Kamis, 14 Februari 2013

Harem 8

Selama ini aku melihat cewek hanya dari sosok luarnya. Setelah aku tinggal bersama 8 cewek plus satu janda pemilik kost, aku baru menyadari bahwa sosok luar tidak bisa memberi gambaran sepenuhnya mengenai siapa dia sesungguhnya. Pengalaman mengajarkan cewek yang kelihatannya alim, ternyata di balik itu dia ganas di tempat tidur. Perempuan yang sok gengsi dan sangat jaim, di balik itu dia sangat bernafsu. Ada pula yang kulihat mesra banget sama cowoknya dan jauh dari kesan bisa diselingkuhi, ternyata juga suka selingkuh. Kesimpulanku, jangan mudah kagum melihat penampilan seorang wanita betapa cantik dan anggunnya dia.
Mbak Ratih yang semakin akrab dengan ku kadang-kadang membuatku malu. Dia bisa tiba-tiba duduk di pangkuanku di depan cewek-cewek yang lain. Dia memang paling sering minta diservice. Selalu saja ada alasan agar bisa menyeretku ke kamarnya. Kalau sudah gitu aku tak kuasa menolak. Pada awalnya sih dia minta dipijat, tetapi akhirnya minta ditiban juga.
Satu kali Mbak Ratih menarikku masuk ke kamarnya. Kami duduk di tempat tidur. “ Jay aku punya temen, aku kasihan sekali melihat keadaannya. Umurnya seumuran ku, dia pengusaha. Dia sering mengeluh kepalanya pusing sebelah. Kayaknya dia sudah berobat kemana-mana, tapi penyakitnya nggak bisa ilang,” kata Mbak Ratih.
Dia bercerita banyak mengenai temannya itu dan buntutnya dia memintaku untuk mencoba melakukan terapi. “ Aku sudah promosiin kamu lho Jay, katanya dia mau mencoba, kamu mau ya bantu aku dan temenku itu,” pintanya.
Aku berkilah bahwa aku bukan ahli terapi, makanya kalau nanti aku terapi tidak berhasil, mbak Ratih bisa malu. “Mbak jangan berpromosi kelewatan mbak, nanti malah malu-maluin,” kataku.
“Udah lah Jay, aku yakin kamu bisa lah, buktinya di rumah ini semua yang kamu terapi berhasil, kamu berbakat lho, dan kamu bisa kaya dengan hobimu ini,” kata Mbak Ratih sungguh-sungguh.
Setelah ngobrol soal temannya itu, kami keluar kamar. Hari itu adalah hari libur. Para penghuni kost banyak yang pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal munkin sekitar 2 atau 3 orang, aku kurang pasti.
Situasi agak gerah meenjelang jam 11 siang. Bu Rini menghampiri kami yang sedang duduk menonton TV. Bu Rini memanggilku. Aku beranjak mendekati dia. “ Dik bisa minta tolong nggak beliin makanan, si Ijah tadi pagi pulang kampung, Ibu nggak bisa masak, Atun juga nggak bisa, bisanya Cuma bikin indomi,” kata Bu Rini sambil setengah berbisik.
Kami memang kost di situ berikut makan, jadi wajar jika Bu Rini bingung saat ditinggal pergi pembantunya yang biasa menyiapkan makanan. Aku menawarkan option untuk masak saja di rumah, biar aku yang kerjakan.
Bu Rini setengah tidak percaya memandangi ku, “ Kamu bisa masak juga to,” katanya.
“Ya sedikit-sedikit bu, ayo kita ke dapur ada bahan makanan apa saja, biar saya oleh jadi lauk hari ini,” kata ku.
Kami lalu ke dapur. Kulihat ada sawi, daun bawang, bawang putih, kecap manis, kecap asin, cabe rawit dan telur. “ Beres bu, kita buat ifumi,” kata ku.
Bu Rini setengah tidak percaya setengahnya lagi penasaran, ingin tahu apakah aku sungguh-sungguh bisa masak. Aku lalu minta Atun membeli tepung kanji Rp 2000 ke warung dekat rumah.
Bu Rini jadi ikut heboh bertanya apa saja yang perlu disiapkan. Dia kuminta menggoreng mi instant hingga seperti kerupuk dan Atun kuminta menyiangi sayur-sayuran yang ada. Bu Rini teringat bahwa di kulkasnya masih ada ayam yang belum diolah. Dia lalu kuminta mengeluarkannya segera dan setelah berkurang dinginnya aku menyayat dagingnya berbentuk kubus.
Setelah semua bahan siap dan aku mencoba-coba mengingat apa lagi yang diperlukan. Wajan kunaikkan ke atas kompor dengan api maksimal, lalu masuk minyak. Setelah agak panas masuklah bawang putih menyusul potongan ayam diceburkan. Goseng-goseng sedikit lalu kusiram dengan sedikit kecap asin cap ikan. Bau harum segera menyebar. Dari ruang tengah ada yang berteriak, “wah baunya enak masak apa bu”
Sayuran menyusul terjun lalu garam dan bubuk penyedap. Setelah sayuran agak layu air yang sebelumnya ku campur dengan tepung kanji kutuangkan sampai hampir menenggelamkan sayur dan bahan lain di wajan. Aduk sebenatr lalu masuklah 3 butir telur ayam. Sambil aku mengaduk masakan kuminta Atun mengiris cabe rawit bulat-bulat.
Kuah sudah siap, yang mirip cap cai, bedanya jika cap cai tidak pakai telur ini ada pelengkap telur ayam yang diaduk jadi satu di kuahnya.. Mi instan yang sudah goreng bu Rini seperti kerupuk lalu ditempatkan di wadah . Mi kering itu lalu kusiramkan. Jadilah sekarang Ifu Mi dadakan.
“Baunya dari tadi udah bikin laper, “ kata Mbak Ratih. Menyusul Juli keluar dari sarangnya dan Niar rupanya dia milih tinggal di sini dari pada nginap di rumah saudaranya.
“Wah enak banget, nih siapa yang masak bu,” tanya Juli.
Bu Rini lalu menunjuk aku . “ Tuh kokinya, pinter ya,” puji bu Rini.
Dalam sekejap ifu mi yang kubuat sudah ludes. “Gila ini orang, pinter mijet, pinter masak lagi,” kata Mbak Ratih
“Ah aku nggak percaya kalau dia pinter mijet, belum aku buktikan,” kata Niar.
Aku terkesiap. Niar yang jarang kumpul dan jarang bercanda dengan kami, hari itu dia berkomentar. Niar perantau dari Medan. Orang tuanya memang masih tinggal di sana. Di Jakarta mulanya Niar sekolah sekretaris, setelah lulus dia bekerja di salah satu perusahaan operator telepon selular. Kelihatannya dia memiliki posisi yang lumayan penting, sehingga sering pulang agak malam.
Bu Rini lalu menyambung, “Memang harus dicoba, baru tau rasanya.” Bu Rini tersenyum penuh arti melirik ku.
“Aku mau dong, sekarang yaa…..” kata Niar.
Aku menyarankan agar menunggu beberapa saat sampai makanan selesai dicerna. Kurang enak rasanya jika pijat setelah makan. Aku minta Niar menunggu sebentar.
“Badanku pegal kali, tidur terus-terusan rasanya juga cape, tolonglah aku ya tapi jangan kuat-kuat aku tidak biasa dipijat sebetulnya tapi mendengar promosi kalian, aku jadi penasaran,” kata Niar.
Niar nggak sabaran dia minta segera aku pijat. Setelah kurasa perutku tidak sesak lagi setelah makan siang tadi akhirnya aku turuti kemauannya. Kami masuk ke kamarnya. Kamarnya ternyata ada AC dan televisi. Dia cukup berduit untuk menyewa kamar yang lux ini. Dinginnya AC dikamar Niar membuat badanku segar.
“Apanya kak yang mau dipijat,” kata ku. Aku memanggil dia kakak, karena usia kami terpaut 5 tahun dan dia kelihatan sudah sangat dewasa. Mungkin di kantornya dia terbiasa dengan pembawaan berwibawa.
“Badanku pegal semua, macam mana caranya dipijat,” tanyanya.
Aku menerangkan biasanya yang dipijat mengenakan sarung dan tiduran. Aku menawarkan pijatan dimulai dari kaki lalu ke badan. “ Niar setuju dan dia lantas berganti mengenakan sarung. Dia mengenakan sarung seperti orang Jawa mengenakan kemben. Jadi payudaranya tertutup sampai ke batas lutut.
Niar mengambil posisi tengkurap. Aku memulai pijatan refleksi di kaki. Pijatan refleksiku sengaja tidak terlalu keras, agar dia merasa nyaman dulu. Aku lemaskan semua syaraf di telapak kakinya lalu naik ke betis. Setelah semua otot terasa lemas aku mulai memijat pahanya, pantatnya dan badannya. Berhubung masih terhalang sarung aku hanya menekan-nekan tidak terlalu keras. Niar tertidur. Mungkin pengaruh dari makan siang tadi dan juga nikmatnya pijatanku.
Badan Niar cukup besar dan tinggi. Tingginya mungkin sekitar 170 dengan berat badan yang seimbang. Untuk ukuran cewek Indonesia ukuran tubuh Niar termasuk besar dan tinggi. Pahanya ternyata cukup tebal dan pantatnya juga menyembul. Sekitar 30 menit dia kubiarkan tertidur lelap sambil aku pijat kakinya dengan pijatan nyaman.
“Aduh enak kali pijatan kau Jay sampai tidur aku, “katanya tiba-tiba.
“Itu cuma kusuk ecek-ecek kak,” kata ku menjelaskan bahwa pijatanku itu hanya pijatan sederhana saja.
“Jadi rupanya ada pula pijat yang betul-betul, macam mana pula itu Jay,” katanya sambil tengkurap.
“Kalau kakak mau aku bisa mendeteksi organ kakak yang mana yang kurang beres,” kata ku.,
“Ah cobalah mainkan,” katanya
Aku mulai menekan simpul-simpul syaraf di telapak kakinya.
“Aduh mak sakit kali itu” katanya ketika simpul syaraf pencernaannya aku tekan.
Aku jelaskan bahwa pencernaannya agak terganggu, dan ini bisa mengarah ke penyakit maag.
Simpul lain yang aku tekan menunjukkan bahwa dia sering tidak teratur haidnya. Itu dia akui
“Bisa tidak kau mainkan biar jadi teratur, biar aku tenang,” katanya nyerocos.
Dari kata-katanya terkandung misteri yang seharusnya dia rahasiakan, tapi nyerocos secara tidak disadari. Kata-kata “biar aku tenang” aku anggap sebagai satu signal. Tapi aku cuek saja dan seolah-olah tidak mendengar perkataannya yang terakhir.
Aku jadi berniat menyelediki secara diam-diam dan langsung. Seperti sebelumnya aku mulai memainkan simpul-simpul syaraf erotisnya. Aku mulai garap di bagian permukaan kulit yang terbuka, yaitu, di telapak kaki, di dekat mata kaki lalu di betis dan di belakang lutut. Bagian-bagian itu mendapat pijatan lebih banyak dari titik-titik syaraf lainnya.
“Aduh enak kali pijatan kau Jay, badanku jadi panas, bekeringat pula.,” katanya.
Aku menyarankan kalau mau lebih enak lagi sebaiknya menggunakan krim agar bisa lebih licin diurut. Dia menyetujui dan memintaku mengambil krim body lotion di meja riasnya.
Aku mengulang lagi mengurut telapak kaki dan betis. Ulasan krim makin keatas menuju bagian pahanya yang tebal. Tanganku menyusur di bawah sarung sampai ke paha bagian atas. Di paha bagian dalam kusentuh titik-titik sensitifnya. Pinggulnya mulai bergerak. Ini sepertinya dia mulai terangsang.
Aku minta izin untuk mengurut punggungnya dengan krim. Dia setuju dan aku mulai mengoleskan krim dari bagian bahu turun sampai ke pinggang. Urutan punggung menimbulkan kenikmatan, karena bagian-bagian yang pegal jika diurut akan menimbulkan kenikmatan. Badannya meliuk-liuk menikmati urutanku yang sesekali juga menimbulkan rasa agak sakit. Ada bagian otot yang kaku jika diurut akan menimbulkan rasa agak sakit, tetapi hanya sebentar.
Dengan gerakan mengurut, sarungnya mulai terdorong ke bawah sampai ke batas pinggang. Niar masih menggunakan BH. Ini karena dia tidak terbiasa dipijat, jadi rasa malunya masih besar. Tanganku mulai merambah makin kebawah sampai ke bagian pantatnya yang montok.
Mulanya aku tekan dan kadang-kadang dengan gerakan memutar di pantatnya. Pijatan seperti itu biasanya akan menimbulkan rangsangan ke alat vitalnya. Dia pun berkomentar bahwa bagian itu enak sekali dipijat. Kuterangkan bahwa akibat terlalu lama duduk, maka bagian pantat ototnya agak kaku. Aku kembali minta izin untuk mengurut bagian pantat agar otot-ototnya lemas. Dia hanya menjawab, “ mainkanlah.”
Sarungnya sudah tidak berfungsi menutupi tubuhnya, karena sudah berkumpul di pinggang. Body Niar sungguh luar biasa . Meski kulitnya tidak putih, tetapi dari ujung kaki sampai leher kulitnya mulus nyaris tanpa goresan. Karena tubuhnya tinggi, maka bentuk tubuhnya jadi sangat ideal dengan pinggang mengecil dan pantat besar. Aku belum bisa memastikan payudaranya sebesar apa. Selama ini aku lengah menelaah dada Niar.
Tanganku mulai mengurut bagian pantatnya. Mulanya mengurut dari arah atas menyusup ke celana dalam. Selanjutnya mengurut dari bawah dengan mendorong-dorong daging bongkahan pantatnya.
Diakui ada bagian yang pegal di pantatnya yang rasanya nikmat jika diurut. Dia minta bagian itu berkali-kali diurut. Dorongan urut aku atur tidak selalu searah. Meskipun selalu mengarah ke atas, tetapi titik startnya berubah-ubah sampai ada yang dekat sekali dengan kemaluannya.
Entah dia sadar atau tidak, tetapi aku sudah berkali-kali menyentuh bagian luar belahan kemaluannya. Tanganku bisa merasakan karena bagian itu ditumbuhi-bulu-bulu. Meski kemaluannya sudah terjamah tetapi dia tidak protes, malah cenderung menikmati.
Aku berani menyentuh bagian itu karena yakin Niar sesungguhnya sudah terangsang. Terapi itu cukup lama sampai Niar kadang-kadang terlepas mendesis juga.
Setelah kurasa maksimal merangsang dengan pijatan dari belakang aku minta dia berbalik tidur telentang. Niar menurut saja, pasrah. Sarungnya dibiarkan berkumpul di pinggang.
Baru aku sadari bahwa payudara Niar ternyata cukup besar. Dia menggunakan BH dengan cup model setengah, sehingga gumpalan payudaranya menonjol seperti mau tumpah.
Aku mulai lagi mengurut bagian kaki. Terus sampai ke paha. Paha bagian dalam mendapat terapi yang istimewa. Aku ingin membuatnya gila dengan rangsangan yang kulakukan. Bukan hanya paha yang aku urut tetapi naik menyelusup di bawah celana dalamnya sampai ke bagian atas termasuk gundukan kemaluannya. Aku merasa Niar mencukur sebagian bulu kemaluannya, karena yang terasa berbulu hanya bagian tengah membujur ke atas. Tapi aku tidak berkomentar, karena aku berlagak pemijat prof jadi berperan seolah-lah tidak hirau dengan masalah kemaluan.
Niar kelojotan dengan urutan di sekitar kemaluannya. “ Aduh sedap kali Jay, pandai kali kau mengurutnya, bisa mati dengan sedap aku, kalau kau urut terus begitu, “ katanya sambil bergelinjang dan mulai agak mengerang meski dengan suara tertahan.
Pertahanan rasa malunya sudah jebol, dia tidak perduli lagi dengan tubuhnya yang nyaris telanjang. Kepalanya berkali-kali bergeleng seperti sedang disetubuhi.
Kurasa sudah cukup mengerjai bagian vitalnya. Aku berpindah ke bagian atas. Dimulai dari bahu lalu turun ke dada. “Aduh enak Jay, aku baru percaya sekarang kalau kau pandai mengusuk,” katanya.
Jariku tertahan oleh ketatnya BH sehingga tidak bisa mengurut bagian samping. Aku sarankan agar dia melonggarkan BHnya, agar kerjaku mengurut tidak terhalang. Dia patuh dan dengan meninggikan dadanya tangan kanannya meraih pengait BH dibelakang. Kaitan terlepas dan kedua payudaranya langsung kembali kebentuk asalnya.
Buah dadanya yang tadi seolah berkumpul di tengah sehingga menimbulkan efek menyembul dan membentuk lipatan diantara kedua bongkahan, kini melebar sampai tumpah ke samping badannya. BHnya masih menutup putingnya.
Tangan ku jadi lebih leluasa mengurut ke samping buah dadanya. Dia sudah tidak perduli lagi buah dadanya disentuh oleh laki-laki. Niar hanya menikmati rangsangan dari pijatanku.
Aku kembali minta izin untuk memijat payudaranya. Seperti wanita-wanita sebelum ini, aku selalu berkilah bahwa pijatan payudara itu selain untuk merangsang otot mengencangkan payudara, juga untuk melancarkan peredaran darah di sekitarnya. Niar percaya dan mengangguk saja. Dia semakin tidak peduli ketika BHnya kusibak sehingga terpampanglah kedua putingnya.
Kedua putingnya tidak terlalu besar berwarna coklat tua. Aku mulai memijat bagian payudaranya sampai menyentuh kedua putingnya. Setiap kali tersentuh putingnya, dia mendesis nikmat.
Gerakan pijatku berlangsung seperti gaya profesional yang dilakukan seolah-olah tanpa nafsu. Padahal di bawah sana sudah ada pemberontakan. Aku melakukan gerakan meremas dari samping kiri dan kanan mengurut ke atas sampai jempol dan jari telunjukku bisa meraih kedua putingnya. Putting itu lalu kupelintir lirih dan ditekan dengan gerakan memutar.
Gerakan memutar dengan tekanan lembut di kedua putingnya merupakan terapi berikutnya. Aku melakukan ini sambil menjelaskan bahwa efek dari pijatan ini adalah untuk merangsang syaraf di sekitar payudara agar berkerja normal. Dengan demikian aliran darah juga akan lancar.
Sambil melakukan itu aku menekan-nekan kedua payudaranya dengan kedua telapak tanganku. Alasanku untuk mencari tahu apakah ada benjolan yang mencurigakan. yang bisa menimbulkan kanker.
Niar entah percaya entah tidak, tetapi dia mendesis sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. “Aduh mau mati aku rasanya,” katanya tiba-tiba.
“Kenapa kak,” tanya ku pura-pura terkejut lalu berhenti memijat.
“Paten kali pijatan kau ini, aduh mak…jang,” katanya melenguh.
Kutinggalkan bagian payudara aku turun ke bagian perut. Bagian perut karena merupakan bagian yang rawan bagi wanita aku tidak berani gegabah. Hanya pijatan halus dan mengurut menaikkan bagian dalam perut yang agak turun.
“Kakak ini beser ya,” kataku.
“Apa itu beser,” tanyanya.
Aku terangkan bahwa beser itu adalah sering kencing, tiap sebentar kebelet pipis melulu. Itu dia benarkan. Aku katakan bahwa itu adalah akibat kandung kencingnya tertekan jadi kapasitasnya tidak bisa menampung air seni secara maksimal.. Aku berusaha memperbaiki posisinya.
“Kak bagian bawahnya mau dipijat jugakah,” tanya ku.
“Apa sebabnya perlu dipijat,” katanya dengan logat Medan.
Di situ ada urat dan syaraf yang kalau kejepit akibatnya wanita bisa mandul. Ini aku ngarang aja. Padahal dibalik itu aku ingin megang kemaluannya. Yah berdalih lah biar kelihatannya tidak memalukan.
“Boleh-bolehlah,” katanya.
Tanganku mulai menelusur ke bagian bawah mengurut ke bawah celdam. Aku bergerak dari bagian pinggir lalu ke arah tengah. Mulanya celdamnya masih menutupi segitiga kemaluannya. Namun karena gerakan tanganku celana itu melorot juga ke bawah, sehingga terpampanglah bukit pubis dengan jembut rapi tercukur.
Urutan tanganku tidak sampai menyelusup ke belahan kemaluannya, tetapi kedua pinggirnya sudah berkali-kali tertekan kedua jariku. Niar sudah tidak sungkan-sungkan lagi melenguh dan mendesis. Tampaknya dia sudah tidak peduli lagi dengan harus menahan malu karena terangsang. Telapak tanganku menekan bagian luar kenaluannya dan melakukan pijatan dengan mengurut dari bagian pantat sampai ke atas. Jari tengahku walau tidak sampai terpelsest masuk ke belahan kemaluannya tetapi bisa merasakan ada cairan diantara belahan itu.
“Aduh Jay lama-lama bisa aku terkam kau Jay,”
“ Kenapa Kak, “ kata ku belagak bodoh.
“Kau bikin aku gila ,” katanya.
“Kakak baru gila sebentar sudah sombong, Aku dari dulu gila tak pernah sombong,” kataku mencandai dia yang sedang terombang-ambing dengan nafsunya.
Niar mungkin tidak bisa menyimak kata-kataku lagi, karena dia heboh dengan erangan dan desisannya. Aku makin dalam menggarap kemaluannya. Jari tengahku perlahan-lahan terbenamkan ke belahan kemalauannya dengan gerakan menyapu dari bawah ke atas. Gerakan ini berkali-kali sampai aku bisa merasakan clitorisnya menegang.
Setelah rasanya dia hampir memuncak. Aku berhenti melakukan pijatan dan aku katakan “ Sudah selesai kak.”. Aku duduk disamping badannya yang terbujur telanjang.
“Aduh kau menyiksaku, bisa aku bunuh kau nanti,” katanya
“Semua sudah aku pijat kak, apalagi kak,” kataku lugu.
Ditariknya badanku sehingga aku menindih badannya. Niar lalu mencium wajahku lalu bibirku . Aku terus terang belum siap menerima serangan, sehinggga ketika mulutku dibekap oleh mulutnya aku megap-megap. Niar buas sekali menyerang ku. Di gulingkan badanku sehingga aku ditindihnya.
“Kak sabar kak, kakak tenang dulu, “ kata ku membalikkan badannya.
“Ah kau bikin aku gila,” katanya.
“Masih ada lagi terapi kak, tapi ini terapi khusus, hanya untuk yang sangat membutuhkan,” kataku.
“Apa pula itu,” katanya tidak sabar.
“Sekarang kakak tenang dulu biar aku bantu agak rileks. Kakak lemaskan badan kakak ya,” kataku.
“Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Niar menuruti semua perintahku. Sarungnya kulepas, BHnya kusingkirkan. Bantal kuselipkan di bawah pantatnya. Lalu kedua kakinya kutekuk. Aku merangkak diantara kedua kakinya lalu dengan bersetumpu siku aku mendekatkan mulut ke kemaluan Niar.
Sebagai penjilat yang sudah banyak mendapat penghargaan, aku memulai usapan lidahku menyapu bibir luar kemaluan Niar. Selanjutnya dengan bantuan kedua tanganku aku membelah kemaluannya sehingga tepampanglah kemaluan dengan warna merah ditengahnya dan bibir luar yang berwarna agak ungu. Lidahku mulai menyapu sekitar lubang vagina dari arah bawah sampai ke atas.
Usapan lidahku membuat Niar menggelinjang. Setelah kurasa cukup ujung lidah mulai mengarah ke puncak pertemuan bibir dalam di bagian atas. Di lipatan atas itu ada sebentuk bintil mencuat, berwarna merah mengkilat. Yang tertutup lipatan bibir dalam. Dengan bantuan kedua tanganku ku kuak lipatan yang menghalangi bintil itu sehingga terekspos bebas. Setelah kupastikan clitoris Niar kutemukan aku membekapkan mulut ke bagian atas kemaluan Niar. Lidahku langsung berputar mengitari sekitar clitoris.
Mendapat terapi lidah ini, Niar menggelinjang. Lidah ku bergerak kanan-kiri dibagian atas. Pada awalnya aku menjaga agar bagian lidah ini tidak sampai menyentuh ujung clitorisnya. Kemudian secara bertahap dan pelan bagian bawah lidahku mulai menyentuh clitoris. Aku merasa gerakan ini menimbulkan dampak clitorisnya makin menegang. Aku mengubah gerakan lidah dari bawah keatas menyapu seluruh bagian clitoris.
Setiap kali lidahku menyentuh ujung clitoris, Niar menggelinjang. Bagian ujung clitoris pada awal rangsangan mungkin masih dirasa terlalu geli dan ngilu jika disentuh langsung. Oleh karena itu aku belum melakukan pemusatan jilatan di ujung clitorisnya.
Aku mengubah sapuan lidah ke bagian bawah letak clitorisnya. Ujung lidah kuusahakan mengeras sehingga bisa mendeteksi pangkal clitoris. Bagian pangkal itulah yang kemudian menjadi sasaran jilatan maut.
Niar sudah mendesis, melenguh nggak karuan, bahkan kadang-kadang berbicara, tapi aku tidak jelas mendengar dan pastinya juga tidak bisa menjawab.Aku mencoba menjilat ujung clitorisnya untuk memastikan apakah rasa geli dan ngilunya sudah berkurang. Memang rupanya rasa geli berubah jadi rasa nikmat. Niar makin liar ketika jilatan lidahku fokus ke ujung ke ujung clitorisnya dengan gerakan kiri–kanan.
Niar makin gila dan tangannya mulai ikut mengatur irama gerakan lidahku sambil meremas rambutku. Sesaat kemudian tangannya tidak bergerak, Dia diam seperti sedang berkosentrasi. Tidak lama kemudian dia mengerang panjang sambil menekan kepalaku ke kemaluannya dan kedua pahanya menjepit.
Lidahku kutekan ke clitorisnya dan diam tanpa gerakan. Aku hanya merasakan denyutan pada clitorisnya seperti denyutan penis ketika mencapai orgasme. Niar memang mencapai orgasme. Setelah denyutan orgasme mereda, kulepas mulutku dari kemaluannya dan aku duduk diantara kedua pahanya dengan posisi bersimpuh.
Jari tengah tangan kanan mendapat tugas berikutnya. Dengan posisi telapak tangan menghadap keatas, jari tengah perlahan-lahan menerobos ke dalam. Tujuannya adalah mencari G-spot. Dengan rabaan halus aku segera menemukan G-spot. Bagian itu sudah seperti membengkak bentuknya kira-kira seperti bulatan uang logam 100 perak, tapi lebih kecil sedikit. Jaringan lunak itu perlahan-lahan aku usap dengan gerakan halus sekali.
Awalnya Niar tidak menampakkan reaksi, tetapi setelah 5 atau 10 kali usapan dia mulai menggelinjang dan mendesis. Sambil terus mengusap G-spotnya untuk mempercepat orgasmenya, jempol kiriku ditugaskan mengusap clitoris yang sudah kembali menegang. Niar mengerang-erang lalu berdesis lalu mengerang lagi. Dia tidak karuan bingung merasakan kehebatan rangsangan yang menerbangkan dirinya. Dalam waktu tidak terlalu lama kedua tangan Niar meremas sprei dan menariknya sambil menggigit bibir bawahnya dia mengerang panjang sekali. Pada saat itu, lalu ku kuak belahan vaginanya selebar mungkin. Dari lubang kcingnya yang berada dibawah clitorisnya menyemprotlah cairan tapi tidak terlalu banyak. Cairan itu agak cair, tetapi lebih kental dari urine. Mungkin sekitar 5 kali, pancaran itu menyembur lalu hanya meleleh .
Niar tergeletak lemah. “ Aduh gila, aku belum pernah mencapai nikmat kayak gini, pandai kali kau memainkan perempuan Jay, “ kata Niar dengan suara lemah.
“Sini Jay aku ingin memeluk kau ,” sambil menarik tanganku dan aku dipeluknya erat sekali.
Kulemaskan badanku dan kuikuti kemauannya. Terasa kemaluannya ditekankannya ke pahaku lekat sekali lalu digerak-gerakkannya. Aku masih berpakaian lengkap pada saat itu.
“Lemas kali badanku Jay, aku rasa ngantuk kali,” katanya .
Dia lalu meregangkan pelukannya dan aku pun bangkit. Badannya telanjang bulat telentang. Niar sudah mulai mendengkur. Kasihan dia maka kucari selimut dan kututupi tubuhnya. Niar tertidur pulas dengan air muka berseri-seri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar