dari tempatnya duduk.
Laki-laki berseragam itu pun berjalan ke arahnya.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?”.
“Tolong bill-nya”.
“Oh, sebentar Pak saya ambilkan untuk Bapak”, laki-laki muda
itu lalu berjalan menuju ke belakang restoran, tepatnya ke bagian kasir.
Pak Baskoro lalu tersenyum kecil ke arah Ecy. Wanita cantik
itu pun membalas dengan senyuman singkat, kemudian menundukkan kepalanya. Tak
lama pelayan laki-laki itu pun kembali.
“Permisi Pak, ini bill-nya”, pelayan itu menyerahkan sebuah
nampan kecil berisikan sebuah kertas bertuliskan sejumlah angka-angka.
Setelah melihat jumlah yang tertera pada kertas kecil
tersebut, Pak Baskoro lalu menyerahkan nampan tersebut kembali disertakan
dengan kartu kreditnya. “Tolong bilang ke manager hotel kalau bill ini digabung
saja dengan pesanan saya yang lain dan semuanya di agar charge atas nama saya,
saya akan bayar di resepsionis setelah semua urusan saya selesai”.
“Baik Pak, nanti saya sampaikan”, pelayan itu mengambil
kembali nampannya. “Permisi Pak, Bu…”, ia pun kemudian beranjak meninggalkan
meja tersebut.
Pak Baskoro lalu beranjak dari tempat duduknya dan kembali
tersenyum ke arah Ecy. “Ayo Ibu Desi, mari kita tinggalkan restoran ini”.
Ecy pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Pak Baskoro kemudian
menggandeng tangannya.
“Lho Pak, bukannya pintu keluar di sebelah sana?”, Ecy
sedikit heran karena Pak Baskoro menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan
ke arah berseberangan dengan pintu dimana mereka masuk tadi.
“Siapa bilang kita mau keluar?”.
“Bukannya waktu makan siang sudah mau berakhir Pak? Harusnya
kan kita segera balik ke kantor?”, suara Ecy terdengar cemas.
“Kamu kan bareng saya saat ini? Saya kan bosnya? Jadi kenapa
Ibu musti takut kalau terlambat balik ke kantor? Hehehe…”.
Suara tawa Pak Baskoro benar-benar semakin terdengar
menyeramkan di telinga Ecy. Naluri kewanitaannya jelas-jelas menangkap sesuai
yang jahat di balik tawa tersebut. Sesuatu yang sangat menakutkan.
“Sudah Ibu ikut saya saja”, Pak Baskoro kembali menggandeng
tangan Ecy dan dengan sedikit memaksa menariknya untuk mengikuti langkahnya.
Ecy yang tidak ingin menimbulkan keributan di tengah restoran diantara
orang-orang yang nampak cukup terpelajar ini akhirnya mengalah dan mengikuti
kemauan atasannya tersebut.
Tak lama keduanya memasuki lift, bersama beberapa orang yang
juga memiliki kepentingan untuk naik ke lantai atas hotel tersebut. Di dalam
lift Ecy hanya bisa menunduk sambil berusaha membuang jauh-jauh pikiran yang
berkecambuk di dalam kepalanya. Kata hatinya kian kuat mengatakan kalau sesuatu
yang buruk akan segera menimpanya, namun ia tetap berusaha menekannya dengan
menyakinkan dirinya kalau atasannya ini adalah seorang laki-laki terhormat yang
tak mungkin melakukan hal-hal buruk kepada dirinya. ketika Ecy melirik singkat
ke arah Pak Baskoro, rupanya laki-laki tambun itu juga sedang memandang ke
arahnya. Kembali senyuman jahat yang dilihatnya tadi tersungging di wajah buruk
rupa atasannya. Memang sejak dari restoran tadi hampir tidak ada kata-kata yang
keluar dari atasannya ini, selain yang terlihat hanya beberapa kali senyuman
saja. Ecy pun dengan segera memalingkan wajahnya dan kembali menunduk. Di
genggamnya erat-erat tas jinjing yang dipegangnya berusaha menghilangkan
gejolak perasaan yang tengah berkejambuk di dalam dirinya.
“Ting!”, pintu lift terbuka dan dua orang pasangan yang
nampak seperti suami istri keluar dari dalam lift. Pak Baskoro tidak mengajak
dirinya keluar, berarti bukan lantai ini yang dituju olehnya. Di dalam lift
kini selain mereka berdua ada dua orang wanita dan seorang laki-laki muda yang
tersisa. Tak ada orang yang masuk dan beberapa saat pintu lift kembali
tertutup.
“Ting!”, kembali pintu lift terbuka. Kali ini Pak Baskoro
dengan segera menggandeng tangan Ecy dan menariknya keluar dari dalam lift.
Bersama mereka, seorang wanita juga keluar dari dalam lift namun mengambil arah
yang berlawanan dengan mereka berdua.
Ecy sama sekali tidak bisa melawan tarikan tangan Pak
Baskoro. Wanita cantik ini hanya bisa melangkahkan kakinya mengikuti langkah
laki-laki tambun tersebut. Mereka pun melangkah pelan sampai akhirnya berhenti
di depan sebuah kamar hotel bertuliskan nomor 117. Pak Baskoro mengeluarkan
sebuah kunci dari dalam saku jasnya dan memasukkannya ke dalam lubang kunci
pintu kamar tersebut. Sedetik kemudian pintu kamar itu pun terbuka.
“Silakan masuk Ibu Desi”, ucap laki-laki tambun itu pelan.
Sesaat Ecy menyapu pandangannya ke dalam kamar tersebut.
Tidak ada seseorang pun berada di dalam kamar tersebut. Semula Ecy berpikir
kalau mereka akan menemui klien atau tamu khusus di hotel ini, namun melihat
kamar hotel yang kosong wanita cantik ini menjadi bingung tujuan mereka naik ke
lantai ini.
“Kita mau menemui klien ya Pak?”.
“Sudah masuk saja dulu”.
Ecy pun berlahan melangkahkan kakinya ke dalam kamar
tersebut. Matanya tetap dengan awas menyapu sekeliling ruangan kamar tersebut.
Tidak berbeda dengan kamar hotel pada umumnya, ruangan kamar ini juga terlihat
rapi dan bersih. Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang single bed, televisi,
AC, lampu hias dan sebuah lukisan kecil tergantung di dinding. Di dalam kamar
tersebut juga terdapat sebuah kamar mandi berukuran 2×2 meter. Dari aksesoris
yang terdapat di dalamnya kira-kira kelas kamar ini adalah kelas deluxe, dengan
harga sewa diatas ratusan ribu per-malamnya. Setelah Ecy masuk ke dalam kamar,
Pak Baskoro segera menyusulnya kemudian laki-laki paruh baya itu menutup pintu.
Tanpa Ecy sadari selain menutup kamar Pak Baskoro juga mengunci pintu kamar
tersebut.
“Kok tidak ada siapa-siapa sih Pak?”, nada curiga mulai
terdengar dari suara Ecy.
“Memang tidak ada siapa-siapa”.
Perasaan Ecy kembali tidak enak mendengar kata-kata Pak
Baskoro, “Terus maksud Bapak mengajak saya kemari?”.
Bukannya jawabannya yang diperoleh Ecy, namun sebuah dekapan
langsung membekap tubuh sintalnya. Belum sepenuhnya sadar dengan apa yang
terjadi, sebuah ciuman langsung mendarat di bibir lembut wanita cantik
tersebut. Mendapat serangan yang tiba-tiba seperti itu Ecy pun meronta sebelum
ciuman selanjutnya mendarat kembali di bibirnya. Ia pun langsung refleks
mendorong tubuh Pak Baskoro menjauh.
“Bapak mau apa?”, Ecy lalu bergerak mundur menjauhi Pak
Baskoro.
Dengan santainya kini Pak Baskoro melepaskan jas yang
dikenakannya kemudian meletakkannya di kursi. “Hahaha… saya mau apa? Saat ini
saya ingin tubuh Ibu yang ranum itu”.
“Tolong jangan macam-macam Pak!”, ekspresi kepanikan
terlihat di wajah Ecy setelah mendengar kata-kata atasannya ini.
“Bukankah tadi Ibu mengatakan memilih opsi untuk melayani
Pak Candra? Lalu kenapa sekarang Ibu bertingkah seolah-olah ingin menarik
kata-kata Ibu tadi?”, kini laki-laki tambun itu terlihat melonggarkan ikatan
dasi yang dikenakannya. “Saya sudah bilang tadi kepada Ibu, kalau saya hanya
ingin melihat kesungguhan dari kata-kata Ibu tadi, jadi sebelum Pak Candra
mendapatkan jatahnya anggap saja sekarang Ibu melakukan sedikit pemanasan
dengan saya hahaha…”.
Ecy benar-benar tidak percaya kata-kata sekurang ajar
seperti itu bisa keluar dari laki-laki yang sebelumnya sangat ia hormati ini.
Wanita cantik ini pun akhirnya mengerti maksud dan tujuan Pak Baskoro
mengajaknya makan siang di sebuah hotel mewah seperti ini. Atasannya ini
rupanya ingin menikmati kehangatan tubuhnya sebelum menyerahkan dirinya kepada
rekan bisnisnya, Pak Candra. Ternyata wibawa dan kebaikan Pak Baskoro selama
ini kepadanya hanyalah topeng belaka, topeng yang ia gunakan untuk menutupi
pikiran busuk dan kotor di dalam otaknya.
“Selama ini saya sangat menghormati Bapak, tapi ternyata
Bapak tidak lebih dari hanya seorang iblis berotak kotor!”, umpat Ecy. Tanpa
disadarinya mata indah wanita cantik tersebut mulai nampak berkaca-kaca.
“Haha… terserah apa yang ada dipikiran Ibu saat ini tentang
saya, tapi saya ini cuma seorang laki-laki biasa yang tentunya akan berfantasi
nakal ketika melihat tubuh seindah tubuh Ibu dan kini saya hanya ingin untuk
mewujudkan fantasi tersebut”.
“Dasar laki-laki tidak bermoral!”, kedua telapak tangan Ecy
terkepal dengan kencang. Ingin sekali ia mengayunkan kepalan tangan tersebut ke
wajah penuh bopeng di hadapannya.
“Tolong jangan berbicara moral saat ini, Ibu tahu sendiri
posisi Ibu seperti apa, jangan kira hanya Pak Candra saja yang memiliki
kekuasaan dalam masalah ini, Ibu juga memerlukan tanda tangan saya di
perjanjian tersebut sehingga wajar kiranya kalau saya berhak juga mendapatkan
pelayanan yang sama dengan Beliau hahaha….”.
Tak ada lagi kata-kata umpatan yang mampu Ecy keluarkan
untuk mengekspresikan emosinya. Yang dikatakan Pak Baskoro tadi sangatlah
benar. Kini ia telah terjebak di dalam permainan kotor dua orang iblis berhati
bejat dan mesum.
“Saya kira sudah cukup kita membahas masalah ini karena saya
yakin Ibu sudah benar-benar mengerti dengan situasinya”, kini Pak Baskoro
nampak melepaskan dasi yang ia kenakan. “Ibu terlihat sangat cantik dengan
berbalut pakaian itu, namun saya lebih tertarik dengan apa yang ada di balik
pakaian itu, jadi sekarang tolong Ibu mulai melepaskan pakaian tersebut satu
per satu”.
Ecy benar-benar muak dengan laki-laki tambun yang ada di
hadapannya ini. Bagaimana bisa Pak Baskoro dengan tenang dan santai begitu saja
memintanya untuk melepaskan pakaian? Sebagai seorang wanita terhormat hal ini
jelas sangatlah memalukan. Pak Baskoro menatap tajam ke arah Ecy yang masih
tetap berdiri termangu. “Rupanya Ibu tidak sungguh-sungguh dengan opsi yang Ibu
pilih sendiri, baiklah kalau begitu kita kembali ke kantor. Biarkan saja kasus
ini mengalir dengan liar dan mulai detik ini Ibu harus mulai bersiap-siap
menghadapi segala konsekuensi dari pilihan Ibu ini”. Laki-laki tambun itu pun
mengalungkan kembali dasinya yang baru saja ia lepas. Ecy sama sekali tidak
tahu harus melakukan apa saat ini. Dia kini benar-benar terjebak dalam pilihan
antara mempertahankan kehormatan dirinya sebagai wanita atau masa depan anaknya
yang sangat ia cintai. Air mata pun mulai mengalir dari mata indahnya. Ia
melihat ekspresi Pak Baskoro penuh kekecewaan dan rasa kesal. Laki-laki tambun
itu kini telah selesai merapikan dasinya. Sebagai seorang ibu, Ecy menyadari ia
terlalu mencintai anak semata wayangnya, lebih dari apapun di dunia ini. Ia
tidak ingin Jos nantinya terlantar karena dirinya harus dipenjara. Sehingga
kini tak ada lagi pilihan untuknya yang tersisa, selain mengikuti kemauan
laki-laki bejat di hadapannya.
“Tunggu Pak!”, ucap Ecy pelan.
“Iya? Ada apa?”.
“Sa… saya akan melepaskan pakaian saya”.
Ekspresi kekecewaan yang semula bergelayut di wajah Pak
Baskoro seketika itu juga berganti dengan sebuah senyuman. Senyuman itu pun
bertambah lebar ketika matanya dengan nanar melihat bagaimana wanita cantik di
hadapannya mulai melepaskan satu per satu kancing blazer yang dikenakannya,
setelah tadi melepaskan sepatu high heel yang dipakainya.
Ecy melakukan semua gerakannya secara berlahan dengan berat
hati, namun laki-laki tambun itu justru melihat adegan di hadapannya seperti
sebuah adegan lamban penuh sensualitas. Ia pun kini kembali melonggarkan ikatan
dasinya dan kemudian melepaskannya. Blazer berwarna biru tua itu pun telah
tergeletak di ranjang. Berat rasanya Ecy melanjutkan aksi gilanya ini, namun ia
tahu kalau ia tetap saja harus melanjutkannya. Dengan sangat berat jari-jari
wanita cantik itu pun bergerak membuka kancing kemejanya. Ecy terus berusaha
meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya ini adalah benar, walaupun itu
berarti ia harus melawan kata hatinya sendiri. akhirnya kancing terakhir pun
terbuka. Kembali dengan berat Ecy melepaskan kemeja putih itu dan meletakkannya
di atas ranjang. Meskipun kini dadanya masih tertutupi oleh bra polos berwarna
krem, namun wanita cantik itu bisa melihat Pak Baskoro sudah beberapa kali
menelan ludah akibat melihat dadanya. Memang Ecy menyadari benar kalau
payudaranya ini adalah bagian terbaik pada tubuhnya. Paling tidak itu yang
dikatakan oleh semua laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya, bahkan juga oleh
mantan suaminya.
“Jangan! Lepaskan rok Ibu dulu”, ucap Pak Baskoro ketika
melihat Ecy hendak melepaskan kaitan branya.
Ecy pun membatalkan niatnya dan mengalihkan tangannya menuju
resleting roknya. Ia sama sekali tidak merasa perlu memprotes permintaan
atasannya ini. Bukankah di akhir nanti toh ia akan tampil polos juga di hadapan
laki-laki mesum ini. Kini masalahnya hanya terletak pada urutan pakaian yang
mana yang harus terlepas lebih dahulu dari tubuhnya. Resleting rok berwarna
senada dengan blazernya itu pun terbuka. Berikutnya adalah kaitan roknya dan
sedetik kemudian rok span pendek itu pun meluncur turun ke lantai. Sama seperti
tubuh atasnya, kini tubuh bawah Ecy pun hanya terbalut celana dalam berwarna
krem. Walau masih ada pakaian dalam yang tersisa membalut tubuh indahnya, namun
Ecy merasa kini sudah benar-benar dalam keadaan telanjang.
“Aaahh… benar-benar indah!”, Pak Baskoro berjalan pelan
mendekati Ecy yang hanya berdiri mematung di dekat ranjang. Terlihat sekali ada
sesuatu yang menggunung di selangkangan laki-laki bertubuh tambun tersebut.
Laki-laki itu lalu berdiri di hadapan Ecy yang kini
menundukkan kepalanya. Wajah wanita cantik itu nampak memerah menahan malu.
Tangan Pak Baskoro kemudian membelai rambut ranjang Ecy yang bergelombang dan
berwarna kecoklatan. Kemudian tangan itu turun menjelajahi leher, pundak dan
berakhir di belahan dada Ecy yang membusung.
Kulit pemukaan tangan Pak Baskoro merasakan benar bagaimana
lembut dan halusnya kulit tubuh wanita cantik tersebut. Sedangkan Ecy sendiri
merasakan sensasi geli ketika kulitnya tersentuh tangan atasannya. Perasaan
geli namun nikmat ini seakan membuat Ecy menyadari kalau tubuhnya ini sudah
terlalu lama merindukan sentuhan seorang laki-laki. Pak Baskoro memegang lembut
kening Ecy dan mengangkat wajah cantik yang tertunduk tersebut. Sebuah kecupan
mendarat di bibir lembut Ecy. Kecupan pertama yang mendarat di bibir tersebut
sejak tiga tahun yang lalu. Kemudian laki-laki tambun itu mendekatkan bibirnya
di telinga Ecy.
“Sekarang lepaskan bra dan celana dalam Ibu, kemudian
berbaring di ranjang”, bisiknya.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Ecy pun menuruti perkataan
Pak Baskoro. Mendapat perlakuan lembut seperti itu, mau tidak mau mulai memicu
birahi Ecy sebagai seorang wanita yang telah lama menjanda. Kini kedua
tangannya telah selesai melepaskan kaitan branya dan kemudian tak perlu waktu
lama bagi sepotong pakaian dalam tersebut untuk tergeletak di atas ranjang,
menemani pakaian Ecy lainnya. Mata Pak Baskoro yang tadi telah mundur beberapa
langkah nampak terbelalak melihat pemandangan indah tersebut. Sepasang payudara
padat dan bulat dengan puting coklat mungil di tengahnya sungguh menggoda
birahi setiap laki-laki normal untuk mencicipinya.
“Ooohh…”, Pak Baskoro melenguh pelan sambil meremas-remas
selangkangan dari balik celananya yang kini sudah nampak semakin menonjol.
Nafas laki-laki tambun terasa semakin sesak, demikian pula
dengan sesuatu yang ada di selangkangannya ketika melihat tangan Ecy yang kini
telah memegang pinggiran karet celana dalamnya. Tak lama celana dalam itu pun
melorot turun dan memperlihatkan selangkangan indah seorang wanita dewasa yang
tertutupi bulu-bulu lebat berwarna hitam. Selangkangan itu terlihat begitu
alami dan natural, tidak seperti selangkangan wanita-wanita panggilan papan
atas yang seringkali ia booking demi kepuasan duniawi. Melihat selangkangan Ecy
yang tertutupi bulu-bulu lebat rapi dan pakaian dalamnya bermodel polos
berbahan katun tanpa renda, Pak Baskoro bisa memperkirakan kalau Ecy bukanlah
seorang wanita bertipe penggoda dan binal di atas ranjang. Namun justru hal ini
membuat birahi laki-laki itu kian meninggi. Bagaimana tidak, tentunya ia bisa
membayangkan kalau penisnya sebentar lagi akan merasakan sensasi jepitan vagina
yang pastinya masih akan terasa rapat karena belum dirusak oleh kocokan
berbagai bentuk penis laki-laki.
Ini adalah pertama kalinya bagi Ecy untuk tampil polos di
hadapan seorang laki-laki sejak perceraiannya. Parahnya, laki-laki yang berada
dihadapannya bukanlah suami barunya ataupun mantan suaminya namun atasannya
yang kini masih berstatus terikat tali perkawinan. Melihat tatapan mata nanar
Pak Baskoro, secara refleks Ecy menggunakan kedua tangannya untuk menutupi
payudara dan selangkangannya. Air mata semakin membasahi kedua pipi wanita
cantik tersebut. Hatinya kini telah hancur, harga dirinya pun akan segera
menyusul untuk hancur. Ecy tahu masih ada waktu untuk mundur sebelum akhirnya
ia benar-benar menyerahkan kehormatannya kepada atasannya ini. Namun begitu
teringat kembali anak semata wayangnya, ia pun menguatkan diri untuk
mempertahankan keputusannya ini. Ecy lalu beranjak naik ke atas ranjang dan
membiarkan tubuh indahnya tergolek pasrah di atas ranjang. Melihat Ecy yang
kini telah terbaring di atas ranjang, dengan terburu-buru Pak Baskoro membuka
seluruh pakaian berikut sepatu dan kaos kaki yang dipakainya. Di atas ranjang
Ecy memejamkan matanya, seakan tidak ingin melihat wajah Pak Baskoro yang kini
pastinya telah terbakar nafsu birahi. Sambil berbaring wanita cantik itu
kembali menutupi bagian-bagian sensitif tubuhnya dengan kedua tangan. Gejolak
pertentangan batin terus berkecambuk di dalam diri Ecy. Tak lama Ecy bisa
merasakan kalau ranjang spring bed tempatnya berbaring mulai bergoyang. Ini
berarti Pak Baskoro sudah naik ke atas ranjang dan siap menuntaskan nafsu
birahinya. Ecy tetap memejamkan matanya. Bulir air mata pun terus menerus turun
dari mata indah tersebut. Wanita cantik itu pun kian terisak ketika ia bisa
merasakan sentuhan tangan Pak Baskoro mulai menjelajahi setiap jengkal
tubuhnya. Sentuhan itu terasa begitu menyenangkan sekaligus memalukan. Apalagi
ketika Ecy merasakan remasan lembut di payudaranya ditambah sebuah kuluman di
permukaan payudaranya yang lain. Terasa begitu memalukan, tapi begitu nikmat!
Ya begitu nikmat!
“Aaahhh… oohhh… aahh…”, walau masih terisak, mau tidak mau
tubuh Ecy tidak bisa berbohong kalau ia menikmati benar sensasi yang ia rasakan
saat ini. Desahan demi desahan pelan pun berlahan mulai mengganti suara isak
tangis yang tadi keluar dari mulutnya.
“Bagaimana kalau saya memanggil Ibu dengan panggilan Ecy
saja mulai sekarang? Ibu keberatan?”.
Ecy menggeleng pelan, sambil tetap merasakan sensasi nikmat
yang ditimbulkan oleh sentuhan tangan Pak Baskoro yang kini sedang meremas-remas
kedua payudaranya.
“Aahh… sungguh sempurna, berapa ukuran dadamu Cy?”.
“36”.
“Cup?”.
“B”, jawab Ecy sambil meringis nikmat akibat remasan tangan
Pak Baskoro yang semakin kencang di kedua payudaranya.
“Ooohh… benar-benar padat dan kenyal!”.
Pak Baskoro kemudian melanjutkan kembali kuluman dan
jilatannya di payudara Ecy. Kini kuluman dan jilatan tersebut menimbulkan
jejak-jejak merah di permukaan daging padat tersebut. Jilatan lidah nakal Pak
Baskoro perlahan mulai turun menjelajahi permukaan perut rata wanita cantik
tersebut. Jilatan itu terus turun menuju pusarnya dan terus turun menuju kedua
paha mulus dan padat milik Ecy. Kini Ecy sudah sepenuhnya terbelenggu dalam
gejolak birahinya. Stimulus yang dilakukan Pak Baskoro pada tubuhnya terasa benar-benar
nikmat. Semuanya terasa bagaikan hujan yang membasahi sisi gersang di dalam
diri Ecy. Begitu lama terkungkung di dalam kesendirian, membuat tubuh wanita
cantik itu menjadi begitu cepat terangsang.
“Srrup… srruup… ssrruup…”, terdengar suara sedotan di bawah
sana. Kini Pak Baskoro memang sedang menghisap dan menjilati vagina Ecy.
“Aaakkhh…!”, Ecy berteriak kencang ketika lidah Pak Baskoro
masuk ke dalam liang vaginanya. Ecy yang semula terpejam, kini mendadak
terbelalak. Kenikmatan yang begitu luar biasa Ecy rasakan ketika lidah nakal
tersebut menari-nari di dalam lubang vaginanya. Rasa nikmat tersebut terasa
jauh lebih nikmat bila dibandingkan dengan kenikmatan yang ia rasakan ketika
memainkan vagina dengan menggunakan tangannya sendiri. Tanpa disadarinya, Ecy
secara refleks semakin membuka kedua kakinya dan mengangkang lebar guna
memberikan akses penuh kepada lidah Pak Baskoro.
Cairan kewanitaan Ecy mengalir dengan derasnya menandakan
kalau nafsu kini sudah benar-benar menguasai dirinya. Pak Baskoro pun masih
nampak dengan telaten memainkan lidahnya pada vagina Ecy, sambil tangan kirinya
memainkan klitoris wanita cantik tersebut yang sudah nampak menonjol. Sementara
tangan kanan laki-laki tambun tersebut bergerak lincah meremas-remas kedua
payudara Ecy yang terlihat sudah begitu tegang. Aroma wangi liang vagina Ecy
semakin menggoda Pak Baskoro untuk terus dengan ganas memainkan lidahnya
disana. Melihat bawahannya ini sudah mulai terangsang hebat, Pak Baskoro
kemudian menghentikan kegiatannya di selangkangan Ecy. Ia tahu benar kalau
vagina wanita cantik tersebut telah sepenuhnya siap menerima batang penisnya.
Namun di saat yang sama batang penisnya justru belum tegang sempurna. Maka dari
itu ia pun beranjak naik dan mencumbu bibir Ecy dengan bibirnya. Lidah mereka
pun kini beradu mengakibatkan mau tidak mau mereka kerap kali harus bertukar
air liur. Cukup lama keduanya berpagutan sampai kemudian Pak Baskoro berbisik
di telinga Ecy.
“Kamu pernah mengoral penis mantan suamimu, Cy?”.
“Per… pernah Pak”, jawab Ecy lirih ditengah gelora
birahinya.
“Sering?”.
“Nggak, sa.. saya nggak suka”.
“Kamu tidak suka mengoral penis?”.
Ecy hanya mengangguk.
“Suka atau tidak suka sekarang kamu harus mengoral penisku
haha…”.
Selesai berbisik Pak Baskoro beranjak berdiri kemudian
mengambil posisi duduk sambil bersandar di ujung ranjang. Laki-laki tambun itu
lalu membantu Ecy untuk bangkit dari posisinya yang terlentang. Kini Ecy
bersimpuh di depan atasannya tersebut. Saat itulah Ecy untuk pertama kalinya
melihat batang penis Pak Baskoro secara jelas. Batang penis itu terlihat begitu
besar dan panjang dengan urat-urat disekelilingnya. Penis itu jauh lebih besar
dari milik mantan suaminya. Ecy pun bergidik melihatnya dan vaginanya pun
terasa berdenyut membayangkan bagimana batang besar itu akan segera menyeruak
masuk ke dalamnya. Memang Ecy tidak begitu suka melakukan oral seks. Ia merasa
adalah sesuatu yang aneh harus memasukkan batang penis ke dalam mulutnya,
dimana seharusnya benda itu masuk ke dalam vaginanya. Ada sedikit perasaan
tidak nyaman dalam dirinya bila memberikan pelayanan oral dan kalaupun ia
melakukannya maka selalu akan berujung pada rasa mual setelah selesai
melakukannya. Ecy memang kadang kerap menolak saat mantan suaminya memintanya
untuk melakukan oral sebagai bentuk foreplay. Oral seks paling hanya bersedia
ia lakukan apabila mantan suaminya tiba-tiba bergairah sedangkan ia sendiri
dalam keadaan menstruasi. Sebagai istri yang baik, Ecy pun berusaha membuang
jauh-jauh perasaan tidak nyamannya dan berusaha memberikan pelayanan terbaik
yang bisa ia berikan. Kini situasinya berbeda. Saat ini di dalam diri Ecy
tengah bergejolak nafsu birahi yang luar biasa. Setiap titik syaraf di tubuhnya
begitu merindukan sebuah kenikmatan dari sensasi persetubuhan. Vaginanya terasa
berdenyut-denyut menantikan saat-saat batang penis besar itu menghujam masuk ke
dalamnya. Seandainya saja ia bisa, maka ingin sekali rasanya saat ini juga ia
mengangkang di atas batang kokoh tersebut dan menghujamkannya masuk ke dalam
dirinya. Namun Ecy tahu kalau si pemilik batang kokoh tersebut ingin merasakan
pelayanan mulutnya terlebih dahulu. Tak lama batang penis besar itu pun amblas
masuk ke mulut wanita cantik tersebut. Kemudian batang penis itu pun bergerak
keluar masuk di dalamnya.
Awalnya Ecy merasakan bau yang tidak sedap di selangkangan
atasannya ini, namun wanita cantik itu berusaha tidak memperdulikannya dan
terus mengulumnya. Yang ada di pikiran Ecy saat ini adalah secepatnya membuat
batang besar itu mencapai ukuran maksimal dan menanjapkannya ke dalam lubang
vaginanya.
“Ooohh… aaahh…!”, Pak Baskoro melenguh kencang karena saat
ini batang penisnya benar-benar terasa sedang termanjakan. “Ternyata Ibu tidak
hanya memuaskan saat bekerja di kantor, tapi juga memuaskan saat “bekerja” di
ranjang hehe…”, ucap laki-laki tersebut ditengah kenikmatan yang mendera
sekujur tubuhnya. Dengan pelan ia membelai rambut wanita cantik yang kini
sedang memberikan pelayanan dengan mulut dan lidahnya.
Ecy sendiri sebenarnya sudah tidak kuat lagi menahan gejolak
birahinya yang kian meninggi. Vagina terasa begitu basah dan berdenyut kencang.
Jauh di dalam dirinya, ia sebenarnya ingin sekali agar Pak Baskoro secepatnya
meng-“eksekusi” dirinya. Namun sebagai seorang wanita bermartabat tentunya
mengatakan hal seperti ini secara langsung tentu adalah sebuah hal yang tabu.
Akhirnya Ecy pun hanya bisa meraba-raba vaginanya sendiri dengan tangan kiri,
sementara tangan kanannya terlihat sibuk mengocok batang penis Pak Baskoro.
“Cukup Cy, sekarang giliran memekmu yang merasakan kontolku
hahaha…”, saat ini Pak Baskoro seakan-akan merasa tidak perlu lagi menjaga
image-nya sebagai seorang atasan. Laki-laki tambun itu pun kini tidak
segan-segan lagi menggunakan kata-kata “aku” dan “kamu, serta “kontol “ dan
“memek”.
Pak Baskoro mengangkat tubuh sintal Ecy yang sejak tadi
merunduk di depan selangkangannya. Kini ia mengatur posisi tubuh Ecy sehingga
giliran terduduk bersandar di ujung ranjang. Kemudian laki-laki tambun itu
menekuk kaki Ecy dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Mata Pak Baskoro nampak
terbelalak melihat pemandangan indah yang terpampang dihadapannya. Sebuah
vagina berwarna merah segar, begitu menggoda untuk dinikmati. Sedangkan wajah
Ecy terlihat memerah menahan malu karena harus mempertontonkan bagian tubuhnya
yang seharusnya menjadi bagian yang paling privasi dari dirinya.
“Ooohh… benar-benar ranum!”, Pak Baskoro menjulurkan tangan
kanannya guna menyentuh bulu-bulu di vagina Ecy, kemudian mengusap-usap
permukaan lubangnya dengan lembut.
“Aaahhh…”, Ecy mendesah.
“Selain mantan suamimu, siapa lagi yang pernah memakai memek
ini?”.
Wajah Ecy semakin memerah mendengar pertanyaan atasannya
ini.
“Siapa saja?”, Pak Baskoro mengulang pertanyaannya, kali ini
sambil mengusap-usap tonjolan kecil yang ada dipermukaan vagina Ecy.
“Aaahh…”, kembali Ecy melenguh. “Ti… tidak ada lagi”.
Senyum sumringah terpancar di wajah kali-laki tambun
tersebut. “Jadi artinya aku akan menjadi yang kedua?”.
Ecy mengangguk malu.
“Aku akan benar-benar menikmati saat-saat ini hahaha…”.
Pak Baskoro kemudian menghujamkan jari tengahnya ke dalam
lubang vagina Ecy.
“Aaakkhh…!”, Ecy memejamkan matanya.
Ecy benar-benar tersiksa dengan keadaan ini. Ia sebenarnya
sudah benar-benar siap untuk melakukan persetubuhan, bahkan setiap jengkal tubuhnya
dan setiap simpul syarat yang ada di otaknya begitu merindukan sensasi
kenikmatan tersebut. Tapi rupanya Pak Baskoro ingin mempermainkan dulu
psikologis wanita cantik tersebut, sebelum melakukan “eksekusi”. Sebenarnya
laki-laki itu tahu benar kalau saat ini bawahannya ini sudah terbakar birahi.
Jari tengahnya yang kini mulai nampak menghujam pelan keluar masuk ke dalam
lubang vagina Ecy, bisa merasakan kalau bagian tersebut telah benar-benar
membanjir. Ecy sendiri merasakan jari Pak Baskoro memberikan kenikmatan
kepadanya, tapi itu tidaklah cukup baginya. Jika hanya sebatas memasukkan jari
ia sendiri sudah sering melakukannya ketika bermasturbasi. Saat ini yang sangat
ia mendambakan adalah sesuatu yang lain berada di dalam kewanitaannya, sesuatu
yang tak pernah ia rasakan lagi sejak lama yaitu penis laki-laki. Ketika Pak
Baskoro merubah posisinya yang semula terduduk menjadi berbaring, Ecy pun sama
sekali tidak menolak. Ia tahu saat-saat yang dinantikannya akan segera tiba.
Benar saja! Setelah merasakan kalau Pak Baskoro kembali membuka lebar kedua
pahanya, tak beberapa kemudian Ecy merasakan sesuatu yang lembut menyapu
permukaan vaginanya. Ecy tahu benar kalau yang saat ini sedang mengusap-usap
liang kewanitaannya adalah kepala penis Pak Baskoro.
“Ayo Pak, masukkan, tolong segera hujamkan batang itu ke
dalam!”, teriak Ecy di dalam hatinya. Ia malu untuk mengucapkan kata-kata itu
secara langsung, namun ia juga tidak bisa berbohong kalau semua kata-katanya
itu adalah gambaran hatinya saat ini. Ecy memejamkan matanya sambil meremas
erat sprei dengan kedua tangan, menanti saat-saat yang ditunggunya.
“Ooohh…!!!”, pantat Ecy nampak terangkat beberapa senti dari
atas ranjang.
Suara lenguhan panjang terdengar dari mulutnya. Remasan erat
kedua tangannya menjadi semakin kencang. Kini batang penis Pak Baskoro sudah
sepenuhnya berada di dalam liang kewanitaannya. Ketika batang penis itu melesak
masuk ke dalam vaginanya, Ecy seperti merasakan kembali sensasi malam pertama
ketika mantan suaminya memerawaninya. Sensasi yang luar biasa! Sungguh luar
biasa! Ecy merasa seperti terbang melayang ketika Pak Baskoro mulai
menghujam-hujamkan batang penisnya. Kenikmat ini sudah lama sekali tidak ia
rasakan. Sedangkan di sisi lain, Pak Baskoro juga merasakan sensasi yang sama. Jepitan
dinding vagina Ecy terasa begitu kencang bak seorang anak gadis yang baru saja
diperawani. Hal ini jelas membanggakannya karena batang penisnya ini adalah
batang penis kedua yang mengisi lubang kenikmatan bawahannya yang cantik
mempesona ini.
“Aaahh… Ooohhh… Aaakkh…”, kini Ecy tidak hanya mendesah dan
melenguh. Kini ia sudah berteriak, berteriak dan berteriak. Ia sepertinya telah
lupa segalanya. Ia lupa kalau saat ini yang menyetubuhinya adalah atasannya
sendiri. Ia lupa kalau saat ini seharusnya ia berada di kantor, bukan di hotel.
Ia lupa kalau di awal tadi ia menangis dan selalu teringat akan dosa. Kini di
dalam otak Ecy hanya ada kenikmatan duniawi yang sejati dan keinginan untuk
mencapai puncak kenikmatan yang sejak lama tidak pernah dirasakannya lagi. Ecy
benar-benar sudah menggila. Cukup lama berada di bawah, kini dengan meyakinkan
ia menggulingkan tubuh tambun Pak Baskoro sehingga menjadi terlentang di
sampingnya. Lalu dengan segera ia bangkit dari posisinya untuk kemudian berdiri
mengangkang di atas tubuh Pak Baskoro. Laki-laki tambun itu nampak terkejut
dengan perubahan bawahannya ini, namun ia juga merasa senang karena berhasil
memicu sisi liar Ecy sehingga menjadi binal dan nakal. Ecy kemudian berjongkok
sambil menggenggam batang penis Pak Baskoro dan kemudian mengarahkannya ke
lubang vaginanya. Setelah merasa posisinya pas, Ecy pun duduk di atas tubuh Pak
Baskoro dan penis laki-laki itu pun kembali amblas ke dalam vaginanya. Kini Ecy
menguasai sepenuhnya permainan dalam posisi woman on top. Wanita cantik itu
menggoyangkan pinggulnya dengan liar. Nampaknya ia ingin batang penis besar itu
sepenuhnya mengaduk-aduk vaginanya dan memberinya kenikmatan yang lebih dasyat.
“Ooohhh… goyang terus Cy! Nikmat banget memekmu!”, rancau
Pak Baskoro.
Dalam posisi seperti ini tidak terlihat lagi siapa yang
menyetubuhi siapa. Tak terlihat lagi Ecy yang tadi menangis dan menyesal karena
menyerahkan tubuhnya atas paksaan. Semuanya berubah 180 derajat. Kini yang
terlihat justru Ecy-lah yang begitu bersemangat menyetubuhi Pak Baskoro.
Ecy mengambil kedua tangan Pak Baskoro dan meletakkannya
pada kedua payudaranya. Rupanya ia ingin selama bergoyang, pasangan bercintanya
ini terus meremas-remas payudaranya yang sudah nampak semakin memadat.
“Aaaahh… ooohhh…”.
“Uuhh… aaaakkhh…”.
“Oooohh…!!”.
Di dalam ruangan kamar hotel itu kini dipenuhi oleh suara
teriakan penuh kenikmatan dari kedua insan yang sedang bersetubuh tersebut.
Dinginnya AC sama sekali tidak bisa menetralisir panasnya birahi dari keduanya.
Kedua tubuh polos tanpa sehelai benang tersebut terlihat dipenuhi peluh.
Ranjang pun kini terlihat semakin kencang bergoyang, menandakan begitu
dasyatnya gairah yang membelenggu dua insan tersebut. Cukup lama Pak Baskoro
membiarkan Ecy memegang kendali permainan. Namun rupanya kini Pak Baskoro ingin
berganti posisi kembali dan mengambil kendali permainan kembali. Ia kemudian
membuat tubuh Ecy terlentang kembali di atas ranjang. Kemudian ia mengangkat
satu kaki Ecy ke pundaknya, sehingga membuat tubuh Ecy dalam posisi menyamping.
Lalu dengan segera kembali menghujam-hujamkan batang penis besarnya ke dalam
vagina wanita cantik tersebut.
“Oooohh…!!”.
“Oooohh… aahhh…!!”.
Teriakan penuh nafsu masih terus terdengar. Pak Baskoro
rupanya benar-benar perkasa di atas ranjang. Di saat Ecy mulai merasakan
sesuatu yang dasyat akan segera meledak dari dalam dirinya, genjotan penis Pak
Baskoro sama sekali tidak terlihat mengendur, justru semakin kencang. Bahkan
Pak Baskoro kini kembali mengganti posisi genjotannya menjadi doggie style.
Dengan begini batang penis besar tersebut dapat menghujam semakin kencang dan
semakin dalam. Hal ini membuat Ecy semakin bisa merasakan kalau puncak
permainan akan segera direngkuhnya.
“Terus Pak, yang kenceng, yang dalem!”, rancau Ecy. Jika
saja saat ini Ecy dalam keadaan sadar, mungkin ia tidak akan percaya kata-kata
seronok seperti itu akan keluar dari mulutnya.
Kata-kata wanita cantik tersebut membuat Pak Baskoro merasa
semakin perkasa. Ia pun kian semangat menggenjot vagina Ecy.
“Pak, saya keluar! Saya keluar!”, rancau Ecy.
“Tahan Cy, tahan bentar!”.
“Pak… Pak Baskoro… aaahh… ooohhh…”.
“Ooohh… Ooohh… Ooohh…”, Pak Baskoro terus melenguh seiring
genjotan penisnya yang semakin kencang.
Tubuh polos Ecy dan Pak Baskoro kini berguncang semakin hebat.
Nampaknya keduanya akan segera mencapai klimaks dengan gemilang bersamaan.
“Aaaakkh…. Pak….!!!”, Ecy melolong panjang. Disusul kemudian
dengan Pak Baskoro, “Aaakkh…!!!”.
Keduanya pun ambruk di atas ranjang, dimana tubuh tambun Pak
Baskoro menindih tubuh sintal Ecy. Setelah itu Pak Baskoro berguling kesamping
dengan nafas terengah. Kenikmatan yang luar biasa yang saat ini menderanya
membuat Ecy tidak menyadari kalau cairan sperma Pak Baskoro menyembur kencang
ke dalam liang vaginanya. Bahkan ketika mereka ambruk tadipun penis laki-laki
itu masih berkedut beberapa kali mengeluarkan semburan sperma tambahan. Ecy
sepertinya tidak peduli kalau akibat persetubuhan ini mungkin saja bisa
mengakibatkan kehamilan baginya. Yang ada kini dalam pikiran Ecy adalah
perasaan nikmat yang sangat ia rindukan dan nantikan sejak perceraiannya.
Bahkan ketika masih melayani mantan suaminya, Ecy tidak pernah merasakan
kenikmatan dari persetubuhan seperti saat ini. Kini Ecy benar-benar telah
terbang ke langit ke tujuh. Kesadaran wanita cantik tersebut baru mulai
perlahan muncul ketika ia merasakan sebuah ciuman di bahunya. Ciuman itu terus
menyerang bahu, pundak, leher dan telinganya. Selain itu Ecy juga merasakan
belaian lembut di rambutnya yang panjang. Berlahan rasa sesal yang tadi
menyelimuti diri wanita tersebut mulai muncul kembali seiring kesadarannya yang
mulai bangkit. Kembali bulir air mata jatuh dari pinggir kelopak mata indahnya.
Tapi rasa sesal ini sudah tidak berguna lagi. Tubuhnya ini kini telah dinikmati
oleh Pak Baskoro. Namun ketika tangan Pak Baskoro mulai bergerilya menuju
payudaranya, Ecy seakan tiba-tiba sadar akan ketelanjangan dirinya. Ecy pun
menarik selimut dan dengan segera menutupi tubuh polosnya.
“Hahaha… untuk apa lagi kamu tutupi tubuh indahmu ini Cy?”.
Pak Baskoro berusaha membalikkan tubuh Ecy yang tertelungkup
membelakanginya, namun Ecy menolak dan mempertahankan posisinya. Suara isak
tangis kini terdengar keluar dari mulut Ecy.
“Baiklah, menangislah sepuasmu, semua wanita yang aku tiduri
untuk pertama kali memang melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan
saat ini hahaha…”.
Ecy benar-benar kesal dengan kata-kata Pak Baskoro tadi.
Dari kata-kata tersebut berarti dirinya bukanlah wanita pertama yang menjadi
“korban” nafsu bejatnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Ecy selain menangis.
Walaupun harus diakuinya kalau beberapa saat yang lalu ia benar-benar menikmati
persetubuhan yang mereka lakukan, namun tetap saja sebagai wanita normal Ecy
menyesali hal tersebut. Ecy memegang erat selimut yang membungkus tubuh
polosnya.
“Aku akan membersihkan diri lebih dulu, setelah itu silakan
kamu melakukan hal yang sama karena kita masih harus kembali ke kantor”.
Sebelum beranjak dari atas ranjang, Pak Baskoro mencium pipi
Ecy dan kemudian berbisik, “Ibu Desi, ini bukanlah yang terakhir, sekarang Ibu
sepenuhnya adalah milik saya hahaha…”.
Tak lama kemudian terdengar suara senandung dari dalam kamar
mandi. Suara yang terdengar seperti lantunan suara iblis di telinga Ecy. Saat
ini wanita cantik itu tetap terbaring pada posisinya semula sambil terus
menangis dan menyesali apa yang baru saja telah terjadi. Kini ia merasa kalau
dirinya benar-benar telah ternoda. Noda yang tidak akan pernah hilang seumur
hidupnya. Awan hitam pun mulai saat ini akan terus bertengger dan menyelimuti
kehidupan Ecy.
********
Manusia mengklaim dirinya sebagai makhluk Tuhan yang paling
sempurna. Merasa berada pada tingkat tertinggi dalam siklus kehidupan. Selalu
berbangga diri karena dikaruniai akal dan pikiran oleh-Nya. Namun manusia kerap
lupa kalau mereka juga dibekali dengan nafsu birahi. Ketika birahi berbicara
maka akal dan pikiran itu pun terpental entah kemana. Apalagi bila kemudian
birahi itu diperkuat dengan sebuah kekuasaan yang besar. Maka berlakulah apa
yang diistilahkan dengan homo homoni lupus, homo homoni sosius. Manusia yang
satu akan menjadi serigala bagi manusia yang lainnya. Ketika ini terjadi,
manusia pun tidak ada bedanya dengan binatang. Bergerak berdasarkan insting
demi mencapai apa yang disebut dengan : kepuasan!
********
Laras nampak keluar dari dalam mobil Swift merah marun
miliknya. Mobil itu terlihat terparkir rapi di depan garasi rumah kontrakan
yang sudah dikontraknya hampir selama 2 tahun ini. Ekspresi wajah gadis manis
itu memperlihatkan kelelahan yang sungguh luar biasa, setelah satu hari full ia
harus berkonsentrasi menyelesaikan segala aktifitas dan masalah di kantornya.
Rumah yang dikontraknya ini cukup mungil, namun cukup luas untuk ditinggali
seorang diri. Halaman di depan rumah tersebut dihiasi sebuah taman kecil yang
menempel di pinggir-pinggir gerbang. Sedangkan seluruh areal halaman tertutupi
oleh kerikil-kerikil kecil, kecuali jalan setapak kecil yang menuju ke dalam
rumah yang nampak tertutupi semen. Gadis manis itu melangkah gontai menuju ke
dalam rumah. Beberapa langkah berjalan, dari dalam tas jinjingnya terdengar
nada ponsel. Laras mengeluarkan ponselnya tersebut dan senyuman pun terkembang
di wajahnya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.
“Hai say!”, suara Laras terdengar manja. Paling tidak
setelah menghadapi berbagai macam masalah di kantornya hari ini, kini ia bisa
tersenyum mendengar suara kekasihnya.
“Hai juga, gimana kabar cintaku hari ini?”.
“Cuaapek buangeeet…”.
“Hahaha… kacian nih, coba aku disana pasti udah aku
pijitin”.
“Halah, kalau kamu yang mijit bisa bahaya tuh hehe…”.
“Kan
pijitan kasih sayang hehehe…”.
“Dasar! Gimana proyeknya?”.
“Ini masih di lapangan, baru ngurus satu tower, ini juga
masih belum nemu kerusakannya”.
“Rumit juga ya kayaknya?”.
“Iya nih maklum tower lama, eh udah dulu ya honey kayaknya
aku diperluin tuh ama temen temen yang lain, ntar aku telpon lagi”.
“Iya deh, ati-ati ya kerjanya”.
“OK, muaachh…”.
Laras mematikan ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam
tas. Ia kemudian berganti mencari kunci rumahnya di dalam tas jinjing coklat
yang dibawanya sambil berjalan. Laras baru bisa menemukan benda yang dicarinya
tersebut, ketika ia sampai di depan pintu. Gadis manis itu lalu memilih salah
satu kunci diantara sekian banyak anak kunci yang tergantung menjadi satu. Ia
kemudian memasukkan kunci tersebut ke dalam lubang kunci. Belum sempat ia
memutar kunci tersebut, tiba-tiba sebuah bekapan kuat mencengkram tubuhnya dari
belakang. Laras langsung meronta dan hendak berteriak, namun suara teriakannya
tidak sempat keluar karena hidung dan mulutnya kini telah ditutup oleh sebuah
kain beraroma aneh dan menyengat. Laras masih terus berusaha meronta walaupun
bekapan di tubuhnya terasa sangat kuat. Beberapa saat kemudian rontaan Laras
pun berakhir. Tubuh molek itu akhirnya terbujur lemas di dalam bekapan sosok
misterius yang secara tiba-tiba muncul tersebut. Semuanya pun menjadi gelap
karena gadis manis tersebut tak sadarkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar