Kamis, 14 Februari 2013

Harem 10

Setelah keberhasilanku menurunkan berat badan Juli, Mbak Ratih dan Bu Rini juga minta diturunkan kegemukannya. Kelebihan berat mereka berdua tidak terlalu parah, mungkin hanya perlu turun 5 sampai 10 kg.
Sudah tiga orang berhasil kuterapi jadi kurus dan berisi. Aku tidak menyangka kemampuanku ini kelak akan menerbangkan aku ke banyak tempat dan menjadi dambaan banyak ibu-ibu dan perawan gemuk.
Aku tidak mampu mengurus sendiri begitu banyak permintaan terapi. Bu Rini kuminta menjadi managerku. Dia lah yang mengatur waktu bahkan menentukan biaya terapinya. Kami berdua yang tadinya banyak berharap mendapat penghasilan dari MLM, sekarang sudah kami tinggalkan.
Informasi dari mulut ke mulut ternyata cepat sekali merebak. Aku akhirnya kewalahan menghadapi begitu banyaknya order yang masuk. Aku minta Bu Rini membatasi orderan. Dia bingung bagaimana caranya menyeleksi, semua butuh dan semua perlu dibantu. Aku lalu minta dia menetapkan tarif yang tinggi agar tidak banyak orang mampu mengorderku. Tapi aku minta dia juga menyeleksi atau bahkan mencari mereka yang perlu benar-benar dibantu. Terhadap mereka ini kutekankan kepada Bu Rini jangan minta bayaran apa pun.
Melalui teknik penyeleksian ini aku jadi banyak bertemu wanita-wanita tingkat atas. Aku kagum atas berlimpahnya uang mereka. Jika mereka minta diterapi, selalu menyewa kamar hotel bintang 5. Mulanya aku agak minder juga menghadapi mereka, karena penampilan yang wah dan wangi serta kelengkapan yang serba mahal.
Dengan kemampuan uang yang begitu besar, kadang-kadang permintaan mereka rada aneh. Sebagai contoh ada yang minta lubang vaginanya disempitkan atau bibir vaginanya dibuat berwarna pink atau mengecilkan puting susu.
Terhadap mereka yang kurang mampu, mereka umumnya sangat menurut dan patuh pada semua nasihatku. Aku berharap bantuanku kepada mereka bisa lebih mencerahkan jalan hidupnya ke depan. Umumnya yang minta diterapi baik dari kalangan kaya, maupun dari kalangan kurang mampu adalah keluhan kegemukan.
Bedanya, kalangan berduit banyak sekali permintaannya. Kadang-kadang jika aku kesal, aku mainkan penekanan syaraf erotisnya. Mereka kelojotan minta digauli. Pada titik ini aku berlagak bodoh dan pura-pura tidak memahaminya. Aku selalalu menyudahi terapi dengan mengatakan, “ Bu atauu Mbak, terapinya sudah selesai,”
“Mas bisa nggak aku diservice sekalian, kepalaku pusing jadinya nih,”
“Apanya yang diservice bu/mbak,”
“Aduh tolong lah dik nanti aku kasi tip tambahan deh,” kata mereka.
Jika sudah mereka mengiba-iba aku baru keluarkan jurus penuntasan. Biasanya tip yang diberikan kepadaku jauh lebih besar dari tarif resmi yang harus mereka bayar. Tips ini tentu saja 100 persen masuk ke kantongku.
Aku jadi makin berduit, tetapi aku tetap berusaha hidup bersahaja. Masalahnya aku belum siap memasuki dunia glamour. Kalau mau sebetulnya aku cukup mampu membeli mobil baru, beli apartemen. Tapi jika itu kuturuti aku harus mengubah pola hidupku yang belum tentu aku mampu menjalaninya. “ Begini saja udah enjoy, uang banyak, hidup dikelilingi bidadari yang setiap saat siap dilayani dan melayani,” batinku.
Aku hanya ingin berbagi cerita pengalaman yang unik-unik saja yang aku temukaan dari pasienku. Salah satunya adalah Ibu Dina. Dia adalah pengusaha wanita terkenal dan mungkin termasuk jajaran konglomerat. Saking menjaga rahasia, dia harus menyewa 2 kamar di hotel bintang 5 dengan kamar yang memiliki conneting door. Kalau sudah begini Bu Rini lah yang berperan mengatur terapi rahasia itu, sehingga hanya aku, bu Rini dan Bu Dina saja yang tahu soal terapi ini.
Bu Rini awalnya memiliki tubuh yang terlalu gemuk. Dia ingin tampil seperti badan gadis remaja atau katakanlah gadis 20 tahunan. Padahal usianya sudah hampir mencapai 50. Karena kekuatan uang maka meski gemuk dia tetap berpenampilan cantik dan mahal.
“Dik aku sudah bosan kemana-mana untuk nurunin berat badanku ini, tapi selalu tidak berhasil. Kalaupun berhasil, tidak bisa lama bertahan, aku malah tambah gemuk. Gimana ya dik solusinya,” kata Bu Dina .
Aku jelaskan bahwa soal menunrunkan berat badan itu tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada terapis, tetapi harus ada kerjasama dengan yang diterapi. Bahkan Ibu Dina harus lebih banyak berperan dari pada saya yang menerapi. “ Saya hanya memberi arah saja bu, ibu yang harus mengikuti jalan itu. Kalau ibu tidak nurut, ya pasti tidak akan berhasil,” kataku.
“O gitu toh dik, tapi kan saya udah makan obat, masak yo saya harus susah payah nahan selera makan segala sih. Saya kan suka ada acara dinner, makannya itu enak-enak dan mahal, rasanya sayang kalu nggak dicoba,” katanya.
“Saya tidak menjanjikan terapi saya bakal berhasil bu, tetapi saya coba, kalau cocok mungkin bisa berhasil. Biasanya saya tidak mengharuskan pasien saya mengubah 180 derajat pola makan mereka, tetapi hanya mengurangi saja porsi dari yang sebelumnya. Bagaimana bu apa mau dicoba,” tanya ku dengan nada merendah.
“Kamu ini masih muda kok bisa punya keahlian gini toh dik, katanya udah banyak yang berhasil, makanya aku penasaran,” katanya.
Seperti biasa aku meminta dia mengenakan sarung dan kusarankan agar melepas BH juga. Badan Bu Dina sangat mulus, putih dan gemuk Aku mulai melakukan ritual. Semua simpul syaraf yang berhubungan dengan selera makan aku garap. Simpul-simpul itu tidak sampai 30 menit sebetulnya sudah tuntas. Selebihnya aku hanya melakukan chek up lalu memberi pijatan nyaman. Dia sudah merasa membayar mahal, jika aku hanya menggarapnya 30 menit rasanya tidak pantas.
Selama kelebihan waktu itu aku juga iseng menekan syaraf-syaraf erotisnya. Dalam hal ini kurasa keahlianku sudah sangat mahir. Baru sekitar 15 menit syaraf erotis kumainkan, Bu Dina sudah mulai merintih. “ Dik pijetanmu kok enak banget to dik,” katanya.
“Bu maaf ya bu, kelihatannya ibu jarang disambangi nih,” kataku memancing reaksinya.
“Disambangi apa toh dik,” tanyanya dengan nada heran.
“Ah ibu ini masak nggak paham, maksud saya disambangi ama bapak,” kataku.
“ lho kamu kok bisa tahu rahasia sampai kesitu to, emang benar kok dik, bapak itu kan diabet, jadi ya agak susah, apa kamu bisa terapi diabet juga to dik,” tanya Bud Dina.
Aku terus terang belum pernah mencoba terapi orang diabet, tetapi penyakit itu menerut pengetahuanku tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan.
“ Maaf ya bu, ini dampaknya dari kurang disambangi, jadi ibu ini termasuk suka mudah marah, emosinya rada cepat meluap,” kataku datar.
Dia membenarkan, bahkan dia malah nyrocos, dalam soal sepele saja kadang-kadang marahnya bisa meledak-ledak. Susah mengendalikan emosi marah katanya. Dia tanya apa yang begituan bisa dikendalikan.
Saya katakan ini adalah ibarat asap, apinya adalah soal disambangi tadi. Jadi ada perasaan yang terpendam bertahun-tahun dan lama-lama tidak menyadari, padahal perasaan kecewa itu tetap ada di dalam.
Ibu Dina rupanya termasuk istri yang setia dan tidak pernah punya keberanian untuk bermain mata dengan laki-laki lain. Untuk terapi ini saja dia membuat pengamanan berlapis-lapis agar jangan sampai diketahui orang. Maklumlah dia sendiri termasuk orang punya nama, suaminya juga terkenal.
Aku jadi penasaran ingin membuat Bu Dina kelojotan. Apakah dalam kondisi di puncak rangsangan dia masih mampu bertahan. Bagaimana sih kuatnya benteng pertahanannya . Aku memainkan syaraf syaraf sensual. Stimulasi terus-menerus aku garap, tanpa menyentuh bagian-bagian alat vital.
“Aduh dik aku kayaknya udah nggak kuat lagi ni dik,” katanya.
Aku lalu berhenti memijat dan bertanya apa pijetnya cukup sekian aja. Bu Dina langsung membantah bahwa bukan itu yang dia maksud, katanya kepalanya mau pecah menahan rasa yang nggak karuan. Aku lalu menawarkan untuk memijat kepalanya. Padahal aku tahu itu tidak akan menyembuhkan bahkan mungkin bisa tambah menggila. Dia memberi kesempatan aku memijat kepalanya. Bukan tambah selesa, tetapi malah tambah menggila. Bu Dina tanpa dia sadari merebahkan badannya ke badanku yang sedang memijat kepalanya dari depan. Dia memelukku erat sekali sambil kepalanya di guselkan ke dadaku. Dia menarik kepalaku dan diciuminya wajahku lalu bibirku disedot dan diciuminya ganas sekali. Kepalaku lalu didorong kea rah dadanya. Aku segera paham bahwa payudaranya minta disedot. Payudara Bu Dina masih cukup montok dengan pentil yang agak besar.
Bu Dina menggeliat-geliat menikmati cumbuanku. Aku lalu mengoralnya sampai dia orgasme bahkan aku membawanya juga G Spot O. Namun Bu Dina masih ingin dilanjutkan dan dia membuka celanaku lalu mengoralku sebentar kemudian dia minta aku menyetubuhinya. Aku menggenjotnya, sampai dia mencapai O , tapi dia masih minta aku melanjutkan permainan sampai dia kembali mendapat O. Badanku merasa lelah dan aku mulai berkosentrasi untuk mencapai O. Menjelang aku O Bu Dina rupanya juga hampir nyampe. Aku sengaja melepas ledakan ejakulasiku di dalam vagina bu Dina. Dia memelukku erat sekali dan diciuminya wajahku.
“Saya puas dik, biar aku nggak berhasil jadi kurus tapi kamu harus mau melakukan terapilagi, “ kata Bu Dina.
Bu Dina adalah pelangganku yang menjadi ketergantungan kepadaku. Dia selalu minta diterapi setiap 2 minggu sekali. Pernah juga aku dimintanya menyusul ke Singapura. Aku diperamnya disana selama 3 malam.
Berat Bu Dina berhasil juga turun hampir 15 kg dalam 6 bulan. Terapi yang aku lakukan adalah kombinasi pijatan dan hipnotis. Tidak hanya soal mengurangi selera makannya, tetapi juga emosinya sekarang lebih terkendali. “ Dik aku sudah bisa menahan marah , sejak kamu terapi aku kok jadi penyabar ya dik,” katanya.
Aku memujinya. Dia kupuji karena mau bekerjasama untuk memperbaiki sifatnya yang negatif. Aku juga menenamkan ke dalam benaknya bahwa marah itu adalah perbuatan sia-sia. Aku selalu memberi tantangan kepadanya untuk mengembangkan kreatifitas. Maksudnya jika timbul rasa marahnya kepada seseorang, maka dia harus mencari cara atau jalan atau kata-kata agar orang yang seharusnya dimarahi karena kesalahannya bisa menyadari dan memperbaiki diri . “ Bu Dina pasti bisa mencari cara lain dari marah,” kata ku.
“Iya dik, bahkan ada karyawanku yang harusnya aku marahin malah aku kasih uang dan kuajak bicara baik-baik, akhirnya dia sekarang jarang berbuat kesalahan, malah loyal sekali kepadaku,” katanya.
Aku membatin, sumber penyebab kemarahannya sudah cair, yakni keinginan sexnya yang selama ini bertumpuk sudah lenyap, karena aku menjadi pelanggan servicenya. Selain itu sugesti yang aku tanamkan di dalam alam bawah sadarnya membantu dia berfikir positif dan kreatif.
Ada lagi pelangganku yang minta aku melakukan terapi di motel-motel. Dia selalu minta janji ketemu di pusat-pusat perbelanjaan. Dari situ dia minta aku membawanya ke motel hanya berdua saja.
Pelangganku yang kupanggil dengan nama Bu Monik ini awalnya juga minta tubuhnya dirampingkan, tetapi kemudian berkelanjutan minta diservice lengkap. Dia juga pengusaha kaya yang nafsu sexnya tidak mampu diimbangi suaminya. Kalau ku turuti dia maunya aku melakukan terapi setiap minggu.
Aku sudah 2 tahun malang melintang di dunia terapi . Relasi ku di kalangan atas, terutama para wanita cukup lumayan. Tidak hanya pengusaha, tetapi juga politisi selebriti dan ibu pejabat. Ada juga ibu yang mempunyai jabatan penting dikalangan TNI dan Polri.
Jujur saja aku tidak merasa cukup mampu menjadi terapis. Aku juga sebenarnya kurang yakin bahwa titik-titik simpul syaraf yang ditekan bisa manjur menyembuhkan berbagai penyakit. Kuperhatikan simpul-simpul syaraf itu hanya membantu usaha penyembuhan. Penyembuhan sepenuhnya sebetulnya adalah pada diri orang itu. Jika dia mengubah pola hidupnya maka keberhasilannya untuk sembuh lebih besar. Namun jika dia tetap dengan pola hidupnya yang lama, maka penyakit yang dikeluhkannya akan tetap menggerogotinya. Teori ini tidak bisa diterapkan juga kepada semua orang dan semua penyakit. Akan tetapi sebagian besar memang begitu.
Kesibukanku melayani pelanggan membuatku jadi jenuh. Aku berkeinginan suatu saat bisa berkeliling Eropa untuk berlibur. Pada dasarnya aku senang berkelana. Namun menjelajah Eropa jika hanya menikmati dari balik jendela rasanya kurang puas. Maksudku di balik jendela itu adalah dari balik jendela hotel, taxi, bus, kereta api dan seterusnya. Artinya aku tidak terlibat dengan kehidupan sehari-hari di tempat yang kukunjungi. Untuk bisa begitu paling tidak aku harus bisa berkomunikasi dengan bahasa setempat.
Keinginan itulah yang mendorong aku mengambil kursus bahasa Perancis, Jerman dan Spanyol sambil memperdalam pengetahuan bahasa Inggris. Setahun kurasa cukup untuk menguasai sekedar bahasa sehari-hari bahasa-bahasa besar dunia itu.
Awalnya aku ingin berkelana sendiri ke Belanda, Prancis, Jerman dan Spanyol. Namun ketika aku bercerita sambil melakukan terapi kepada beberapa pelangganku, mereka malah mau ikut. Jadinya ada 5 orang emak-emak kaya raya yang mau ikut berkelana. Mereka malah membiayai semua kebutuhanku. Apalagi mereka akhirnya tahu bahwa aku lumayan ngerti bahasa negara-negara yang akan kami kunjungi.
Berkelana selama 2 minggu ke 4 negara pada musim panas kemudian memang terwujud. Aku jadi tour leader, dan memang aku yang mengatur kemana saja tujuan wisata kami. Aku syaratkan kepada ibu-ibu pesertaku agar tidak berbelanja oleh-oleh kecuali mau dipakai langsung. Aku tidak mau perjalananku terhambat gara-gara soal barang bawaan yang terlalu banyak. Ibu-ibu kalau tidak dibendung, nafsu belanjanya kadang-kadang lebih besar dari nafsu sexnya.
Selama kami tour, kami berenam sudah seperti remaja lagi. Tidak hanya aku harus bergantian setiap malam tidur dikamar mereka, Tetapi sering juga kami ngumpul berenam lalu melakukan orgy party. Ibu-ibu itu selalu menempati suite room, jadi kamarnya lebih lega. Terbang pun kami selalu di kelas satu.
Aku rasa soal ini kalau diceritakan bisa terlalu panjang. Namun lain kalilah kuungkap kehidupan 2 minggu kami sambil berkeliling Eropa. Jika anda mengikuti cerita ini dari awal dan sampai di bagian ini, saya berterima kasih banyak. Kritikan mudah-mudahan menambah kemampuan saya menulis. thx

Harem 9

Aku tidak menyangka ketika awal aku indekos di rumah ini bakal mengalami kejadian yang mencengangkan. Jika kuceritakan kepada siapa pun pasti, pasti tidak akan ada yang percaya. Tapi meskipun keinginan bercerita pengalaman ini sangat menggelitik hatiku, aku tetap berusaha menyimpan rapat-rapat rahasia ini.
Aku tidak pernah menghayalkan apalagi berencana untuk mencicipi para penghuni kos ini. Tapi sejarah sudah menetapkan alur hidupku, aku hanya mengalir saja kemana arah yang sebaiknya aku tuju. Sulit rasanya mempercayai, bahwa 8 cewek penghuni kos ini semua sudah pernah aku tiduri. Bukan itu saja Ibu kosnya yang janda dan tampilan berwibawa dan sangat menjaga kesopanan ternyata paling rajin mengundangku ke kamarnya.
Aku menjadi orang yang sangat penting di rumah itu. Kemampuanku terapi pijat refleksi, bisa memasak dan menjadi tong penampung curhat banyak menjadi tumpuan penghuni kos.
Semua hobiku itu tak kusangka memberi penghasilan yang lumayan. Aku tidak lagi perlu membayar uang kos. Aku tidak tahu bagaimana duduk perkara sebenarnya, apakah ibu kos yang menolak pembayaran uang kos itu karena memang ia tidak mau dibayar, atau karena sewa kost ku ada yang membayari. Setiap kali aku mau bayar, si Ibu kost selalu bilang, “nggak usah dik, semua membutuhkan adik di sini,”
Aku selalu menolak jika diberi uang setelah aku memijat cewek-cewek penghuni kost ini. Aku memang hanya ingin membantu, toh aku juga mendapat kenikmatan dari mereka.
Pernah satu kali, Mbak Ratih menanyakan no rekening bankku, katanya dia tidak punya tabungan di bank itu dan ada temannya mau transfer uang untuk dia melalui rekening bank ku karena kebetulan bank temennya sama dengan bank tempatku menabung. Meski kemudian uang yang ditransfer itu sudah kuberikan kepada Mbak Ratih, tetapi di hari-hari berikutnya tabunganku terus bertambah. Nilai yang masuk setiap bulan bukan kecil. Menurut ukuran ku yang masih kuliah jumlah uang itu, sangat besar.
Mungkin setelah aku lulus kuliah, aku nggak bakal bisa menerima gaji sebesar uang yang masuk setiap bulan ke rekeningku. Aku tak kuasa membendung masuknya uang ke rekening ku itu, aku pun tak cukup kuat punya niat untuk melakukan investigasi. Aku jadi teringat pepatah orang Batak . “Sakit meminta tak diberi, tetapi lebih sakit memberi tapi tak diterima.”
Dari pada aku sok nggak butuh dan bisa menyakitkan hati orang, lebih baik aku nikmati saja yang terjadi pada hidupku. Manis atau pahit kalau kita enjoy, pasti nikmat-nikmat aja.
Bukan hanya tabungan yang terus membengkak, rokok pun sekarang aku tidak pernah beli. Kadang-kadang ada saja yang memberiku oleh-oleh. Bentuknya bermacam-macam, ada T shirt, ada celana jean, sepatu. ah banyaklah. Yang bikin aku nggak enak hati Ibu kos memaksa agar kamarku dipasang AC.
Cewek-cewek di sini, jika di luar mereka semua punya pacar, kecuali ibu kost. Soal dia, aku kurang tahu persis. Tetapi ketika mereka di rumah ini semua merapat mendekati ku.
Kami bergaul akrab satu sama lain, semua dekat dan semua saling mengerti. Tidak ada rasa cemburu diantara mereka. Misalnya aku sedang masuk ke kamar A, yang lainnya bisa menerima. Tidak ada jadwal khusus yang diatur, kapan aku ke kamar A, kapan ke kamar B dan seterusnya. Semuanya berjalan secara alamiah, siapa yang paling membutuhkan, dialah yang menggendongku. Kalau aku periksa catatan rahasiaku, memang jadwal date ku dengan mereka tidak sama, ada yang dalam sebulan sampai 8 kali, tetapi ada yang cuma sekali. Namun itupun bisa berubah di bulan lainnya, yang bulan lalu dia mendapat jatah 8 kali, bulan berikutnya ternyata bisa cuma sekali. Aneh juga ya.
Sebelumnya aku mau bercerita bagaimana akhirnya Juli bisa kugarap. Bagi pembaca yang mengikuti cerita ini sejak awal mudah-mudahan masih mengingat siapa-siapa saja teman satu kostku.
Aku bisa menggarap Juli adalah gara-gara Kristin sahabat dekatnya. Mereka sama-sama berdarah Cina. Mereka bukan sekampung, sebab Juli adalah Cina Padang. Mungkin karena mereka satu angkatan waktu sekolah, sehingga karena itu jadi akrab.
Kristin suatu kali manarik tanganku untuk berpisah dengan teman-teman lain. Dia ingin menyampaikan sesuatu. “ Eh ini rahasia, tapi gue harus sampaikan ke lu, karena mungkin lu bisa bantu, “ kata Kristin membuka pembicaraan.
“ Gini Jay, aku kasihan ama Juli, dia itu ternyata nafsu sexnya kuat, tapi sangat pemalu. Jadi gini Jay dia sering bermasturbasi karena sulit mengendalikan nafsunya. “ kata Kristin.
Aku diam saja tidak memberi reaksi dan menanya apa pun. Aku memberi kesempatan kepada Kristin untuk menuntaskan ceritanya. Sebab aku menduga, Kristin sudah bersusah payah sebelum ini menyusun kata-kata untuk mengungkapkan ini kepadaku.
“Dia sampai sering nangis sendiri karena tidak tahan menahan gejolak nafsunya. Padahal dia kan belum pernah pacaran, jadi kayak nggak ada penyaluran, gitulah Jay,” katanya.
“Lho cowok yang suka ngantar dia itu apa bukan pacarnya,” tanyaku.
“Cowok yang mana, itu kan supir kantornya, ngawur aja lu,” jawab Kristin.
“Jadi aku harus menolong bagaimana, masak mendadak tiba-tiba aku ajak, Jul maen yuk,” tanyaku sambil bercanda.
“ Lu gila, orangnya susah diajak serius nih, becanda melulu. Udahlah pokoknya lu harus cari jalan bagaimana caranya supaya dia juga merasa tertolong dan tidak sungkan,” kata Kristin.
Juli menurutku tidak jelek, tetapi tubuhnya yang tambun itu membuatnya kurang diminati cowok. Andai saja beratnya bisa dikurangi 20 kg saja, Juli bakal menjadi cewek idaman.
Setelah pembicaraan rahasia itu, aku segera mencari bahan bacaan yang berkaitan dengan pengurangan berat tubuh melalui pijat refleksi. Penelusuran itu membawa ku sampai kepada hipnotherapy. Melalui cara ini juga bisa membantu menguruskan badan.
Ilmu ini kurasa penting. Aku kemudian mengikuti kursus hipnotherapy. Masalah biaya aku tidak pusing, karena tabunganku memadai. Namun aku merahasiakan bahwa aku mulai mendalami hipnotherapy. Jadi tak satu pun tahu aku mempunyai aktifitas baru mendalami hipnotis.
Setelah merasa aku mulai bisa menguasainya meskipun belum canggih benar, aku mengontak Kristin. “ Bagaimana kalau aku mencoba menterapi penurunan berat badan. Ini ilmu baru yang belum pernah aku praktekkan. Tapi kalau Juli tidak keberatan dan mau jadi kelinci percobaan aku akan coba ke dia,” kata ku.
“Nah ini cocok, “ kata Kristin bersemangat.
“Eh tapi soal nafsunya itu, gimana apa bisa diterapi juga,” katanya kemudian penuh ragu.
“ Ah itu sih gak perlu diterapi, biar aku saja yang nampung,” kataku sambil senyum-senyum.
“Ah lu emang gila, apa nggak takut gempor, emang lu payah becanda mulu, sekali-kali serius napa,” kata Kristin.
Kristin tidak sabar ingin segera menyampaikan kabar baik itu kepada Juli. Dia bergegas ke kamar Juli. Tidak kusadari berapa lama mereka berdua berunding. Yang jelas malam itu tinggal aku sendiri yang berada di ruang tengah menonton pertandingan bola.
“Jay,” aku mendengar suaru lirih, ternyata asalnya dari Kristin. Dia mendekat dan berkata setengah berbisik, “Juli mau diterapi untuk kurus, kalau pun nggak berhasil nggak pa-pa. Dia siap jadi kelinci percobaan lu, “ kata Kristin.
“Eh tapi jangan disinggung-singgung soal nafsu sexnya ya, itu dia minta dirahasiakan sekali, awas lu,” kata Kristin.
“Ok bos, siap melaksanakan tugas,” jawabku sambil berdiri.
“Sekarang bisa,” tanya Kristin lagi.
“Siap,” kata ku.
Diambilnya remote TV lalu dimatikan dan aku digelandang masuk ke kamar Juli. Di kamar itu Juli sedang bengong duduk di tempat tidur. “Apakah dia berharap juga bahwa malam ini aku memulai terapinya,” kata ku bertanya dalam hati.
Aku duduk dikursi berhadapan dengan Juli. Aku katakan bahwa terapi menguruskan badan ini belum tentu berhasil. Soalnya aku belum pernah melakukakannya dan disamping itu harus ada kerjasama dengan yang diterapi. Juli mengangguk-angguk dan bisa memahami. Kristin yang duduk di samping Juli mendesak temannya agar menuruti apa yang kuminta, maksudnya menuruti apa yang kunasehati.
Juli mengaku beratnya 85 kg, tinggi 160 cm, umur 24 tahun. Idealnya dia harus menurunkan 25 sampai 30 kg. Ini bukan pekerjaan ringan pikirku. Namun kalau aku berhasil ini adalah investasi besar.
Aku meminta Juli terbuka dengan ku, maksudnya mengenai pola hidupnya dan pola makannya. Ini akan sangat membantu aku menemukan cara terbaik dan aman menurunkan berat badannya. Dia mengaku suka ngemil. Memang makannya tidak banyak. Porsinya sedikit, tetapi sulit menahan selera melihat jajanan.
Di samping itu, dia hobby makanan yang berlemak, bersantan dan minum manis serta kue coklat. Olahraga sama sekali tidak pernah, karena dia cepat capek dan nafasnya sesak. Dia mengaku mungkin dia punya penyakit asma.
“Okelah coba saya chek up dulu,” kata ku.
Aku memintanya tidur telentang. Juli mengenakan celana piyama. Seharusnya piyama longgar, tetapi di tubuh Juli jadi ketat, terutama di pahanya. Aku mulai menekan-nekan simpul syaraf di telapak kakinya.
Ketika simpul syaraf pencernaannya aku tekan, Juli menjerit. Pantaslah, dia harus sering makan. Sebab kalau tidak perutnya akan terasa perih. Aku jelaskan soal itu, dia membenarkan. “Tuh kan gue bilang apa, Jay ini ngerti lho, udahlah lu percaya aja ama dia gak usah banyak bantah,” kata Kristin mencecar temannya.
Juli yang dicecar begitu hanya meringis saja, sebab dia sedang menahan rasa sakit. “ Udah gue tinggal gue ngantuk, lu pokoknya bereslah ama Jay,” kata Kristin lalu beranjak dan meninggalkan kami berdua.
Aku mencoba menekan syaraf-syaraf yang bisa berakibat mengurangi selera makannya. Syaraf-syaraf itu jika ditekan kata Juli sakit sekali. Simpul syaraf seperti ini memang tidak bisa dilemaskan dalam satu kali terapi. Juli mau mengerti jika terapi ini harus berulang-ulang.
Aku mencoba menekan semua simpul syaraf yang memberi dampak menurunkan bobot itu. Semua titik tersebut jika ditekan sedikit saja, Juli sudah menjerit kesakitan. Hampir satu jam aku menelusuri semua syaraf langsing itu, sampai Juli badannya basah kuyup karena keringat akibat menahan sakit.
“Bagaimana Jul, semua yang ditekan sakit, apa kamu kuat diteruskan.,” tanya ku.
“Biarin deh aku tahan, yang penting aku bisa kurus, “ katanya bersemangat.
Aku lalu menyarankan agar dia berganti mengenakan daster saja, sebab semua bajunya sudah basah berkeringat. Tapi akan lebih baik kalau mengenakan sarung saja sebab selain tidak terlalu gerah, juga memudahkan aku menyentuh simpul-simpul syaraf. Kali ini aku serius, bukan mau ngerjain Juli. Kasihan juga sih.
Juli menurut dia bangkit. Aku lalu menyarankan dia agar ke kamar mandi dulu untuk pipis. Lebih baik pipis sekarang daripada nanti ditengah-tengah terapi kebelet pipis., Aku juga ingin merokok dulu di luar sebentar. Juli setuju dan aku keluar lalu mengasapi ruangan. Setelah sebatang rokok putih habis tidak lama kemudian Juli memanggilku.
Juli mengenakan sarung yang diikatkan di dadanya. Aku terperangah juga, badannya putih sekali dan semuanya serba besar. Payudaranya besar dan pantatnya juga besar. Setelah menyiapkan semua perlengkapan termasuk body lotion aku memulai terapi dengan menyuruhnya tidur telungkup.
Aku kembali mengulang menekan simpul-simpul syaraf tadi. Namun sekarang dengan bantuan cream aku jadi lebih lancar mengurut bagian-bagian simpul syaraf di seputar kakinya. Menurut Juli sekarang tidak lagi merasa terlalu sakit seperti pertama tadi. Aku jelaskan bahwa jika diurut, maka penekanan simpul syaraf tidak terfokus pada satu titik, jadi yang dirasa adalah sakitnya tidak seberapa.
Dari tidak ada niat sampai muncul sifat iseng dan ingin tahu. Dua hal terakhir ini adalah kelemahanku, terutama suka iseng. Jadinya seperti biasa simpul syaraf erotis aku senggol-senggol juga. Rupanya terhadap Juli simpul itu cepat sekali menimbulkan reaksi. Dia jadi gelisah.
Kubiarkan dia tersiksa dengan kegelisahannya. Paling tidak membantu aku untuk menyingkap sarungnya agar aku bisa meraih bagian-bagian yang tersembunyi. Dia pasrah saja ketika sarungnya aku singkap keatas. Aku memerlukannya karena akan mencapai bagian paha. Luar biasa besar pahanya dan putih bersih. Sambil mengurut aku mengagumi kebesaran itu.
Urut dan penekanan simpul syaraf aku atur selang-seling. Jika dia kesakitan berikutnya aku urut bagian yang nyaman dan menggairahkan. Saat dia mulai syur aku tekan lagi bagian yang sakit. Juli kemudian mengaku bingung merasakan pijatanku. “Sebentar enak, sebentar sakit, bisa nggak dipijet biar enak terus, “ kata Juli.
“Nanti lama-lama yang sakit jadi terasa enak, tenang aja, tapi sorry nih aku terpaksa menyingkap sarung sampai begini, kamu keberatan apa enggak ?”
Dia langsung menyambut cepat bahwa dia tidak keberatan yang penting bagi dia terapiku lekas berhasil.”Ibaratnya aku harus telanjang pun aku turuti Jay,” kata Juli.
Aku langsung menjawab, “ Ya kalau nggak keberatan telanjang aja, aku jadi lebih gampang nggak ngraba-raba di dalam sarung, “ kata ku dengan nada yang kutenang-tenangkan.
“Dibuka semuanya Jay,” tanyanya minta konfirmasi.
“ Kalau nggak keberatan, terserahlah,”
“ Ya udah demi kesehatan dan menghargai pertolongan kamu aku ikut saja,” katanya sambil berdiri dan meloloskan sarung, lalu BH dan celana dalamnya dengan posisi membelakangiku. “Tapi jangan diketawain ya badan ku gemuk,”
“Dari dulu udah tau kamu gemuk, masak sekarang mau ngetawain, udahlah kamu anggap aja aku nggak ada dan yang mijet ini mesin,” kata ku berusaha membangkitkan percaya dirinya.
Namun di dalam hatiku terkagum-kagum dengan gumpalan lemak yang begitu banyak di seluruh tubuh nya. Aku bertanya sendiri, apa bisa lemak-lemak itu nanti meleleh. Kalau bisa hebat juga aku.
“Aku belum pernah meniduri cewek gemuk, kira-kira rasanya bagaimana ya. Empuk kali. Ah jadi pengen nih,” kataku dalam hati.
Aku mulai menggarap lebih banyak simpul syaraf erotis dari pada syaraf yang melangsingkan. Toh dia juga sudah tersiksa kesakitan dari tadi, jadi perlu diberi terapi nikmat.
Memang benar kata Kristin, nafsunya mudah sekali dibangkitkan. Belum setengah perjalanan dia sudah mengaduh-aduh keenakan dan kegatelan. Aku jadi makin tergoda dengan rintihannya “ aaaaduuuuh Jaaayyy”.
Ini bukan rintihan sakit, tapi nikmat. Bokongnya yang gempal mulai aku garap. Di situ banyak sekali syaraf-syaraf erotis berada. Lalu aku turun lagi menekan beberapa bagian di paha sebelah dalam dekat sekali dengan kemaluannya. Berhubung pahanya besar sekali aku minta dia merenggangkan kakinya. Kakinya sudah merenggang cukup jauh, tetapi tetap saja kedua belah pahanya masih rapat. Aku terpaksa menyelipkan tanganku untuk meraih titik yang perlu disentuh.
Karena begitu gempalnya aku kurang menyadari jika suatu saat tanganku sudah menyentuh bibir kemaluannya. Aku terkejut sendiri menyadari tanganku sudah mencapai bagian vital, padahal sesungguhnya aku belum mau sampai di situ.
Kuakhiri menyentuh daerah sensitif, berpindah ke pinggang lalu naik ke bahu dan tengkuk. Punggungnya ketika aku tekan terasa tebal sekali lemak di situ. Senang betul aku memainkan lemak-lemak di situ Setelah bahu kedua tanganku menyelusup ke ketiaknya dan melakukan pijatan badannya bagian samping. Bagian pinggir buah dadanya jadi teraba juga. Bagian buah dadanya melebar ke samping karena bagian depannya tertekan.
Setelah selesai bagian belakang aku minta dia berbalik. Pemandangan makin indah. Dibagian atas bergumpal susu yang besar di bawahnya perut yang berlipat kebawah lagi segitiga, tapi rambutnya cuma sedikit dan membujur ke bawah sepasang paha putih yang besar sekali.
Aku berusaha tenang dan seolah-olah tidak melihat apa-apa. Padahal sedang terkagum-kagum menyaksikan bongkahan lemak bergumpal dimana-mana dan putih bersih.
Aku kembali mengurut dari ujung kaki terus naik keatas sampai ke pangkal paha. Juli merintih sampai seperti sedang menangis. Aku berusaha menyimak apakah dia benar menangis atau sekedar merintih. Ternyata dia merintih sambil menangis.
Aku tanyakan kenapa menangis, apa menyesal atau karena apa. Aku sempat menghentikan pijatan untuk memastikan keadaan.
“Aduh Jay aku nggak tau kenapa aku begini. Aku rasanya seperti disiksa oleh keinginanku sendiri,” dia tidak meneruskan kata-katanya. Aku mengerti apa yang dimaui sebenarnya.
Dengan gaya cool aku menenangkan dia. “ Sudah Yul kamu tenang saja, pokoknya kita harus bisa merahasiakan semua yang terjadi di kamar ini. Aku paham apa yang ada didalam tubuhmu, sabar sebentarya biar aku tuntaskan terapi ini. Kamu kalau mau berteriak atau apa pun lepas aja, jangan ditahan ya, nanti dada kamu jadi sesak,” kata ku.
“Aduh Jay terima kasih, kamu ternyata sangat pengertian, sorry ya Jay jangan ketawain aku ya kalau aku bersuara atau bertingkah aneh,” katanya mengiba.
Aku jadi kasihan. Ku sarankan agar dia menutup mukanya dengan bantal saja agar suaranya tidak terlalu terdengar sampai ke luar kamar. Dia segera menuruti saranku. Meski tertutup bantal rintihannya masih juga terdengar, tetapi tidak terlalu keras.
Aku memijat kedua paayudaranya. Dia makin merintih. Apalagi ketika tersentuh kedua putingnya yang berwarna merah jambu. Putingnya tidak terlalu besar sehingga bentuknya sangat menggairahkan.
Perutnya yang penuh lemak agak sulit mengurutnya.Aku hanya menggosok-gosok saja. Pijatanku turun ke bawah dan mulai menggarap sekitar kemaluannya. Juli tidak hanya memberi ruang dengan merenggangkan kakinya tetapi kakinya ditekuk dan dibukanya selebar mungkin. Meski sudah begitu besar celah yang dia buka, tetapi belahan kemaluannya belum terbuka juga karena di situ juga bergumpal lemak menutupi celah itu.
Aku menggosok kemaluannya perlahan-lahan sambil menyelipkan jari tengahku menerobos masuk ke dalam belahan yang ternyata sudah sangat basah. Pijatan di kemaluan itu kulakukan tanpa minta izin lagi ke pemiliknya. Aku tekan sebentar clitorisnya. Dia menggelinjang dan suaranya terdengar agak keras mengerang di bawah bantal.
Selesai sudah semua terapi pijatanku. Aku lalu berbisik di telinganya. “Jul pijatannya sudah selesai, boleh aku bantu biar kamu lega.”
Juli hanya menangguk lemah. lalu kembali menutup bantal ke wajahnya. Aku membuka semua pakaianku kecuali celana dalam. Terapi selanjutnya adalah mengoral vaginanya.
Tinggi juga faktor kesulitan yang kuhadapi untuk mengoral kemaluan Juli. Lemak yang berlebihan menghalangi ku untuk mencapai bagian clitorisnya. Aku harus mengatur posisi agar masih bisa bernafas sambil mengoral. Juli tersengal-sengal menikmati oralku. Seluruh bagian mulutku sampai ke dagu basah kuyup oleh cairan Juli. Dia cepat sekali mencapai orgasme. Bukan rintihan atau erangan yang kudengar, tetapi suara seperti menangis. Kubiar saja dia mengekspresikan kenikmatannya. Selanjutnya aku berusaha merangsang G-spotnya, Dengan gerakan hati-hati aku memasukkan jari tengahku ke dalam liang vaginanya. Terasa sekali sempit. Di dalam vagina juga banyak gumpalan lemak, sehingga agak sulit mencari mana tonjolan G-spot. Aku hanya mencoba membaca reaksinya ketika bagian dalam ku jamah. Sampai aku yakin menemukan bagian yang tepat, aku bertahan di titik itu dengan elusan yang lembut.
Hanya sebentar saja dia sudah meronta-ronta ketika orgasmenya kembali datang. Vaginanya banjir seperti ngompol. Sprei di bawahnya basah kuyup. Setelah orgasmenya mereda aku menindihnya dengan sebelumnya aku melepas celana dalam ku. Kami berdua telanjang bertindih-tindihan. Aku menggesek-gesekkan batang penisku di luar belahan kemaluannya. Juli menyambutnya dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya.
“Aduh Jay nikmat sekali Jay, Aku belum pernah begini Jay. Terusin aja Jay masukkan aku sudah tidak perawan lagi kok “
Aku mengerahkan ujung penisku ke gerbang vaginanya. Meski licin, tetapi aku berkali-kali gagal memasukkan kepala penisku. Aku mengubah posisi dengan duduk bersimpuh dan menselaraskan letak kepala penis dengan lubangnya. Aku terpaksa menguak lebar kemaluannya untuk memastikan dimana letak mulut vagina Juli.
Setelah jelas baru aku dorong pelan-pelan. Bagian kepala sudah berhasil terbenam, tetapi untuk maju masih agak sulit. Juli merintih sakit katanya. Aku berusaha menyabarkannya agar dia menahan sebentar saja rasa sakit itu. Batang kutekan lagi sampai hampir setengah tertelan kemaluan Juli.
Dengan posisi setengah aku mulai memaju mundurkan penisku sampai Juli merasa tidak sakit lagi. Setelah dia merasa nyaman dan mendesah-desah, kutekan lagi perlahan lahan sampai seluruhnya ambles ke dalam vaginanya. Meski banyak lemak di dalamnya aku merasa vagina Juli masih sempit, maklum lubang ini belum pernah dikunjungi penis.
Juli merintih sambil berucap betapa enaknya vaginanya terasa terganjal dan hangat. Aku melakukan gerakan mengedut-kedutkan penisku beberapa kali. Juli semakin mengerang merasakan nikmatnya kekerasan penisku yang mengganjal di dalam liangnya.
Setelah yakin semua batang terbenam di dalam aku kembali rebah menindih tubuh Juli. Kedua putingnya kuhisap bergantian, sambil penisku tetap menancap di dalam liang vaginanya. Aku terus melakukan gerakan mengedut sambil menciumi kedua putingnya. Juli terangsang hebat dan dia berteriak “ Jay aku nyampe, “
Sementara dia berogasme, bibirnya aku lumat dan kuhisap dengan gerakan yang ganas. Dia semakin bernafsu dan orgasmenya berlangsung cukup lama. Aku tidak tahu pasti orgasme jenis apa yang dia rasakan.
Setelah reda dia berkomentar bahwa baru kali ini dia merasa nikmat yang luar biasa. Semua pening dan sesak di dadanya menjadi plong. Matanya terasa ngantuk dan lemes. Aku tidak memberi kesempatan dia tertidur. Segera aku pompa dengan gerakan 8 kali hunjaman dangkal dan sekali dalam. Kosentrasiku menghitung hunjaman ini menganggu konsentrasi menikmati vaginanya. Mungkin ini menyebabkan aku jadi bisa bertahan lama.
Juli tidak jadi jatuh tertidur, dia kembali mendesah, mengerang dan kepalanya digeleng-gelengkan. “Aduh Jay aku lemas banget, tapi nikmat sekali aduh Jay aku nyeraaahh,” katanya. Sementsra aku terus memompanya.
Efek dari pijataan ku tadi berakibat dia mudah sekali mencapai orgasme. Aku sudah tidak lagi memperhatikan sudah berapa kali dia mencapai orgasme. Padahal permainan baru berlangsung 15 menit. Aku terus memompa sampai dia tidak mampu lagi bereaksi karena kelelahan yang amat sangat. Aku berkosentrasi sampai ketika akan meledak buru-buru aku cabut dan ditumpahkan ke perut Juli. Juli hanya membuka mata sebentar lalu jatuh tertidur. Di bagian akhir, tampaknya dia sudah setengah tidur.
Seperti biasa aku segera menutup selimut ke seluruh tubuhnya dan aku kembali berpakaian. Dengan langkah berjingkat ku tinggalkan kamar Juli.
Aku mendapat pengalaman baru lagi merasakan lemak tebal.
Dua hari setelah itu aku digamit Kristin. Dia berbisik, “Juli berterima kasih sekali sama lu, katanya terapinya luar biasa. Dia juga senang karena selera makannya jadi kurang banget,”
Sedang kami berdua tiba-tiba muncul Juli. “ Jay beratku turun sekilo, kayaknya terapimu mulai menunjukkan hasil.” katanya.
Aku mengingatkan agar dia jangan terlalu bersemangat menurunkan berat badan. Sebab jika turun terlalu drastis, kurang baik terhadap kesehatan. Aku menyarankan agar dia berusaha jalan lebih jauh dari biasanya dan kalau bisa hindari naik lift atau eskalator. Dengan begitu badannya tetap kencang meski bobotnya berkurang.
Selain terapi pijat refleksi aku melakukan kombinasi dengan hypnotherapy. Aku menanamkan sugesti kedalam alam bawah sadarnya untuk tidak berselra kepada makanan manis, berlemak dan coklat. Kebiasaan makannya aku ubah dengan lebih menyukai sayur dan buah-buahan. Sugesti it uterus-menerus aku tanamkan kedalam benak Juli, sampai dia sendiri merasa perubahan selera makannya karena kesadaran akan mencapai bentuk dan berat badan yang ideal. Aku juga berterima kasih kepada Juli, tetapi di dalam hati. Berkat tantngan yang dia berikan aku bisa menguasai hypnotherapy.
Singkat cerita 6 bulan kemudian Juli sudah mencapai berat yang ideal yaitu 55 kg. Tampilan Juli makin cantik dan hebatnya payudara dan pantatnya tetap bertahan gempal tidak ikut susut. Juli menjadi seksi.
Di balik keberhasilannya menurunkan berat badan, aku yang jadi megap-megap. Setiap kali mengetahui jadwalku kosong, Juli langsung minta jatah. Padahal katanya dia sudah punya pacar. Tapi dia mengaku susah melupakanku. “Aku kecanduan kamu Jay,” katanya.
Keberhasilan ku menurunkan berat badan Juli segera tersebar ke seluruh jaringan cewek-cewek ini. Aku di baiat sebagai terapis paling ampuh. “Padahal, keberhasilan Juli menurunkan berat badan antara lain karena dia hampir setiap hari kelelahan karena nafsu sexnya yang mendorong dia selalu minta disetubuhi,”
*********

Harem 8

Selama ini aku melihat cewek hanya dari sosok luarnya. Setelah aku tinggal bersama 8 cewek plus satu janda pemilik kost, aku baru menyadari bahwa sosok luar tidak bisa memberi gambaran sepenuhnya mengenai siapa dia sesungguhnya. Pengalaman mengajarkan cewek yang kelihatannya alim, ternyata di balik itu dia ganas di tempat tidur. Perempuan yang sok gengsi dan sangat jaim, di balik itu dia sangat bernafsu. Ada pula yang kulihat mesra banget sama cowoknya dan jauh dari kesan bisa diselingkuhi, ternyata juga suka selingkuh. Kesimpulanku, jangan mudah kagum melihat penampilan seorang wanita betapa cantik dan anggunnya dia.
Mbak Ratih yang semakin akrab dengan ku kadang-kadang membuatku malu. Dia bisa tiba-tiba duduk di pangkuanku di depan cewek-cewek yang lain. Dia memang paling sering minta diservice. Selalu saja ada alasan agar bisa menyeretku ke kamarnya. Kalau sudah gitu aku tak kuasa menolak. Pada awalnya sih dia minta dipijat, tetapi akhirnya minta ditiban juga.
Satu kali Mbak Ratih menarikku masuk ke kamarnya. Kami duduk di tempat tidur. “ Jay aku punya temen, aku kasihan sekali melihat keadaannya. Umurnya seumuran ku, dia pengusaha. Dia sering mengeluh kepalanya pusing sebelah. Kayaknya dia sudah berobat kemana-mana, tapi penyakitnya nggak bisa ilang,” kata Mbak Ratih.
Dia bercerita banyak mengenai temannya itu dan buntutnya dia memintaku untuk mencoba melakukan terapi. “ Aku sudah promosiin kamu lho Jay, katanya dia mau mencoba, kamu mau ya bantu aku dan temenku itu,” pintanya.
Aku berkilah bahwa aku bukan ahli terapi, makanya kalau nanti aku terapi tidak berhasil, mbak Ratih bisa malu. “Mbak jangan berpromosi kelewatan mbak, nanti malah malu-maluin,” kataku.
“Udah lah Jay, aku yakin kamu bisa lah, buktinya di rumah ini semua yang kamu terapi berhasil, kamu berbakat lho, dan kamu bisa kaya dengan hobimu ini,” kata Mbak Ratih sungguh-sungguh.
Setelah ngobrol soal temannya itu, kami keluar kamar. Hari itu adalah hari libur. Para penghuni kost banyak yang pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal munkin sekitar 2 atau 3 orang, aku kurang pasti.
Situasi agak gerah meenjelang jam 11 siang. Bu Rini menghampiri kami yang sedang duduk menonton TV. Bu Rini memanggilku. Aku beranjak mendekati dia. “ Dik bisa minta tolong nggak beliin makanan, si Ijah tadi pagi pulang kampung, Ibu nggak bisa masak, Atun juga nggak bisa, bisanya Cuma bikin indomi,” kata Bu Rini sambil setengah berbisik.
Kami memang kost di situ berikut makan, jadi wajar jika Bu Rini bingung saat ditinggal pergi pembantunya yang biasa menyiapkan makanan. Aku menawarkan option untuk masak saja di rumah, biar aku yang kerjakan.
Bu Rini setengah tidak percaya memandangi ku, “ Kamu bisa masak juga to,” katanya.
“Ya sedikit-sedikit bu, ayo kita ke dapur ada bahan makanan apa saja, biar saya oleh jadi lauk hari ini,” kata ku.
Kami lalu ke dapur. Kulihat ada sawi, daun bawang, bawang putih, kecap manis, kecap asin, cabe rawit dan telur. “ Beres bu, kita buat ifumi,” kata ku.
Bu Rini setengah tidak percaya setengahnya lagi penasaran, ingin tahu apakah aku sungguh-sungguh bisa masak. Aku lalu minta Atun membeli tepung kanji Rp 2000 ke warung dekat rumah.
Bu Rini jadi ikut heboh bertanya apa saja yang perlu disiapkan. Dia kuminta menggoreng mi instant hingga seperti kerupuk dan Atun kuminta menyiangi sayur-sayuran yang ada. Bu Rini teringat bahwa di kulkasnya masih ada ayam yang belum diolah. Dia lalu kuminta mengeluarkannya segera dan setelah berkurang dinginnya aku menyayat dagingnya berbentuk kubus.
Setelah semua bahan siap dan aku mencoba-coba mengingat apa lagi yang diperlukan. Wajan kunaikkan ke atas kompor dengan api maksimal, lalu masuk minyak. Setelah agak panas masuklah bawang putih menyusul potongan ayam diceburkan. Goseng-goseng sedikit lalu kusiram dengan sedikit kecap asin cap ikan. Bau harum segera menyebar. Dari ruang tengah ada yang berteriak, “wah baunya enak masak apa bu”
Sayuran menyusul terjun lalu garam dan bubuk penyedap. Setelah sayuran agak layu air yang sebelumnya ku campur dengan tepung kanji kutuangkan sampai hampir menenggelamkan sayur dan bahan lain di wajan. Aduk sebenatr lalu masuklah 3 butir telur ayam. Sambil aku mengaduk masakan kuminta Atun mengiris cabe rawit bulat-bulat.
Kuah sudah siap, yang mirip cap cai, bedanya jika cap cai tidak pakai telur ini ada pelengkap telur ayam yang diaduk jadi satu di kuahnya.. Mi instan yang sudah goreng bu Rini seperti kerupuk lalu ditempatkan di wadah . Mi kering itu lalu kusiramkan. Jadilah sekarang Ifu Mi dadakan.
“Baunya dari tadi udah bikin laper, “ kata Mbak Ratih. Menyusul Juli keluar dari sarangnya dan Niar rupanya dia milih tinggal di sini dari pada nginap di rumah saudaranya.
“Wah enak banget, nih siapa yang masak bu,” tanya Juli.
Bu Rini lalu menunjuk aku . “ Tuh kokinya, pinter ya,” puji bu Rini.
Dalam sekejap ifu mi yang kubuat sudah ludes. “Gila ini orang, pinter mijet, pinter masak lagi,” kata Mbak Ratih
“Ah aku nggak percaya kalau dia pinter mijet, belum aku buktikan,” kata Niar.
Aku terkesiap. Niar yang jarang kumpul dan jarang bercanda dengan kami, hari itu dia berkomentar. Niar perantau dari Medan. Orang tuanya memang masih tinggal di sana. Di Jakarta mulanya Niar sekolah sekretaris, setelah lulus dia bekerja di salah satu perusahaan operator telepon selular. Kelihatannya dia memiliki posisi yang lumayan penting, sehingga sering pulang agak malam.
Bu Rini lalu menyambung, “Memang harus dicoba, baru tau rasanya.” Bu Rini tersenyum penuh arti melirik ku.
“Aku mau dong, sekarang yaa…..” kata Niar.
Aku menyarankan agar menunggu beberapa saat sampai makanan selesai dicerna. Kurang enak rasanya jika pijat setelah makan. Aku minta Niar menunggu sebentar.
“Badanku pegal kali, tidur terus-terusan rasanya juga cape, tolonglah aku ya tapi jangan kuat-kuat aku tidak biasa dipijat sebetulnya tapi mendengar promosi kalian, aku jadi penasaran,” kata Niar.
Niar nggak sabaran dia minta segera aku pijat. Setelah kurasa perutku tidak sesak lagi setelah makan siang tadi akhirnya aku turuti kemauannya. Kami masuk ke kamarnya. Kamarnya ternyata ada AC dan televisi. Dia cukup berduit untuk menyewa kamar yang lux ini. Dinginnya AC dikamar Niar membuat badanku segar.
“Apanya kak yang mau dipijat,” kata ku. Aku memanggil dia kakak, karena usia kami terpaut 5 tahun dan dia kelihatan sudah sangat dewasa. Mungkin di kantornya dia terbiasa dengan pembawaan berwibawa.
“Badanku pegal semua, macam mana caranya dipijat,” tanyanya.
Aku menerangkan biasanya yang dipijat mengenakan sarung dan tiduran. Aku menawarkan pijatan dimulai dari kaki lalu ke badan. “ Niar setuju dan dia lantas berganti mengenakan sarung. Dia mengenakan sarung seperti orang Jawa mengenakan kemben. Jadi payudaranya tertutup sampai ke batas lutut.
Niar mengambil posisi tengkurap. Aku memulai pijatan refleksi di kaki. Pijatan refleksiku sengaja tidak terlalu keras, agar dia merasa nyaman dulu. Aku lemaskan semua syaraf di telapak kakinya lalu naik ke betis. Setelah semua otot terasa lemas aku mulai memijat pahanya, pantatnya dan badannya. Berhubung masih terhalang sarung aku hanya menekan-nekan tidak terlalu keras. Niar tertidur. Mungkin pengaruh dari makan siang tadi dan juga nikmatnya pijatanku.
Badan Niar cukup besar dan tinggi. Tingginya mungkin sekitar 170 dengan berat badan yang seimbang. Untuk ukuran cewek Indonesia ukuran tubuh Niar termasuk besar dan tinggi. Pahanya ternyata cukup tebal dan pantatnya juga menyembul. Sekitar 30 menit dia kubiarkan tertidur lelap sambil aku pijat kakinya dengan pijatan nyaman.
“Aduh enak kali pijatan kau Jay sampai tidur aku, “katanya tiba-tiba.
“Itu cuma kusuk ecek-ecek kak,” kata ku menjelaskan bahwa pijatanku itu hanya pijatan sederhana saja.
“Jadi rupanya ada pula pijat yang betul-betul, macam mana pula itu Jay,” katanya sambil tengkurap.
“Kalau kakak mau aku bisa mendeteksi organ kakak yang mana yang kurang beres,” kata ku.,
“Ah cobalah mainkan,” katanya
Aku mulai menekan simpul-simpul syaraf di telapak kakinya.
“Aduh mak sakit kali itu” katanya ketika simpul syaraf pencernaannya aku tekan.
Aku jelaskan bahwa pencernaannya agak terganggu, dan ini bisa mengarah ke penyakit maag.
Simpul lain yang aku tekan menunjukkan bahwa dia sering tidak teratur haidnya. Itu dia akui
“Bisa tidak kau mainkan biar jadi teratur, biar aku tenang,” katanya nyerocos.
Dari kata-katanya terkandung misteri yang seharusnya dia rahasiakan, tapi nyerocos secara tidak disadari. Kata-kata “biar aku tenang” aku anggap sebagai satu signal. Tapi aku cuek saja dan seolah-olah tidak mendengar perkataannya yang terakhir.
Aku jadi berniat menyelediki secara diam-diam dan langsung. Seperti sebelumnya aku mulai memainkan simpul-simpul syaraf erotisnya. Aku mulai garap di bagian permukaan kulit yang terbuka, yaitu, di telapak kaki, di dekat mata kaki lalu di betis dan di belakang lutut. Bagian-bagian itu mendapat pijatan lebih banyak dari titik-titik syaraf lainnya.
“Aduh enak kali pijatan kau Jay, badanku jadi panas, bekeringat pula.,” katanya.
Aku menyarankan kalau mau lebih enak lagi sebaiknya menggunakan krim agar bisa lebih licin diurut. Dia menyetujui dan memintaku mengambil krim body lotion di meja riasnya.
Aku mengulang lagi mengurut telapak kaki dan betis. Ulasan krim makin keatas menuju bagian pahanya yang tebal. Tanganku menyusur di bawah sarung sampai ke paha bagian atas. Di paha bagian dalam kusentuh titik-titik sensitifnya. Pinggulnya mulai bergerak. Ini sepertinya dia mulai terangsang.
Aku minta izin untuk mengurut punggungnya dengan krim. Dia setuju dan aku mulai mengoleskan krim dari bagian bahu turun sampai ke pinggang. Urutan punggung menimbulkan kenikmatan, karena bagian-bagian yang pegal jika diurut akan menimbulkan kenikmatan. Badannya meliuk-liuk menikmati urutanku yang sesekali juga menimbulkan rasa agak sakit. Ada bagian otot yang kaku jika diurut akan menimbulkan rasa agak sakit, tetapi hanya sebentar.
Dengan gerakan mengurut, sarungnya mulai terdorong ke bawah sampai ke batas pinggang. Niar masih menggunakan BH. Ini karena dia tidak terbiasa dipijat, jadi rasa malunya masih besar. Tanganku mulai merambah makin kebawah sampai ke bagian pantatnya yang montok.
Mulanya aku tekan dan kadang-kadang dengan gerakan memutar di pantatnya. Pijatan seperti itu biasanya akan menimbulkan rangsangan ke alat vitalnya. Dia pun berkomentar bahwa bagian itu enak sekali dipijat. Kuterangkan bahwa akibat terlalu lama duduk, maka bagian pantat ototnya agak kaku. Aku kembali minta izin untuk mengurut bagian pantat agar otot-ototnya lemas. Dia hanya menjawab, “ mainkanlah.”
Sarungnya sudah tidak berfungsi menutupi tubuhnya, karena sudah berkumpul di pinggang. Body Niar sungguh luar biasa . Meski kulitnya tidak putih, tetapi dari ujung kaki sampai leher kulitnya mulus nyaris tanpa goresan. Karena tubuhnya tinggi, maka bentuk tubuhnya jadi sangat ideal dengan pinggang mengecil dan pantat besar. Aku belum bisa memastikan payudaranya sebesar apa. Selama ini aku lengah menelaah dada Niar.
Tanganku mulai mengurut bagian pantatnya. Mulanya mengurut dari arah atas menyusup ke celana dalam. Selanjutnya mengurut dari bawah dengan mendorong-dorong daging bongkahan pantatnya.
Diakui ada bagian yang pegal di pantatnya yang rasanya nikmat jika diurut. Dia minta bagian itu berkali-kali diurut. Dorongan urut aku atur tidak selalu searah. Meskipun selalu mengarah ke atas, tetapi titik startnya berubah-ubah sampai ada yang dekat sekali dengan kemaluannya.
Entah dia sadar atau tidak, tetapi aku sudah berkali-kali menyentuh bagian luar belahan kemaluannya. Tanganku bisa merasakan karena bagian itu ditumbuhi-bulu-bulu. Meski kemaluannya sudah terjamah tetapi dia tidak protes, malah cenderung menikmati.
Aku berani menyentuh bagian itu karena yakin Niar sesungguhnya sudah terangsang. Terapi itu cukup lama sampai Niar kadang-kadang terlepas mendesis juga.
Setelah kurasa maksimal merangsang dengan pijatan dari belakang aku minta dia berbalik tidur telentang. Niar menurut saja, pasrah. Sarungnya dibiarkan berkumpul di pinggang.
Baru aku sadari bahwa payudara Niar ternyata cukup besar. Dia menggunakan BH dengan cup model setengah, sehingga gumpalan payudaranya menonjol seperti mau tumpah.
Aku mulai lagi mengurut bagian kaki. Terus sampai ke paha. Paha bagian dalam mendapat terapi yang istimewa. Aku ingin membuatnya gila dengan rangsangan yang kulakukan. Bukan hanya paha yang aku urut tetapi naik menyelusup di bawah celana dalamnya sampai ke bagian atas termasuk gundukan kemaluannya. Aku merasa Niar mencukur sebagian bulu kemaluannya, karena yang terasa berbulu hanya bagian tengah membujur ke atas. Tapi aku tidak berkomentar, karena aku berlagak pemijat prof jadi berperan seolah-lah tidak hirau dengan masalah kemaluan.
Niar kelojotan dengan urutan di sekitar kemaluannya. “ Aduh sedap kali Jay, pandai kali kau mengurutnya, bisa mati dengan sedap aku, kalau kau urut terus begitu, “ katanya sambil bergelinjang dan mulai agak mengerang meski dengan suara tertahan.
Pertahanan rasa malunya sudah jebol, dia tidak perduli lagi dengan tubuhnya yang nyaris telanjang. Kepalanya berkali-kali bergeleng seperti sedang disetubuhi.
Kurasa sudah cukup mengerjai bagian vitalnya. Aku berpindah ke bagian atas. Dimulai dari bahu lalu turun ke dada. “Aduh enak Jay, aku baru percaya sekarang kalau kau pandai mengusuk,” katanya.
Jariku tertahan oleh ketatnya BH sehingga tidak bisa mengurut bagian samping. Aku sarankan agar dia melonggarkan BHnya, agar kerjaku mengurut tidak terhalang. Dia patuh dan dengan meninggikan dadanya tangan kanannya meraih pengait BH dibelakang. Kaitan terlepas dan kedua payudaranya langsung kembali kebentuk asalnya.
Buah dadanya yang tadi seolah berkumpul di tengah sehingga menimbulkan efek menyembul dan membentuk lipatan diantara kedua bongkahan, kini melebar sampai tumpah ke samping badannya. BHnya masih menutup putingnya.
Tangan ku jadi lebih leluasa mengurut ke samping buah dadanya. Dia sudah tidak perduli lagi buah dadanya disentuh oleh laki-laki. Niar hanya menikmati rangsangan dari pijatanku.
Aku kembali minta izin untuk memijat payudaranya. Seperti wanita-wanita sebelum ini, aku selalu berkilah bahwa pijatan payudara itu selain untuk merangsang otot mengencangkan payudara, juga untuk melancarkan peredaran darah di sekitarnya. Niar percaya dan mengangguk saja. Dia semakin tidak peduli ketika BHnya kusibak sehingga terpampanglah kedua putingnya.
Kedua putingnya tidak terlalu besar berwarna coklat tua. Aku mulai memijat bagian payudaranya sampai menyentuh kedua putingnya. Setiap kali tersentuh putingnya, dia mendesis nikmat.
Gerakan pijatku berlangsung seperti gaya profesional yang dilakukan seolah-olah tanpa nafsu. Padahal di bawah sana sudah ada pemberontakan. Aku melakukan gerakan meremas dari samping kiri dan kanan mengurut ke atas sampai jempol dan jari telunjukku bisa meraih kedua putingnya. Putting itu lalu kupelintir lirih dan ditekan dengan gerakan memutar.
Gerakan memutar dengan tekanan lembut di kedua putingnya merupakan terapi berikutnya. Aku melakukan ini sambil menjelaskan bahwa efek dari pijatan ini adalah untuk merangsang syaraf di sekitar payudara agar berkerja normal. Dengan demikian aliran darah juga akan lancar.
Sambil melakukan itu aku menekan-nekan kedua payudaranya dengan kedua telapak tanganku. Alasanku untuk mencari tahu apakah ada benjolan yang mencurigakan. yang bisa menimbulkan kanker.
Niar entah percaya entah tidak, tetapi dia mendesis sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. “Aduh mau mati aku rasanya,” katanya tiba-tiba.
“Kenapa kak,” tanya ku pura-pura terkejut lalu berhenti memijat.
“Paten kali pijatan kau ini, aduh mak…jang,” katanya melenguh.
Kutinggalkan bagian payudara aku turun ke bagian perut. Bagian perut karena merupakan bagian yang rawan bagi wanita aku tidak berani gegabah. Hanya pijatan halus dan mengurut menaikkan bagian dalam perut yang agak turun.
“Kakak ini beser ya,” kataku.
“Apa itu beser,” tanyanya.
Aku terangkan bahwa beser itu adalah sering kencing, tiap sebentar kebelet pipis melulu. Itu dia benarkan. Aku katakan bahwa itu adalah akibat kandung kencingnya tertekan jadi kapasitasnya tidak bisa menampung air seni secara maksimal.. Aku berusaha memperbaiki posisinya.
“Kak bagian bawahnya mau dipijat jugakah,” tanya ku.
“Apa sebabnya perlu dipijat,” katanya dengan logat Medan.
Di situ ada urat dan syaraf yang kalau kejepit akibatnya wanita bisa mandul. Ini aku ngarang aja. Padahal dibalik itu aku ingin megang kemaluannya. Yah berdalih lah biar kelihatannya tidak memalukan.
“Boleh-bolehlah,” katanya.
Tanganku mulai menelusur ke bagian bawah mengurut ke bawah celdam. Aku bergerak dari bagian pinggir lalu ke arah tengah. Mulanya celdamnya masih menutupi segitiga kemaluannya. Namun karena gerakan tanganku celana itu melorot juga ke bawah, sehingga terpampanglah bukit pubis dengan jembut rapi tercukur.
Urutan tanganku tidak sampai menyelusup ke belahan kemaluannya, tetapi kedua pinggirnya sudah berkali-kali tertekan kedua jariku. Niar sudah tidak sungkan-sungkan lagi melenguh dan mendesis. Tampaknya dia sudah tidak peduli lagi dengan harus menahan malu karena terangsang. Telapak tanganku menekan bagian luar kenaluannya dan melakukan pijatan dengan mengurut dari bagian pantat sampai ke atas. Jari tengahku walau tidak sampai terpelsest masuk ke belahan kemaluannya tetapi bisa merasakan ada cairan diantara belahan itu.
“Aduh Jay lama-lama bisa aku terkam kau Jay,”
“ Kenapa Kak, “ kata ku belagak bodoh.
“Kau bikin aku gila ,” katanya.
“Kakak baru gila sebentar sudah sombong, Aku dari dulu gila tak pernah sombong,” kataku mencandai dia yang sedang terombang-ambing dengan nafsunya.
Niar mungkin tidak bisa menyimak kata-kataku lagi, karena dia heboh dengan erangan dan desisannya. Aku makin dalam menggarap kemaluannya. Jari tengahku perlahan-lahan terbenamkan ke belahan kemalauannya dengan gerakan menyapu dari bawah ke atas. Gerakan ini berkali-kali sampai aku bisa merasakan clitorisnya menegang.
Setelah rasanya dia hampir memuncak. Aku berhenti melakukan pijatan dan aku katakan “ Sudah selesai kak.”. Aku duduk disamping badannya yang terbujur telanjang.
“Aduh kau menyiksaku, bisa aku bunuh kau nanti,” katanya
“Semua sudah aku pijat kak, apalagi kak,” kataku lugu.
Ditariknya badanku sehingga aku menindih badannya. Niar lalu mencium wajahku lalu bibirku . Aku terus terang belum siap menerima serangan, sehinggga ketika mulutku dibekap oleh mulutnya aku megap-megap. Niar buas sekali menyerang ku. Di gulingkan badanku sehingga aku ditindihnya.
“Kak sabar kak, kakak tenang dulu, “ kata ku membalikkan badannya.
“Ah kau bikin aku gila,” katanya.
“Masih ada lagi terapi kak, tapi ini terapi khusus, hanya untuk yang sangat membutuhkan,” kataku.
“Apa pula itu,” katanya tidak sabar.
“Sekarang kakak tenang dulu biar aku bantu agak rileks. Kakak lemaskan badan kakak ya,” kataku.
“Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Niar menuruti semua perintahku. Sarungnya kulepas, BHnya kusingkirkan. Bantal kuselipkan di bawah pantatnya. Lalu kedua kakinya kutekuk. Aku merangkak diantara kedua kakinya lalu dengan bersetumpu siku aku mendekatkan mulut ke kemaluan Niar.
Sebagai penjilat yang sudah banyak mendapat penghargaan, aku memulai usapan lidahku menyapu bibir luar kemaluan Niar. Selanjutnya dengan bantuan kedua tanganku aku membelah kemaluannya sehingga tepampanglah kemaluan dengan warna merah ditengahnya dan bibir luar yang berwarna agak ungu. Lidahku mulai menyapu sekitar lubang vagina dari arah bawah sampai ke atas.
Usapan lidahku membuat Niar menggelinjang. Setelah kurasa cukup ujung lidah mulai mengarah ke puncak pertemuan bibir dalam di bagian atas. Di lipatan atas itu ada sebentuk bintil mencuat, berwarna merah mengkilat. Yang tertutup lipatan bibir dalam. Dengan bantuan kedua tanganku ku kuak lipatan yang menghalangi bintil itu sehingga terekspos bebas. Setelah kupastikan clitoris Niar kutemukan aku membekapkan mulut ke bagian atas kemaluan Niar. Lidahku langsung berputar mengitari sekitar clitoris.
Mendapat terapi lidah ini, Niar menggelinjang. Lidah ku bergerak kanan-kiri dibagian atas. Pada awalnya aku menjaga agar bagian lidah ini tidak sampai menyentuh ujung clitorisnya. Kemudian secara bertahap dan pelan bagian bawah lidahku mulai menyentuh clitoris. Aku merasa gerakan ini menimbulkan dampak clitorisnya makin menegang. Aku mengubah gerakan lidah dari bawah keatas menyapu seluruh bagian clitoris.
Setiap kali lidahku menyentuh ujung clitoris, Niar menggelinjang. Bagian ujung clitoris pada awal rangsangan mungkin masih dirasa terlalu geli dan ngilu jika disentuh langsung. Oleh karena itu aku belum melakukan pemusatan jilatan di ujung clitorisnya.
Aku mengubah sapuan lidah ke bagian bawah letak clitorisnya. Ujung lidah kuusahakan mengeras sehingga bisa mendeteksi pangkal clitoris. Bagian pangkal itulah yang kemudian menjadi sasaran jilatan maut.
Niar sudah mendesis, melenguh nggak karuan, bahkan kadang-kadang berbicara, tapi aku tidak jelas mendengar dan pastinya juga tidak bisa menjawab.Aku mencoba menjilat ujung clitorisnya untuk memastikan apakah rasa geli dan ngilunya sudah berkurang. Memang rupanya rasa geli berubah jadi rasa nikmat. Niar makin liar ketika jilatan lidahku fokus ke ujung ke ujung clitorisnya dengan gerakan kiri–kanan.
Niar makin gila dan tangannya mulai ikut mengatur irama gerakan lidahku sambil meremas rambutku. Sesaat kemudian tangannya tidak bergerak, Dia diam seperti sedang berkosentrasi. Tidak lama kemudian dia mengerang panjang sambil menekan kepalaku ke kemaluannya dan kedua pahanya menjepit.
Lidahku kutekan ke clitorisnya dan diam tanpa gerakan. Aku hanya merasakan denyutan pada clitorisnya seperti denyutan penis ketika mencapai orgasme. Niar memang mencapai orgasme. Setelah denyutan orgasme mereda, kulepas mulutku dari kemaluannya dan aku duduk diantara kedua pahanya dengan posisi bersimpuh.
Jari tengah tangan kanan mendapat tugas berikutnya. Dengan posisi telapak tangan menghadap keatas, jari tengah perlahan-lahan menerobos ke dalam. Tujuannya adalah mencari G-spot. Dengan rabaan halus aku segera menemukan G-spot. Bagian itu sudah seperti membengkak bentuknya kira-kira seperti bulatan uang logam 100 perak, tapi lebih kecil sedikit. Jaringan lunak itu perlahan-lahan aku usap dengan gerakan halus sekali.
Awalnya Niar tidak menampakkan reaksi, tetapi setelah 5 atau 10 kali usapan dia mulai menggelinjang dan mendesis. Sambil terus mengusap G-spotnya untuk mempercepat orgasmenya, jempol kiriku ditugaskan mengusap clitoris yang sudah kembali menegang. Niar mengerang-erang lalu berdesis lalu mengerang lagi. Dia tidak karuan bingung merasakan kehebatan rangsangan yang menerbangkan dirinya. Dalam waktu tidak terlalu lama kedua tangan Niar meremas sprei dan menariknya sambil menggigit bibir bawahnya dia mengerang panjang sekali. Pada saat itu, lalu ku kuak belahan vaginanya selebar mungkin. Dari lubang kcingnya yang berada dibawah clitorisnya menyemprotlah cairan tapi tidak terlalu banyak. Cairan itu agak cair, tetapi lebih kental dari urine. Mungkin sekitar 5 kali, pancaran itu menyembur lalu hanya meleleh .
Niar tergeletak lemah. “ Aduh gila, aku belum pernah mencapai nikmat kayak gini, pandai kali kau memainkan perempuan Jay, “ kata Niar dengan suara lemah.
“Sini Jay aku ingin memeluk kau ,” sambil menarik tanganku dan aku dipeluknya erat sekali.
Kulemaskan badanku dan kuikuti kemauannya. Terasa kemaluannya ditekankannya ke pahaku lekat sekali lalu digerak-gerakkannya. Aku masih berpakaian lengkap pada saat itu.
“Lemas kali badanku Jay, aku rasa ngantuk kali,” katanya .
Dia lalu meregangkan pelukannya dan aku pun bangkit. Badannya telanjang bulat telentang. Niar sudah mulai mendengkur. Kasihan dia maka kucari selimut dan kututupi tubuhnya. Niar tertidur pulas dengan air muka berseri-seri.

Harem 7

Setiba aku kembali ke rumah kost aku disambut bagaikan tamu besar. Kebetulan para penghuni sedang berkumpul di kamar tengah. Aku disambut dengan bertubi-tubi ciuman. Mereka rasanya terlalu berlebihan karena ketiadaan diriku di tempat itu hanya 2 malam mereka rasakan ada sesuatu yang hilang.
Aku tertidur di kamar mungkin dari jam 5 sore. Rasanya ngantuk sekali dan lelah. Entah berapa lama tertidur sampai merasa ada orang yang masuk di kamarku. Kamar gelap gulita, karena tadi aku tidak sempat menyalakan lampu. Aku tidak bisa melihat siapa yang masuk ke kamarku.
Tiba-tiba lampu dinyalakan dan ternyata 2 cewek sudah ada di kamarku. Mereka adalah Dewi dan Ana dengan baju tidur daster dan Dewi mengenakan kaus serta celana boxer. “Wah pangeran kita kecapean ni,” kata Ana.
Mereka minta izin untuk menginap lagi di kamarku. Mereka takut karena tadi siang habis melayat temannya yang meninggal karena kecelakaan. Katanya wajah temannya selalu terbayang-bayang. “ Ada-ada saja cewek-cewek ini,” pikirku.
Lampu kembali dimatikan dan kamar jadi gelap gulita. Malam ini cuaca panas sekali, karena mau hujan tetapi tidak jadi. Untung aku tidur hanya mengenakan celana pendek, sehingga tidak terlalu gerah.
Ana mengipas dadanya dengan menarik-narik bajunya. Dia juga merasakan kegerahan. Dewi mengipas-kipaskan telapak tangannya. Mereka bertanya apa aku punya kipas. Aku bilang tidak ada, karena tidak pernah terlintas dipikiranku untuk melengkapi kipas di kamar. Kalau mau ada majalah atau koran, tapi dalam keadaan gelap gini aku susah mencarinya apalagi aku tidur diapit.
Entah pikiran darimana aku iseng melontarkan ide, agar kami bertiga tidur telanjang aja. Aku pikir sebenarnya wajar saja, aku sudah sering melihat Dewi telanjang, ketika dia tidur di kamarku tatkala Ana pulang kampung. Ana juga sudah pernah kulihat dia telanjang juga ketika dia diam-diam menyelinap ke kamarku, manakala Dewi menginap di rumah saudaranya di Ciledug. Mereka berdua juga pernah bahkan berkali-kali melihat aku telanjang di kamar ini. Masalahnya aku belum pernah secara bersamaan melihat mereka berdua telanjang bersamaan di depanku.
“Siapa takut, “kata Ana. Dewi pun rupanya tidak keberatan. Sambil tiduran mereka mencopoti bajunya dan aku pun memeloriotkan celanaku. Posisiku yang diapit dua cewek begini tentu memacu aliran darah untuk berkumpul di penis, sehingga tegang mengacung. Tadi yang kucemaskan sejak kembali dari Lampung sekarang sudah terjawab
Aku tidak tahu kemana mereka melempar pakaiannya, yang kurasa kulitku sudah bersinggungan dengan kulit juga baik di kanan, maupun di kiri. Dewi memelukku di sebelah kanan,dan Ana juga memelukku di sebelah kiri. Kedua tangan ku yang mereka tindih jadi memeluk keduanya di kiri dan kanan.
Udara gerah tidak membuat rasa makin gerah meski dipeluk. Pikiranku lebih terpusat pada rangsangan dipeluk dua mahluk perempuan telanjang. Mulanya tangan mereka hanya mengelus-elus dadaku, tetapi Dewi mulai merayap kebawah dan menggenggam batangku yang sedang keras. Tangan Ana pun juga merayap ke bawah dan bertemulah dua tangan dari mahluk yang berbeda. Kedua tangan itu berbagi tempat mencengkeram batangku.
Aku sudah tidak memperhatikan tangan siapa ada dibagian mana. Yang kurasakan seluruh bagian kemaluanku diremas-remas. Aku mencium mulut Ana. Ana membalas dengan sedotan dan permainan lidah yang hot. Selepas itu aku berpaling dan berganti mencium Dewi. Dia juga tidak kalah hot, karena mungkin sudah terbakar birahi.
Ana yang kutinggal, dia bangkit dan mengambil posisi di antara kedua kakiku.. Ana mengulum penisku. Tangan kiriku yang leluasa segera menggamit memek Dewi dan meremas-remas lalu memainkan clitorisnya. Menerima serangan di clitoris, Dewi melepaskan ciumannya . Dia mengubah posisi telentang. Aku berusaha membebaskan tangan kananku dari tindihan Dewi dan tangan kanan mendapat tugas baru menggantikan peran tangan kiri. Dewi semakin tinggi terangsang karena clitorisnya aku putar-putar dengan jari tengahku. Dewi kemudian bangkit dan duduk bersimpuh dengan kedua lutut dilipat. Dia duduk menghadap ke wajahku dan memeknya di aturnya dekat ke mulutku. Aku tahu, Dewi ingin dioral. Dewi memang paling senang dioral. Dia pernah memujiku bahwa oralku jauh lebih enak dari yang dilakukan pacarnya. Pacarnya katanya suka menggigit karena gemas. Kalau sudah begitu rangsangan jadi sirna berganti rasa sakit katanya. Sementara aku dipujinya mengerti menyentuh tempat yang tepat dan gerakan lidahku katanya lebih halus.
Kedua tanganku memeluk paha kiri kanannya membantu posisi Dewi agar dia bisa menempatkan memeknya tepat di hadapan mulutku. Dewi duduk agak condong kebelakang. Kedua tangannya menopang kebelakang.
Sementara aku sedang memusatkan perhatian mengoral Dewi, aku tidak terasa Ana mengoralku lagi. Aku merasa tangannya mencengkeram batangku dan beberapa saat kemudian Ujung penisku dipadukan dengan gerbang memeknya. Sambil mengoral aku mengira-kira posisi Ana menyetubuhiku. Setelah dia melakukan gerakan aku baru bisa memastikan bahwa Ana bukan membelakangiku. Mungkin dia duduk bersimpuh juga. Gerakannya yang kurasakan adalah maju mundur, sehingga penisku serasa diperah.
Mereka berdua saling mendesis. Aku tidak bisa bergerak, karena menahan berat badan kedua cewek. Gerakan Ana makin terasa hot, sementara oralku ke Dewi juga semakin terfokus pada clitorisnya. Pada posisi ini sebenarnya aku ingin memasukkan jariku ke memeknya, tetapi tidak ada ruang untuk tanganku. Jadi hanya lidahku saja yang bermain di memek Dewi. Dewi tiba-tiba berhenti menggelinjang, mungkin dia sedang memusatkan diri menjelang orgasme. Benar juga sesaat kemudian dia mengeluh panjang sambil menarik kepalaku merapat ke memeknya. Bukan hanya mulut yang terbekap, hidungku juga tertutup gundukan memek Dewi yang berambut keriting. Setelah kedutan orgasmenya agak reda aku berusaha melepaskan mulut dan hidungku dari bekapan Dewi. Aku hampir kehabisan nafas.
Ana yang makin hot memompa. Sementara Dewi mengubah posisinya tidur telentang disampingku. Sepertinya dia ingin beristirahat setelah mencapai puncak kenikmatan. Ana masih terus menggenjot. Mungkin sudah 5 menit sejak Dewi tadi orgasme baru Ana mendapat Orgasme.
Sementara aku belum apa-apa. Masalahnya hari-hari sebelumnya aku sudah kenyang dengan Ita, sehingga nafsuku tidak menggebu-gebu. Aku lebih mampu menahan diri. Apalagi posisiku di bawah, maka aku makin bisa bertahan lama.
Setelah mencapai orgasme, Ana menjatuhkan diri telungkup di atasku sejenak. Setelah itu dia bergeser tidur telentang disampingku.
Meski gelap, aku bisa juga melihat sosok Ana yang tadi mengadukku diatas. Tidak terlalu jelas memang, tetapi dengan bantuan ilmu kira-kira, adegan yang berlangsung di atas badanku cukup jelas terlihat.
Mungkin Dewi juga melihat Ana mengadukku. Buktinya setelah Ana turun dari badanku, aku ditariknya agar menindih badannya. Aku segera paham apa yang diinginkannya. Dia ingin disetubuhi juga. Tanpa melakukan foreplay lagi aku segera manancapkan penisku ke memek Dewi. Kenikmatan orgasme Dewi yang pertama tadi mungkin belum sirna, karena begitu ku genjot dia langsung mendesis dan agak mengerang. Aku mencari posisi yang paling bisa merangsang organ Dewi. Setelah kudapatkan posisi itu dengan membaca respon yang ditunjukkannya aku bertahan di posisi itu. Cukup 5 menit saja Dewi sudah mendapatkan orgasmenya. Dia memelukku erat-erat, sampai semua orgasmenya terlampiaskan.
Setelah reda kucabut batangku dan aku kembali ke posisi semula tidur telentang diantara mereka berdua. Belum habis aku menikmati jeda istirahat, Ana pula sekarang yang merengkuhku agar menindih dirinya. Dia mungkin terangsang menyaksikan adegan permainan ku dengan Dewi.
Aku bukan ingin berlebihan dan menjagokan diriku, tetapi sesungguhnya aku masih tegang bahkan belum ada tanda-tanda mendekati ejakulasi. Inilah kalau terlalu hot bermain sebelumnya dengan Ita. Sebelum marathon bersama Ita, malam-malam sebelumnya setiap malam aku selalu berpindah-pindah kamar. Bisa dikatakan tiada hari bagiku tanpa bersetubuh. Pelayananku di rumah ini cukup banyak mulai dari Bu Rini pemilik kost, Mbak Ratih, Kristin, Ita , Nia dan kedua mereka ini. Kedua mereka ini termasuk paling jarang kutiduri. Dewi mungkin 2 minggu lalu, Ana malah mungkin sebulan yang lalu.
Kembali ke Ana, aku tanpa basa-basi lagi langsung memompa Ana. Seperti juga Dewi aku berusaha mencari posisi yang paling menyenangkan bagi Ana. Setelah mendapat posisi itu, aku tidak perlu bekerja terlalu lama, Ana sudah mencapai orgasme. Dia menghentikan genjotanku dengan menarik badanku rapat-rapat. Batangku menikmati sensasi kontraksi memek Ana dan cairan hangat menyelimutinya. Setelah orgasmenya reda aku kembali istirahat dengan badan basah berkeringat.
Aku berpikir kepada siapa nanti akan kulampiaskan orgasmeku, padahal badanku sudah lelah sekali dari tadi push-up terus. Tapi penisku tidakmau kompromi dia tetap tegak. Sementara aku masih menerawang, tiba-tiba batangku digenggam. “ Ih hebat banget nih belum juga kendor dari tadi,” suara Dewi terdengar. Berarti tangan itu adalah tangan Dewi.
Dia kembali menarik badanku untuk menindihnya. Dia minta disetubuhi lagi. Aku berpikir, Dewi tadi makan apa kok jadi hot banget begini. Dengan sisa tenaga yang ada aku kembali melayaninya . Tapi tubuhku sudah tidak kuat lagi untuk push-up. Kutarik tubuh Dewi untuk berganti posisi menjadi di atasku. Dewi menurut dan mengambil posisi yang nyaman lalu dialah sekarang yang aktif. Dia segera saja mendapat orgasme. Ketika dirubuhkannya badannya ke tubuhku dan otot vaginanya berkontraksi maka aku segera membalikkan badannya dan segera kugenjot. Aku tidak memberinya masa istirahat dan langsung dalam keadaan vaginanya masih berkedut kugencot sekeras-kerasnya. Dewi menjerit tertahan-tahan. Aku begerak makin buas sampai akhirnya dia menjerit keras sekali lalu ditutupkan bantal di wajahnya untuk meredam teriakannya. Dewi kelihatannya mencapai orgasme yang sempurna.
Aku puas tapi belum juga muncrat. Ana yang menonton kami sambil dia duduk bersila memeriksa penisku. “Wuihhh masih keras juga, hebat amat,” katanya.
Aku ditariknya sehingga terduduk dengan kaki lurus. Aku tidak bisa menduga apa yang dia mau. Ana berdiri dan duduk dipangkuanku sambil memelukku. Memeknya diturunkannya sampai menelan penisku. Dia kembali terangsang melihat Dewi danaku bermain kasar. Apalagi Dewi selama persetubuhan berteriak kecil terputus-putus sampai akhirnya berteriak nyaring.
Ana memaju-mundurkan pinggulnya sehingga menimbulkan efek gerakan mengaduk batangku. Dia mendesis-desis menikmati hunjaman barangku yang masih keras . Makin lama, terakannya makin cepat dan liar karena iramanya jadi tidak menentu, sampai akhirnya dia memeluku keras sekali dan vaginanya berdenyut. Seperti juga Dewi aku tidak memberi kesempatan dia menikmati orgasmenya. Kudorong badannya sampai dia terlentang dan segera kugenjot dengan gerakan-gerakan kasar. Karena diberi waktu beristirahat sambil duduk, tenagaku masih lumayan yang tersisa. Aku terus menghunjam dengan gerakan cepat dan panjang.
Ana tidak lagi mendesis, dia mengeluarkan suara yang tertahan-tahan. Kedengarannya seperti mengucap huruf A ber kali-kali. Irama pengulangan teriakannya seirama dengan gerakanku. Setiap aku menghunjam dia menyebut A. Makin cepat gerakanku makin cepat pula irama teriakannya. Sampai akhirnya dia berteriak panjang tetap dengan suara A. Teriakannya keras membuatku gugup. Karena di dekat situ tidak ada bantal maka kucucup saja mulutnya. Dibekap mulutnya oleh mulutku pun dia masih berusaha berteriak. Tetapi suaranya tidak keluar, teredam oleh mulutku. Aku menciuminya dengan ulah yang ganas sampai dia lemas terkulai.
Sejak tadi perasaan yang menyelimuti diriku adalah kebanggaan sebagai laki-laki yang super. Sekarang berbalik aku cemas, karena burungku tidak juga surut, dan sulit sekali mencapai orgasme. Yang kucemaskan, seandainya batangku tegang terus sampai besok. Kalau dibawa ke dokter, rasanya malu luar biasa. Apalagi menjawab pertanyaan dokter, “Apa keluhannya……….”
Ah bagaimana nantilah, yang ada rasa badanku sudah letih luar biasa dengan keringat membasahi semua pori-pori badanku. Aku bangkit dan mencari handuk untuk mengeringkan badanku.
“Hebat amat anak ini ya, tadinya mau kita perkosa, kejadiannya malah kita yang diperkosa, ” tanya Dewi.
Rupanya kedua cewek ini sudah punya rencana ketika hijrah tidur ke kamarku. Pantas aja ketika kutawari tidur telanjang mereka langsung setuju.. “Rasain punya rencana nggak terus terang, jadinya kalian yang merasa akibatnya,” kata ku.
“Biarin aja enak kok, “ kata Dewi.
Kulihat ana sudah terbujur di posisinya semula malah sudah mendengkur. Aku mengambil posisiku dan langsung mencari PW (posisi uwenak). Sampai keesokan harinya ketika aku bangun mereka berdua sudah tidak ada. Aku segera memeriksa barangku. Dia masih tegang, tetapi sekarang posisinya sedang sesak kencing. Setelah kulampiaskan hasrat kencingku, pelan-pelan penisku melemas. Aku lega…
*********

Harem 6

Punya banyak sasaran genjotan kalau di alam khayal rasanya nikmat banget, tapi mengalaminya di alam nyata tidak begitu. Meski aku sudah menelanjangi mereka , tetapi aku tetap menjaga perasaan mereka, sehingga aku menjaga diri untuk tidak mengambil inisiatif. Aku berusaha tampil lugu, bahkan cenderung culun.
Kelihatannya mereka masing-masing tau kalau aku sudah bermain di antara sesama kolega. Tapi karena konvensi, atau perjanjian yang tidak tertulis, mereka saling menjaga perasaan.
Namun ada hal-hal yang tidak bisa mereka tutupi atau tidak sadar melakukannya. Aku sering kali dilendoti diciumi (walaupun hanya di pipi). Entah kenapa setiap hari di awal pertemuan mereka selalu menciumku.
Aku jadi merasa rikuh kepada Juli, Ita dan Niar. Mereka tentunya tidak bisa seakrab teman-temannya yang pernah aku timpa. Mohon juga dipahami, aku tidak pula berusaha bernafsu menggarap mereka bertiga. Apakah jika aku bisa menggarap semua wanita di tempat kost ini aku bisa menepuk dada sebagai jagoan. Mau pamer ke siapa, lantas apa pula manfaatnya. Kurasa itu hanya kesombongan yang tidak bisa dibanggakan.
Sesungguhnya aku tidak ingin membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan pertemanan di rumah ini, antara yang sudah ku garap dengan yang belum. Aku berusaha akrab dengan semuanya tanpa membedakan mereka. Cewek-cewek di rumah ini masing-masing punya kelebihan, meski pun cantik dan ayunya berbeda-beda. Aku jamin lelaki siapa pun kalau disuruh memilih satu diantara mereka untuk dipacari pasti bingung. Sebab memang semuanya menarik.
Juli, Ita dan Niar termasuk gadis-gadis yang gila kerja. Di usia mereka sekitar 25 tahun, mereka mungkin sedang berada di jenjang karir yang menjanjikan. Dari penampilannya, terlihat gaji mereka cukup besar. Dulunya mereka kuliah di akademi sekretaris yang ku ceritakan diawal kisah ini, tetapi karena merasa betah, sampai setelah bekerja pun mereka tetap bertahan di kos-kos ini.
Di antara ketiga orang ini Ita yang mempunyai kelebihan daya tarik. Susunya besar sekali, seperti tidak seimbang dengan tubuhnya yang cenderung kurus. Temanku orang Jawa menyebutkan penampilan Ita sebagai Wongso Subali (Wong e Ora Sepiro, Susu ne sak Bal Voli / Orangnya tidak seberapa, tetapi payudaranya sebesar bola Voli). Kulitnya tidak putih cenderung sawo matang. Tingginya sekitar 160, cukup tinggi bagi rata-rata cewe melayu. Namun di balik kelebihannya itu,dia mempunyai kekurangan. Ketiaknya baunya kurang sedap, seperti bawang mentah. Apalagi kalau dia berkeringat, satu ruangan seperti terpenuhi oleh bau ketiaknya. Cewek-cewek yang kebetulan berada di ruangan itu, sebentar-sebentar menggesekkan hidung. Tapi Ita sepertinya tidak merasa, dia menjadi penyebab sumber polusi udara.
Mungkin tidak ada yang berani menegur, Ita. Masalah itu rasanya terlalu sensitive. Untungnya Ita tinggal di kamar sendiri, tidak berbagi (share) dengan yang lain.. Kalau dia joinan sekamar dengan orang lain, pasti temennya mabuk kepayang .
Aku berpikir keras mencari cara untuk menyampaikan kekurangannya. Kesulitan yang kurasakan adalah Ita orangnya agak tertutup dan cenderung pendiam. Dia lebih sering mengurung diri di kamarnya daripada ngrumpi.
Suatu hari kami keluar dari rumah bersamaan menuju halte bus. Jaraknya halte memang tidak begitu jauh, karena ada jalan pintas melalui gang. Kami ngobrol tanpa isi, tetapi menjelang sampai halte aku melontarkan, “ Ta sebenarnya gue pengin nyampein sesuatu yang sangat penting untuk kamu.”
“Apa sih, sekarang aja kenapa, “ jawabnya dengan wajah penasaran.
“Ntar aja lah, Ntar malam di rumah, pokoknya penting banget buat kamu,” kataku.
Meski dia berkali-kali mendesak agar aku menceritakan secuil info yang akan aku sampaikan nanti, tapi aku tetap bertahan bahkan menambahkan kata-kata yang makin bikin dia penasaran.
Kami berpisah, karena bus kami masing-masing berbeda jurusan. Di dalam bus aku seperti orang melamun. Sebenarnya bukan melamun, tetapi sedang menyusun kata-kata yang nanti akan kusampaikan ke Ita. Aku pun masih belum menemukan kata pembuka.
Aku pulang agak telat, jam 8 malam aku baru sampai di rumah. Ita rupanya sudah sampai duluan. Dia melihatku sekelebat, ketika aku hendak naik ke kamar ku. Aku diburunya dan dia mengekori ku ikut masuk ke kamar.
“ Mau ngomong apaan sih, gua jadi nggak tenang kerja seharian, gara-gara lu ,” Ita mengkomplain.
Sebenarnya bagi gue nggak terlalu penting, tapi buat kami rasanya penting banget. “ Wah ini kata-kata tidak pernah kupikirkan sebelumnya, kok meluncur begitu aja,” kataku dalam hati.
“ Gini lho Ta, kamu ini kan cakep, seksi, montok lagi,” kata ku menggoda.
“ Ya terus kenapa,” katanya sambil matanya melotot seperti mau menelan ku.
“Tapi ada kekurangan kecil yang sangat mengganggu,” kata ku lalu aku diam.
“Apaan sih bikin orang tambah penasaran,” katanya.
“Aku mau jujur, tapi kamu mesti janji jangan marah dan jangan tersinggung ya, karena ini demi kamu juga,” kata ku.
Ita makin kesal dan dia berjanji tidak akan marah pada ku.
“Terus terang ya, kamu ini punya kelemahan di bau badan mu, rasanya sih bersumber dari sini, kata ku menunjuk ketiaknya.
Ita tertunduk. “Iya Jay, aku sudah berusaha dengan berbagai cara bahkan pakai bedak badan yang anti bau badan, tapi gak berhasil juga. “
“ Aku malu jadinya Jay ama kamu, tapi anyway aku terima kasih, kamu berani terus terang begitu, kamu tau nggak caranya untuk ngilangi bau ketiak ku ini,” tanyanya.
Aku menjelaskan bahwa aku dulu juga menghadapi masalah seperti itu. Aku kemudian menggunan tawas yang kuusapkan setiap kali selesai mandi. Ketika sedang mandi, aku selalu membawa handuk kecil untuk menggosok bagian ketiak sampai terasa benar-benar bersih. Aku meminta Ita mengikuti cara ku.
“Tawas kayak gimana sih, belinya dimana tuh,” katanya.
Aku lalu menjelaskan bentuk tawas yang seperti es batu, dan belinya di toko kembang di Senen biasanya ada. Aku menawarkan diri untuk membelikan satu untuk dia. Ita senyum-senyum. “ Terima kasih ya Jay, kamu ternyata sahabatku yang penuh perhatian.,” katanya sambil mencium pipiku.
“Aduh aku mabuk nih,” sambil menjatuhkan diri telentang ke tempat tidur.
“Hah kenapa,” katanya terheran-heran.
“Bau ketiak,” kataku serius.
“Sialan lu, dasar brengsek, “ katanya lalu keluar kamar ku.
Anjuranku rupanya dituruti, sampai seminggu kemudian aku bertemu lagi di rumah. Ketika berpasasan kami sama sama berhenti. Aku langsung berusaha membaui badannya dan hidungku menuju ke kesalah satu ketiaknya. Tidak terasa ada bau. “Ah lu ngapain sih bikin orang risih aja,” katanya sambil mendorong badanku..
“Sekarang nggak terasa ada bau bawang lagi Ta,” kataku setengah bercanda.
“ Iya nih kayaknya reseplu berhasil, resep murah tapi hebat juga ya Jay,” katanya.
Sejak saat itu Ita sudah tidak menjadi sumber polusi di rumah kami. Teman-teman ceweknya saling bergunjing. Juli yang hari itu melihat aku membaui ketiaknya menanyakan aku apakah itu karena aku memberinya obat. Kuakui bahwa aku yang menegurnya soal bau ketiak, Kristin yang duduk di samping Juli langsung menanggapi, “Emang kamu terus terang ngomong ama diam gila lu nekat amat,” katanya.
Mbak Ratih tanya, “ terus dia gimana reaksinya,”
“Ya dia malu, tapi nggak marah kok,” kata ku.
Ita sejak keberhasilan itu makin dekat dengan ku. Aku bahkan sering dijadikan tong sampah untuk mengeluarkan isi hatinya. Aku sering digelandang ke kamarnya hanya untuk jadi pendengar. Kadang kadang dia menangis dan bersandar di dadaku sambil meluapkan kekesalannya. Meski aku lebih muda, tapi kalau menghadapi situasi seperti ini harus berperan sebagai laki-laki dewasa, sok tenang, sok kalem dan berlagak sebagai pengayom.
Kalau dia bersandar di dadaku, tidak bisa lain, teteknya juga menghimpit badanku. Rasanya kenyal sekali dan tebal. Biasanya nih sekali lagi umumnya, kalau perempuan tidak merasa malu payudaranya tersentuh laki-laki maka dia merasa laki-laki itu sangat dekat dengan dirinya.
Kalau dia menangis di dadaku maka aku hanya bisa mengelus-elus rambutnya dan mencium dahinya. Itu saja tidak lebih. Aku tidak berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan. Ini membuat Ita jadi makin dekat denganku, sampai kadang kadang dia memeluk tanganku sampai tanganku menekan susunya. Dia kelihatannya mengabaikan saja susunya tertekan, atau mungkin juga dia sengaja, yang mana yang benar aku cari jawabannya nanti.
Suatu hari aku ditariknya ke teras ke depan rumah. “Jay, aku mau minta tolong banget ama kamu bisa nggak, “katanya.
“Nggak, “ kata ku berusaha bermuka serius.
“Ah jangan gitu dong, serius nih,” katanya.
“Minta tolongnya apa, belum tau aku sudah dikasi pilihan menjawab,” kataku.
“ Lu emang susah, nggak bisa serius orangnya,” kata Ita sambil bermuka merajuk.
“Ada apa tuan putri apa ketiaknya bau lagi, kayaknya sih sekarang malah wangi.,” aku menggoda.
“Aku minta tolong lu nemenin gue menghadiri pesta perkawinan sahabat gue, tapi pestanya di Lampung, lu bisa kan, kita berangkat hari Sabtu pagi, pulang lagi hari Minggu sore,” katanya.
“Kamu kan orang Lampung, kok pulang kampung minta dikawal,” jawabku.
“Rumah gue di Metro, masih jauh dari Bandar Lampung, Lagian kalau gua pulang ke rumah, repot terlalu jauh dan gak bisa nyampe di Jakarta lagi hari Minggu. Pokoknya lu tau bereslah semua biaya gue yang tanggung,” katanya sungguh-sungguh.
“Gue mau lihat agenda gue dulu apa ada acara nggak sabtu sama minggu besok, “ kataku berpura-pura serius.
“Gaya lu kayak pejabat Negara aja, pake periksa agenda, udahlah bisa ya,” Ita setengah memaksaku.
Aku memang tidak ada acara dan tidak ada kuliah sejak Jumat sampai Minggu. Sebenarnya aku tidak keberatan, tetapi rikuh jugalah ama temen-temen kost kalau aku pergi mengawal Ita. Aku minta kepergian kami dirahasiakan. Aku beralasan ke Bandung dan Ita ke Lampung. Ita kemudian mengubah rencana kami berangkat Jumat siang. Dia beralasan ada beberapa hal yang mau dicari di Bandar.
Kami sampai di Lampung sekitar jam 7 sore dan Ita berinisiatif mencari penginapan. Aku tidak mengenal Bandar Lampung, sehingga Italah yang berinisiatif mencari tempat penginapan. Ia mencari Hotel di tempat resepsi perkawinan temannya . Kami akhirnya mendapat kamar di hotel yang lumayan bagus. Kalau tidak salah hotel bintang empat.
Ita hanya mengambil satu kamar untuk kami tempati berdua, tetapi tempat tidur di kamar kami hanya ada satu berukuran king size. “ Kamu kok tidak pesan kamar yang 2 bed, kalau begini kan kita kaya berbulan madu,” kata ku
“ Ah nggak apa-apa lah, hotel ini penuh , syukur kita masih kebagian kamar, lagian ama kamu aja kok, kan kamu itu adikku,” katanya.
“Aku takut ketularan baunya,” kataku.
“Sekarang udah nggak lagi weeeei…., sialan lu ngeledek terus, katanya sambil melempar bantal.
“ Sekarang kita mandi, siapa duluan, lu apa gue,” katanya.
Aku memilih mandi dulu karena agak tersesak bab. Setelah menyulut rokok aku segera masuk kamar mandi mencuci bath tub dan mengisinya dengan air hangat. Aku melampiaskan hajat sambil menunggu air penuh di bath tub. Setelah selesai dan air penuh aku mulai berendam. Pertama airnya tidak terlalu panas, karena aku tidak tahan. Setelah semua terendam, aku tambahkan air panas sampai sangat hangat. Nikmat sekali rasanya berendam di air panas. Entah kenapa batang jadi bangun ketika direndam. Aku jadi menerawang, apa kejadian yang bakal terjadi nanti malam, aku tidur satu bed dengan Ita yang bertetek besar. Rasanya bakal ada peristiwa penting nanti malam. Sejauh ini aku belum pernah mencumbu Ita, meskipun dia sudah sangat dekat dengan ku. Misalnya ia tidak risih lagi menekan susunya ke badan ku atau ke lenganku. Aku selama ini aku cool aja.
Sedang enak-enaknya menghayal tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Ita muncul dengan daster berwarna pink. Buset dah aku lupa menguncinya. Aku jadi kikuk juga sebab sedang telanjang bulat di dalam bak mandi. Ita berdiri di samping bak sambil ngomel, “ mandinya lama amat sih aku udah kebelet pipis, nggak kuat lagi nunggu, katanya sambil terus menurunkan celana dalamnya dan langsung duduk di toilet. Aku tidak menyaksikan pemandangan apa-apa, karena dia menurunkan celana dalam tapi masih tertutup oleh dasternya. Suara mendesis nyaring sekali terdengar,. “ Buset siulannya kenceng bener,” kataku.
Mendengar guruanku dia malu lalu segera menggelontorkan air agar suara pipisnya samar dengan gelontoran air. “ Dasar lu adik bandel, bikin gue malu aja. “ katanya.
“Apa gue nggak lebih malu telanjang begini,” kata ku.
“Enak ya ngerendem begitu, kok gue jadi pengen mandi juga,” katanya sambil mencelupkan tangannya di bak mandi.
“ Ih kok bangun sih tuh barang, lagi ngayalin gue ya, “ katanya setelah tangannya usil masuk ke bak mandi dan menggenggam barangku.
Aku tidak menyangka, sehingga terkejut dan senang juga kemudian.
Ita melepas celana dalamnya sambil duduk di toilet lalu berdiri menyangkutkan di gantungan baju. Dia lalu mengangkat dasternya yang ternyata sudah tidak mengenakan BH lagi. Tanpa ada rasa rikuh dia berdiri menghadapku dalam keadaan bugil. Susunya memang ukuran ekstra large dan putingnya seperti terbenam di dalam gumpalan daging.
Dia mencelupkan kaki satu persatu lalu membungkuk untuk meraih air bagi menciprat-cipratkan tubuhnya. “ Ih panas bener sih airnya, entar telor lu mateng baru tau rasa, “ katanya sambil tersenyum.
Posisinya yang membungkuk menghadapku membuat kedua payudaranya menggantung seperti papaya Bangkok terhidang di depan mataku. Aku dalam posisi duduk di dekat keran, sedang Ita mengambil posisi dihadapanku. Dia pelan-pelan merendahkan badannya sambil cengar-cengir menahan panasnya air. Sampai posisi duduk , teteknya masih terpampang didepanku. Air bak kurang tinggi untuk menenggelamkan susu besar yang seperti pelampung itu.
Ita masih menciprat-cipratkan air panas ke badannya dan meraup mukanya. Ia lalu pelan pelan menurunkan badannya sampai tinggal mukanya saja yang diatas air. Gerakkannya itu menjadikan kakinya menyelusup ke bawah kakiku dan bagian vitalnya menerjang pantatku. Batangku jadi terangkat muncul ke atas air setengah tiang. “Wah teropong kapal selamnya muncul tuh, mau mengamati musuh ya, musuhnya ada di bawah kok,” kata Ita santai.
Dipegangnya batangku lalu ditarik kearahnya, akibatnya badanku jadi lengser kebawah. Pantatku bersetumpu di atas tetek Ita, dan punggungku bersandar di atas kemaluannya dengan jembut yang lumayan lebat. Nikmat sekali rasanya berendam di air hangat dengan cewek yang teteknya super besar. Setelah berendam sekitar 10 menit aku kemudian berdiri untuk bersabun. Pertama aku menyabuni diriku sendiri. Ita ikut bangkit dan celakanya dia minta aku menyabuni dirinya. Aku meski dalam keadaan siaga satu, karena batangku terus menegang, dengan gaya cool mulai menyapukan tangan dengan sabun. Dimulai dari bahu, turun ketangan kanan, lalu kiri dan…… mulai lah menyabuni teteknya kiri kanan. Susunya kenyal banget. Aku permainkan dengan meremas, tetapi tanganku tidak muat. Setelah itu turun ke bawah sampai ke perut lalu aku minta ia berbalik badan. Punggung dan pantatnya giliran berikutnya sampai turun ke kaki, lalu kuminta berbalik lagi kini kaki bagian depan lalu naik ke bagian vitalnya. Kugosok jembutnya sampai berbusa lalu aku menyelipkan jariku ke memeknya. Dengan gerakan mendadak jari tengahku menyelinap ke dalam lubangnya lalu segera kucium jari itu. “ Bau sabunnya kalah sama bau anu mu,” kata mengejek.
Ita gusar dan malu, “ sialan lu, memek gua gak bau lagi, sok tau lu,” katanya sambil ikut meraih memeknya sendiri lalu menciumnya.
“Benerkan, bau sabunnya ilangkan, yang ada bau kecap ikan,” kata ku kembali mengejek.
“Eh iya bener juga,” katanya malu.
Aku lalu kembali menyabuni memeknya sampai ke lubang pantatnya. Bagian penting itu terbelai , akibatnya Ita mendesis. “ ooiii sedapnya, kata Ita sambil meraih badanku dan memeluknya. Badan kami licin sekali dan karena air untuk kami berendam tadi aku buang akibatnya bak mandi juga jadi sangat licin. Khawatir jatuh aku mengajak Ita untuk pelan-pelan duduk.
Badan kami masih berselemak sabun tetapi air sudah mengering. Aku menawarkan untuk kami saling melakukan body massage. “ Gimana caranya kata Ita.
Ita kuminta tidur telentang dan aku tengkurap diatasnya. Aku meluncur ke atas dan kebawah. Menggosokkan batang dan jembutku ke perut dan dada Ita. Setelah itu aku mengambil posisi telentang di bawah badannya dengan posisi kepala berlawanan arah. Aku kembali meluncur ke atas dan ke bawah, sehingga batang dan jembutku menyapu dan mengganjal pantat dan punggungnya. “ Iiiih sedapnya merangsang banget ya,” katanya sambil terus mendesis.
Ita kemudian kuminta mengubah psosinya jadi tengkurap. Sehingga kami berhadapan tetapi dengan arah kepala yang berlawanan. Aku kembali menaik dan menurunkan badanku mengganjal tubuhnya. Ita tidak tinggal diam, dia juga ikut melakukan gerakan berlawanan. Batangku kadang-kadang terselip diantara kedua pahanya lalu terlepas lagi, tapi tidak sampai terpeleset masuk ke dalam lubang vaginanya.
Posisi ini membuat nafsuku tambah tinggi sehingga akhirnya aku tidak mampu menahan desakan ejakulasi. Aku tak kuasa menahan sehingga cairan putih hangat lepas dan menyapu ke badan Ita. “ Yahhh kamu nggak kuat ya, “ katanya ketika merasa batangku berkedut diantara kedua susunya.
“Enak banget sih, dan susumu itu yang buat pertahanan gua jebol,” kata ku.
Kami lalu mandi berbilas dan mengeringkan badan dengan handuk. Aku digandengnya keluar kamar mandi. Kami berdua jalan dalam keadaan bugil. Aku di dorongnya hinga jatuh telentang di kasur. Aku yang merasa lemas setelah tembakan tadi, tidur telentang pasrah. Ita mengambil inisiatif dengan menindih badanku. Dia mencium bibirku dan kami lama sekali berpagutan.
Ita melepas ciumannya dari mulutku dia turun kebawah dan menghisap pentil ku. Rasa geli dan nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Ita terus meluncur ke bawah dan sekitar kemaluanku diciuminya dengan rakus. Batang dan zakarku tidak diciumnya, tetapi dia turun menciumi paha lalu kedua lututku. Aku merasakan kegelian yang amat sangat sampai aku menggelinjang. Mengetahui aku kegelian dia mengarahkan ciumannya ke atas dan batangku menjadi sasarannya kemudian. Batangku yang masih setengah sadar di lahapnya dan dihisapnya. lalu dijilatinya. Kaki ku ditekuk dan jilatannya turun ke kedua buah zakarku lalu turun lagi lidahnya mengitari lubang matahari.
Aku menggelinjang nikmat. Dia kembali mengulum batangku sampai menjadi sadar dan tegak penuh. Kuluman Ita sungguh canggih, sehingga aku kelojotan merasa nikmatnya. Untungnya tadi sudah mencapai puncak, sehingga aku mampu menahan diri agar tidak buru-buru muncrat lagi.
Ita membalikkan badanku dan aku dimintanya berganti peran menyerang dirinya. Aku segera paham dan memulai tugasku dengan mencium leher lalu kedua payudaranya. Agak sulit rasanya menghisap pentilnya karena terbenam. Kutelateni menghisap pentilnya sampai akhirnya keduanya mencuat keras.
Puas dengan menjilat dan meremas kedua susunya aku turun ke perut lalu ke memeknya. Bulu lebat dan keriting membuat aku agak sukar menemukan belahan memeknya. Dengan bantuan kedua tanganku, kusibak dan lidahku menyerbu ke belahan itu. Aku memulainya dengan menjilati sekitar bibir luar, bibir dalam lalu mengarah ke clitorisnya.
Memeknya yang tadi kering setelah kuhanduki, kini sudah basah lagi oleh cairan pelumas vaginanya. Baunya wangi seperti bau sabun. Saat lidahku menggapai clitorisnya Ita menggelinjang dan pinggulnya bergerak liar. Aku jadi sulit mengkosentrasikan jilatanku. Aku lalu menahan kedua pahanya agar tidak liar.
Serangan ujung lidahku berkosentrasi pada clitoris Ita yang sudah makin mencuat. Dia mendesah-desah dan tidak sampai 5 menit dia tumbang dengan orgasmenya yang pertama. Dia minta aku berhenti mengoralnya karena katanya barangnya ngilu. Aku bangun dan duduk bersimpuh diantara kedua kakinya. Jari tengah kanan pelan-pelan kucolokkan ke vagina Ita. Kucolok-colok ke lubang basah itu dan aku seperti sebelumnya dengan para wanita, mencari benjolan G spot. Tombol g spot Ita mudah ditemukan, sehingga kini gerakan jariku berkosentrasi pada tombol itu. Gerakan halus mengusap g spot itu membuat Ita kembali mendesis. Dia lalu tidak hanya mendesis tetapi mengangkat angkat pinggulnya. Usapanku jadi meleset. Aku minta Ita menahan gerakannya agar dia merasa lebih nikmat.
“Aduh kok enak banget sih Jay, lua apain gua,” katanya sambil menggigit bibir bawahnya. Dia berusaha melawan nikmat yang menjalar dari dalam vaginanya, tapi belum 2 menit dia mengeluh panjang dan berusaha mengapit kedua kakinya, namun terhalang oleh tubuhku. Kedua tangannya meraih bantal lalu ditutupkanke mukanya dan dia menjerit sekuat-kuatnya dibawah bantal. Bersamaan dengan itu Ita ejakulasi sampai mengenai hidung dan mulutku. Kujilat cairan itu di bibirku terasa agak asin dan kental.
Orgasmenya panjang dan Ita kemudian jatuh terkulai. Badannya bagai tak bertulang. “Aduh badan gua lemes banget,” katanya seperti orang ngantuk. Sementara dia lemas aku tegang.
Tanpa minta izin dan mengatakan sesuatu aku segera mengarahkan batangku menuju lubang vaginanya. Dalam posisi bersetumpu kaki terlipat, batangku kutekan pelan menyeruak vaginanya. Lubang memeknya terasa sempit, meskipun banjir. “Aduh Jay pelan-pelan Jay,” katanya.
Aku dengan sabar menekan penisku masuk kedalam gua nikmat itu. Setelah tenggelam seluruhnya aku mulai melakukan gerakan maju mundur. Sensasi menyaksikan gerakan maju mundur batangku ke dalam memeknya membuat aku sangat terangsang. Apalagi Ita mulai mendesis dan bergumam, ah uh au uh.
Aku makin bersemangat, tetapi karena posisiku sulit lama-lama jadi kurang nyaman kemudian aku mengubah posisi menindih badannya. aku bersetumpu di kedua lutut dan kedua sikuku. Pada posisi ini aku leluasa memompa badan Ita. Aku tidak perduli lagi apa dia nikmat atau tidak, tetapi aku berkonstrasi pada kenikmatan diriku. Semakin cepat kupompa, semakin dia mengerang . Belum aku sampai pada puncak Ita sudah menarik rapat badanku dan dia kembali berkedut bagian dalamnya. Ita kembali menikmati orgasme yang dahsyat. “Aduh aku rasanya gak kuat nglawan kamu Jay ,” katanya.
Aku diam saja dan kembali menggenjot, karena pencapaianku tadi tanggung. Aku kemudian menjelang puncak dan beberapa saat akan mencapai puncak kutarik batangku keluar dana air maniku ku lepas di atas perutnya.
Aku rebah disampingnya dan badanku terasa lelah. Kami tertidur entah berapa lama sampai terbangun karena merasa dingin. Aku bangun dan ke kamar mandi mengambil handuk kecil membasahinya dengan air hangat. Handuk itu kusapukan ke tumpahan maniku di perut ita. setelah aku sebelumnya mebersihkan penisku dengan air dan sabun..
Kami kembali tidur di bawah selimut. Bed cover yang tadi terhampar sudah kumasukkan ke dalam lemari. Belum lima menit aku berbaring, Ita bangun “ Jay laper ya,” katanya.
Aku juga merasakan yang sama. Ita kemudian bangun dan ke kamar mandi. Dia kedengarannya mencuci alat vitalnya dan juga mungkin sekalian pipis.
“ Kita cari makan diluar yuk, di hotel kurang enak, di dekat sini ada ayam goreng yang enak, “ katnya.
Kami lalu berkemas. Ita mengenakan celana jean, kaus hitam dan dibungkus lagi dengan jaket. Sementara aku kembali mengenakan jean yang kukenakan tadi hanya mengganti T shirt.
Kami turun dan keluar hotel. Sekitar 5 menit jalan menyeberang, kami menemukan tempat ayam goreng yang dimaksud Ita. Jam sudah menunjukkan 11 malam, tetapi warung tenda ayam goreng itu ramai sekali.
Perut kenyang badan terasa hangat. Keinginan sex sudah terpenuhi, apalagi yang kurang. Sekembali kami ke Hotel Ita mengajakku duduk di coffe shop. Disitu ada live music. Ita menawarkan bir yang tentu saja tidak bisa ku tolak..
Nikmat sekali cairan bir itu membasahi kerongkonganku. Kata orang nikmatnya minum bir itu adalah pada tegukan yang pertama. Ternyata memang benar. Satu botol besar kuhabiskan berdua dengan Ita, namun dia hanya minum segelas. “Gaul juga anak ini,” batinku.
Ita menawariku tambah dengan satu botol kecil bir hitam. kata dia bagus untuk stamina. Menyimak stamina, aku lalu menyetujuinya. Rasa pahit bir hitam itu menjadi nikmat karena syaraf perasaku terpengaruh hasutan “demi stamina”.
Kami kembali ke kamar sekitar jam satu malam. Mata mulai mengantuk dan lelahnya badan yang tadi tidak terasa kini menumpuk. Mataku seperti sudah mau terkatup saja. Sesampai di kamar aku melepas celana jean dan t shirt, tinggal celana dalam lalu menyusup ke dalam selimut. Ita masih sibuk di kamar mandi. Aku segera terlelap. Mungkin ada satu jam aku tertidur lalu terjaga karena merasa dipeluk Ita. Dalam keadaan antara tertidur dan sadar aku merasa Ita memelukku dalam keadaan telanjang di bawah selimut. Susunya yang besar menekan badanku dan jembutnya yang tebal menempel di pahaku.
Situasi itu membuatku pelan-pelan kembali tersadar dan bangun seutuhnya. Penis ku pelan-pelan bangun, tetapi badanku lelah sekali. Apalagi pengaruh bir tadi mengendap di otakku. Aku kembali jatuh tertidur.
Entah sudah berapa lama aku tertidur sampai aku merasa badanku dingin oleh tiupan AC. Kamar telah gelap, cahaya hanya ada dari lampu di gang di depan kamar mandi. Aku membuka sedikit mataku dan memperhatikan sekeliling. Ita ternyata sedang menyedot batangku. Dia tidak tahu kalau aku sudah terbangun. Aku berusaha menahan reaksi rangsangannya dengan menahan suara.agar disangka masih tidur.
Karena sedotan yang maut, barangku jadi keras sempurna. Ita lalu bangkit dan didudukinya batangku. Pelan pelan diarahkan batangku ke dalam mekinya sampai ambles sepenuhnya.
Dia mengendalikan persetubuhan dengan gerakan-maju mundur kadang kala naik turun. Sesekali batangku terlepas karena dia terlalu hot menaikkan badannya. Tapi ia segera kembali memasukkan batangku ke dalam tubuhnya. Aku tetap bertahan pura-pura tidur, Mungkin 15 menit atu mungkin lebih Ita mulai mencapai orgasmenya. Sementara aku karena gaya gravitasi merasa mampu bertahan lama.. Barangku tetap tegak sempurna, sementara Ita sudah berkedut-kedut. Setelah istirahat hampir 5 menit Ita kembali menggenjot batangku. Dia ternyata tangguh juga. Pemandangan di depanku sulit untuk diabaikan, tetek yang bergoyang adalah atraksi sangat menarik. Aku mengintip guncangan tetek besar dihadapanku. “Kalau aku tidak berperan pura-pura tidur, pasti sudah kuremas-remas gumpalan daging besar itu. Tapi apa boleh buat, aku sudah memilih peran tidur.
Ita kembali bersemangat memompa apalagi menjelang orgasmenya dia bergerak tidak karuan. Aku jadi spaning juga hingga mendekati titik orgasme ku. Karena aku pura-pura tidur maka aku tidak boleh bereaksi, sehingga aku pasrah saja ketika akhirnya ejakulasi lepas di dalam memeknya. Kedutan ejakulasiku menambah semangat Ita karena rupanya dia juga orgasme dan rubuh memelukku.
“Ih kamu sadis deh, pura-pura tidur lagi, sampai aku cape menggenjot,” katanya.
“Abis enak banget sih, lagian kenapa juga gak bangunin aku dulu baru adekku,” kataku sambil tersenyum.
Ternyata sudah jam 7 pagi. Kamar kami gelap karena korden tertutup rapat. Kami lalu mandi berdua dan berkemas untuk turun menikmati breakfast. Badanku terasa segar dan ringan.
Selesai breakfast kami kembali ke kamar. Hari itu tidak ada acara,kecuali jam 7 malam nanti menghadiri resepsi perkawinan temannya. Ita mengajakku jalan-jalan ke kota. Kami makan siang di restoran Padang. Aku penggemar makanan enak, masakan Padang ini rasanya nikmat sekali, melebih yang pernah ku makan di Jakarta. Selesai menyantap dua piring nasi, Ita menyarankan aku untuk mencoba teh telur. Kata dia bagus untuk meningkatkan vitalistas pria. Teh yang diaduk bercampur telur tampak sangat berbusa. Panasnya teh tidak lagi terlalu terasa, tetapi rasanya seperti teh susu dan gurih telur. “Lumayanlah untuk mengisi stroom,” kataku dalam hati.
Kami kembali ke hotel untuk istirahat. Maksudnya memang istirahat, tetapi kejadiannya malah bekerja keras. Kami terlelap kembali dan bangun menjelang pukul 6 sore. Kami lalu berkemas untuk menghadiri acara perkawinan teman akrab Ita.
Tidak ada yang istimewa dalam acara pesta perkawinan itu. Aku kurang berselera, mungkin karena lelah setelah berkali-kali bertempur.
Minggu pagi kami mempersiapkan diri untuk kembali ke Jakarta Sebelumnya masih ada pertempuran seru satu ronde. Disebut seru karena panjang dan heboh p;eh suara Ita. Dia tergolong wanita yang berisik jika melakukan hubungan intim. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur saja. Anehnya sejak berangkat dari Lampung sampai kembali ke Jakarta, penisku tidak sekalipun bangun mengeras, meskipun dalam keadaan terdesak kebelet pipis .Tiba di Jakarta sudah sore dan aku menunda kepulangan ke tempat kos sekitar 1 jam.
*********