Kamis, 14 Februari 2013

Harem 4


Setelah menggarap Mbak Ratih dan Nia, aku diagung-agungkan oleh kedua orang itu sebagai pakar urat syaraf. Sebenarnya beberapa penghuni kost lainnya yang belum mendapat giliran sudah merayu-rayu ku untuk juga dipijat. Tapi aku agak menahan diri dengan alasan badanku sedang kurang fit atau alasan sibuk atau apalah.
Saat kami sedang bercengkerama, ibu kost bergabung ikut ngrumpi sambil nonton TV. “Dik Jay ini dipuji-puji abis ama Mbak Ratih dan Nia, katanya jago mijet dan tau susunan syaraf, belajar dimana sih dik,” tanya bu Rini
“Ah mereka memang suka melebih-lebihkan bu, saya cuma belajar dari buku-buku aja kok, belum mahir bener baru taraf pemula,” kata ku mencoba merendah.
“Boong bu, dia sok merendah,” kata Nia.
“Aku jadi ketagihan dan rasanya aku belum pernah nemu tukang pijat sepinter Jay bu,” kata Mbak Ratih.
“Wah perlu dibuktikan nih,” kata bu Rini. Mata Mbak Ratih dan Nia langsung memandangku dengan penuh arti. Aku belagak bego aja sambil senyum ditahan.
“Kristin kemana kok nggak keliatan, “tanya bu Rini.
“Ada di kamar,dia lagi kambuh sakit magnya, “ kata Juli yang juga gadis keturunan Cina seperti Kristin.
“Udah diobati apa belum,” tanya Bu Rini.
“Udah sih tadi dikasih obat mag, tapi masih sakit,” kata Juli lagi.
“Jay kamu bisa bantu Kristin gak, untuk ngurangi rasa sakit, kasihan dia,” kata Mbak Ratih.
“Kristin kan gak suka dipijet, katanya dia itu penggeli,” kata ku berkilah.
Bu Rini lalu masuk ke kamar Kristin diikuti Mbak Ratih dan Juli. Entah apa yang dibicarakan, gak lama kemudian Mbak Ratih keluar. “Jay, tolong dong Kristin kasian dia merintih kesakitan tuh perutnya, dia udah pasrah pokoknya rasa sakitnya bisa berkurang,” kata mbak Ratih.
Aku masuk ke kamar Kristin. Dia terbujur tidur berselimut sambil cengar-cengir menahan rasa sakit akibat magnya kambuh.
Aku minta Kristin duduk dan kupegang tangan kanannya. Badannya agak panas, mungkin akibat dia menahan rasa sakit. Kuraba telapak tangan kanannya. Mukanya pucat, matanya berair. Aku mencari celah antara jempol dan jari telunjuknya kutekan pelan. Kristin berteriak, “ sakit……”
Aku menjelaskan, bagian itu memang sakit sekali jika ditekan manakala mag sedang bermasalah. Kalau dia bisa menahan rasa sakit, mudah-mudahan rasa saakit dilambungnya akan berangsur-angsur berkurang.
“Kamu bisa tahan sakit nggak, atau tinggal pilih mau sakit terus di lambung atau nahan sakit di sini,” kata ku.
“Aduh sakit sekali di situ, tapi cobalah aku tahan, daripada magku yang sakit dari tadi kok rasanya makin sakit,” kata Kristin.
Aku memulai menekan celah di telapak tangannya dengan tekanan pelan sekali. Meskipun begitu dia sudah merasakan kesakitan. Setiap kali ku tekan dia melonjak menahan rasa sakit.
Sekitar 5 menit tangannya kugarap dia minta istirahat sebentar untuk menetralisir sakit di tangannya. “Di kepala rasanya pyar-pyar, agak mending nih sakitnya di lambung nggak kayak tadi lagi,” kata kristin.
“Sabar ya kris, aku harus pelan-pelan terapinya, karena sakit sekali kalau ku tekan. Kamu kalau mau bersendawa jangan ditahan, atau kalau terasa mau buang angin dilepas aja, Nanti kalau sudah bisa kentut dan bersendawa rasa sakitnya akan hilang, jangan malu-malu,” kata ku.
Bu Rini lalu menggiring Mbak Ratih dan Juli agar keluar kamar untuk memberi kesempatan aku melakukan terapi pada Kristin. Lagian kalau ada mereka mungkin Kristin malu mau buang angin.
Setelah 15 menit kutekan telapak tangannya, dia mulai merasa tahan dengan tekanan yang lebih keras. Ini menandakan berangsur-angsur rasa sakit magnya mulai berkurang. “Aduh Jay aku pengin kentut, sorry ya,” Kristin lalu memiringkan pantatnya dan meletuslah angin dari pantatnya panjang sekali. “Aduh sorry yaaa, aaah bau apa nggak nanti ya,” katanya dengan nada khawatir.
“Relaks aja kris, yang penting kamu sembuh, bau juga nggak apa-apa , normal-normal aja, orang cantik kentutnya gak harus wangi kan” kata ku menggoda. Kristin memang cantik. Gadis Cina dengan postur agak tinggi dan rambut lurus dipotong pendek se leher.
Kristin juga berkali-kali bersendawa. Tangan kiri dan kanannya kini kupencet sudah tidak terlalu sakit lagi. Padahal tekananku cukup kuat.
“Ilang Jay sakitnya, wah salut aku ama kamu hebat, kenapa gak dari dulu kamu bilang,” katanya.
“Orang kamu gak nanya masak aku ngojok-ngojokin diri,” kataku.
“Sini duduk membelakangiku, kepala mu kan masih tegang bekas nahan sakit tadi,”
“Kamu kok tau sih,” katanya lalu memutar badannya membelakangiku. Aku lalu memijat kepalanya dengan gerakan yang tidak terlalu keras, untuk merelakskan otot-otot yang tadi menegang. Lehernya mendapat giliran berikutnya lalu bahu dan lengannya. Di leher bagian belakang juga ada simpul syaraf erotik. Aku iseng menekan simpul itu . Pastinya Kristin tidak sadar kalau aku sedang mengisengi dirinya. “Aduh Jay enak tapi agak geli, badanku jadi kemrenyeng semua, merinding nih Jay tanganku,” kata Kristin.
Aku tahu itu adalah reaksi normal jika rangsangan mulai menjalar ke tubuhnya. Pasti memeknya juga mulai basah. Aku minta dia tidur tengkurap dan telapak kakinya aku garap sekalian untuk menuntaskan terapi magnya dan juga menambah stimulan erotisnya. Titik erotis yang kuat sebenarnya ada di bagian pahanya. Tapi nantilah, Aku memijat sekujur kakinya dengan sebelumnya menekan syaraf yang membuatnya bisa menahan rasa geli.
“Aku kok jadi gak geli ya Jay, biasanya aku penggeli banget, kamu bisa aja Jay. Aku jadi makin kemrenyeng gini sih Jay,” katanya.
Kristin memang Cina Cirebon, sehingga dia gak sadar kalau bahasa daerahnya nyampur ke bahasa Indonesia.
“Badannya mau sekalian nggak,” kata ku menawarkan diri.
“Boleh Jay kamu pinter sih mijetnya aku kok gak ngrasain geli lagi,” kata Kristin yang tidur telungkup dengan masih lengkap terbalut piyamanya.
Sifat isengku adalah kelemahanku, jadi kesempatan ini pun aku menggarap Kristin dengan tekanan-tekanan simpul erotis di punggungnya. Aku menyiksanya dengan meninggalkan rangsangan yang tidak bakal terlampiaskan, jika tidak aku tuntaskan. “Rasain looo” kataku membatin.
Tapi di balik semuanya rangsangan itu, juga untuk menyirnakan ketegangan akibat deraan sakit mag tadi. Setelah sekitar sejam setengah, tuntaslah sudah terapi untuk Kristin. Aku segera pamit keluar.Tapi Kristin menarikku. Dia berdiri lalu mencium pipiku kiri dan kanan. Aku merasa ini bukan ciuman biasa, karena sambil mencium dia memelukku erat sekali. Aku ikuti saja maunya dan aku pasif saja. “Makasih banget ya Jay,” aku lalu keluar kamar.
Gak lama kemudian Kristin juga ikut keluar. Mukanya segar bahkan air mukanya agak merah. Kesegaran itu mungkin karena dia sudah pulih dari rasa sakit dan juga ada rangsangan yang masih terbenam di dalam tubuhnya yang belum tersalurkan.
“Untung ada Jay Bu, kalau nggak mungkin saya sudah mati kesakitan,” katanya sambil tersenyum renyah.
“ Ah ibu jadi makin penasaran pengin mbuktikan nih,” kata Bu Rini.
“Coba deh bu, sekali-kali ibu mesti nyoba biar gak penasaran,” kata Nia dengan senyum penuh arti sambil memandang ku. Mbak Ratih juga ikut tersenyum sambil melirik.
“Sialan nih cewek-cewek, aku jadi malu dipromosikan begitu dan rasanya dibalik promosi itu ada makna yang terpendam,” batinku.
Jam di dinding sudah menunjukkan jam 10 malam.
“Jay masih kuat gak, ibu juga pengin dong dipijet, tadi kebetulan manggil mbok pijet dia-nya lagi sakit. Badan ibu memang rada nggak enak sih,” kata Bu Rini sambil memeluk pundakku.
“Ah lima lagi juga masih kuat bu, orang tadi gak keluar tenaga banyak.Kristin gak kuat dipijat soalnya.” kata ku.
Aku lalu digandeng Bu Rini menuju kamarnya. Tatapan mata Mbak Ratih dan Nia sambil tersenyum penuh arti.
Kamar Bu Rini dingin sekali. Dia katanya suka tidur di hawa yang dingin.
“Apa nya yang sakit bu,” tanya ku.
“Ah awak ku pegel kabeh,” katanya.
Dia tanya bagaimana aku memijatnya. Aku menimpali, bagaimana biasanya dia dipijat sama mbok pijet. Katanya dia biasa pakai sarung aja. lalu kusarankan dia seperti biasanya dipijat.
“Kalau pegel yang ibu rasakan ini sebenarnya bukan karena cape kerja, tapi ini efek dari ibu tidur di ruangan yang terlalu dingin. Kalau di luar panas, lalu masuk ke kamar dingin dan keluar lagi panas, efeknya pori-pori tidak mampu secara segera menyesuaikan suhu bu,” kata ku seperti dokter memberi konsultasi.
“Ah adik ini apa pernah kuliah di kedokteran apa kok ngerti begituan, “ tanyanya.
“Nggak kok bu itu hanya pengetahuan umum saja, badan ibu sudah bukan badan remaja lagi yang elastis, jadi kalau pori-pori tidak menciut sempurna untuk menahan suhu badan maka dampaknya ibu merasa pegel semua gitulah kira-kira bu. “ kataku.
“Terus harusnya gimana dik,” tanyanya.
“Ibu hanya perlu berkeringat agar pori-porinya mengembang kembali, kalau sudah berkeringat pasti pegelnya ilang. Biasanya orang mengambil jalan pintas dengan di kerok, tapi sebenarnya tanpa dikerok juga bisa mengembangkan pori-pori,: kata ku.
“ Lha terus gimana jadinya,” kata Bu Rini.
“Kalau ibu ijinkan AC nya harus dimatikan”, kata ku.
“Yo wis pateni,” katanya.
“Tapi kan masih dingin to dik,” tanya bu Rini.
“ Ya nanti kita buat biar berkeringat,” kataku.
“Sini bu, coba tengkurep, nanti saya cari simpul-simpul sarafnya yang bisa bikin ibu kemeringet,”
Aku mulai menekan simpul-simpul syaraf kakinya. Beberapa bagian dia menjerit kesakitan. Aku minta dia menahan sedikit sakitnya. “ Ini bu, ini adalah tanda kalau ibu punya darah rendah, jadi kalau lagi drop ibu pasti suka ngantuk dan lehernya agak kaku,” kata ku.
“ Iya dik bener dik aku memang darah rendah, dan aku sering ngrasa cekot-cekot di leher bagian belakang, tapi itu sakit sekali, apa nekennya bisa agak pelan dikit biar gak sakit,” pintanya.
“ Tahan sebentar bu, Ibu karena nahan sakit pasti nanti berkeringat dan mudah-mudahan darahnya nggak mudah drop.
Bu Rini menjerit-jerit kesakitan, dan badannya mulai berkuah alias berkeringat. Dia merasa kamarnya jadi gerah. Padahal sisa dinginnya AC tadi masih cukup kuat. “Wah bener dik aku jadi kemringet dan badanku juga gak pegel lagi. “Kok bisa ilang pegelnya ya , padahal belum dipijet,” katanya.
Dari satu titik, aku pindah ke titik-titik simpul saraf lainnya sampai Bu Rini benar-benar kuyup oleh keringetnya. Karena dia berselimut sarung maka penguapan keringetnya jadi terhalang.
“Bu kalo ibu kerudungan sarung terus nanti gerah, kalo ibu gak keberatan buka aja sarungnya,” saranku.
Bu Rini agak ragu membuka sarungnya, tapi akhirnya dia buka juga dan ternyata beliau tidak pakai BH. Dia tungkrupkan sarung di bagian depan lalu kembali telungkup. Badan Bu Rini cukup terawat meskipun ada selulit dipaha dan di bokongnya. Pahanya besar, dan bokongnya gempal banget. Bu Rini memiliki tulang pinggul yang besar, sehingga dalam usia STW, dia masih kelihatan berpinggang.
Body STW menggairahkan juga rupanya. Terus terang aku belum punya pengalaman ML sama STW. Kira-kira longgar apa gimana ya. Sambil aku melakukan terapi aku juga menekan simpul-simpul syaraf erotis Bu Rini. Biasanya kalau syaraf erotis ditekan, rasa malu perempuan agak berkurang, karena nafsu birahinya bangkit. Bu Rini kelihatannya sudah lama menjanda, bagaimana dia memenuhi kebutuhan sexnya. Aku agak penasaran dengan misteri ini.
Reaksi dari pijatan di simpul syaraf erotis mulai menampakkan hasilnya. Bu Rini mulai agak gelisah. Aduh dik pijatan refleksimu enak juga, kamu belajar dimana kok ngerti refleksi segala ya,” tanya bu Rini.
“Dulu saya punya teman kerja di pijat refleksi saya iseng-iseng belajar bu, saya juga belajar dari buku-buku, saya sih belum mahir sebetulnya, masih taraf pemula,” kata ku merendah,”
“Tapi keliatannya kamu paham benar bisa menerangkan sampai soal darah rendah, kamu berbakat lho dik,” katanya.
Setelah semua simpul syaraf di bagian telapak kaki kugarap, aku mulai merambat naik ke atas kaki. Sebelumnya sekujur kakinya aku usap dengan lotion agar lancar mengurut. Paha Bu Rini termasuk besar, tetapi tumitnya ramping. Konon wanita yang memiliki tumit ramping, barangnya berasa legit. Beberapa simpul syaraf erotis di bagian betis dan paha kugarap tuntas sambil mengurut untuk melemaskan otot-ototnya. Bu Rini sudah tidak merasa sakit lagi. Dia malah menikmati sekali urut-urutan di kakinya.
Aku mulai memusatkan pijatan di bagian paha, terutama bagian dalam. Kenyal sekali paha Bu Rini. Aku suka menekan lemak-lemak tebal perempuan, karena empuk dan halus. Bu Rini mulai mendesis sambil sesekali bergumam, kadang-kadang gak jelas apa yang diucapkannya. Aku hanya mendengar, “ aduh enak-e dik.”.
Kelihatannya Bu Rini sudah mulai bangkit nafsu birahinya. Kuabaikan saja dengan pura-pura memijat serius dan tidak memusatakan pijatan di bagian yang kontak dengan syaraf syur. Aku mulai memijat badannya dimulai dari bahu, leher terus di bawah. Bagian pantat aku sisakan. Nanti akan kugarap khusus.
Bu Rini memujiku terus menerus, sampai dia mengatakan pijatanku lebih enak dari langganan mbok-pijetnya. Aku hanya sederhana saja berpikir, pekerjaan memijat meskipun sederhana, kalau dilakukan dengan tekun serius dan suka melakukannya pasti hasilnya maksimal. Memijat juga memerlukan pengembangan pengetahuan, dan aku rajin mempelajari teknik memijat dari buku-buku yang ku beli di pasar loakan.
Sekarang giliran pantat, Bokong bu Rini hanya terbungkus celana dalam, sehingga bongkahan daging tebal pantatnya jelas terlihat dari luar celana dalamnya. Aku mulai melancarkan serangan pijatan erotis. Pertama kutekan dan dengan gerakan lambat aku memutar tekanan jari ku. Pijatan ini biasanya akan mentriger vagina dan akibatnya lubang senggama bisa basah kuyup. Sambil menyusupkan kedua tanganku ke balik celana dalamnya sehingga langsung bisa menyentuh kulit bokong. Aku melakukan gerakan seperti mengumpulkan sesuatu dan kudorong bongkahan daging kedua belah pantatnya ke atas lalu kuperintahkan Bu Rini untuk mengencangkan otot kegelnya selama mungkin. Namun dia tidak sanggup, baru sebentar sudah dilepas lagi. “ Nggak kuat dik,” katanya.
Kuminta berkali-kali tetapi dia tetap tidak mampu bertahan lebih dari 30 detik. “ Bu kelihatannya ibu punya kelemahan dalam hal menahan pipis. “ Bener dik, koq adik bisa tahu sih,” katanya heran.
“ Ibu juga mungkin kalau pipis gak bisa tuntas, suka ada yang ketinggalan keluar sedikit setelah pakai celana.” Kata ku menebak-nebak.
“Aduh bener banget dik, itu makanya ibu kadang-kadang suka risih, bisa diterapi gak dik yang begituan,” katanya penuh harap.
Aku lalu menyarankan dia untuk berlatih sejenak mengencangkan otot kegelnya. “Coba bu kita latih sebentar,” kata ku.
Aku memintanya menahan otot kegelnya ketika bongkahan pantatnya ku dorong ke atas sambil menarik nafas, dan melemaskannya ketika aku melepas dorongan tanganku ke pantatnya. Sampai hitungan ke tiga puluh dia masih mampu, selanjutnya di menyerah. “Capek dik,” katanya.
“Latihan otot ini kalau tidak ada stimulannya memang cepet cape,” kataku’
“Stimulannya apa to dik, kok latihan pake stimulan segala,” tanyanya penasaran.
“Nanti bu selesai pijet aku jelaskan,” kata ku sambil memintanya berbalik badan menjadi telentang.
Aku tau di dalam tubuh Bu Rini sedang membara api sekam birahinya. Dia kelihatannya berusaha menekan, tetapi setiap kali mengendur aku tambah stimulant, sehingga bukannya makin reda malah makin menjadi. Dalam tidur telentang Bu Rini masih berusaha menutup kedua payudaranya dengan sarung. Aku melihat ini hanya sikap basa-basinya saja, jadi kubiarkan saja dia mempertahankan martabatnya. Hal kecil gini kalau dikutik bisa jadi masalah besar. Misalnya kalau kukementari, sudah lah bu gak usah ditutupi, pasti akan muncul perlawanan dan otaknya memproses sehingga aku diposisikannya sebagai lawan yang harus diwaspadai.
Sebenarnya Bu Rini sudah pasrah, urat malunya tinggal sedikit saja yang nyambung, disentil aja urat itu bakal putus. Yang ada hasrat birahi yang membara, marak di dalam dadanya.
Aku mulai memijat bahunya dari bagian atas.Otot-otot di bahunya sudah melemas, tidak kaku seperti pertama kupegang tadi. Kemudian merayap mendekati dadanya. Aku berhenti sejenak. “ Bu BD nya mau diurut juga apa gak,” tanyaku.
“Apa bisa to susu diurut, biar apa to dik,” tanyanya penasaran.
“Biar lancar peredaran darahnya, kalau tidak lancar bisa menggumpal dan lama-lama bisa jadi bibit tumor,” kata ku berusaha bicara datar untuk meyakinkannya. Padahal ini 100 persen ini ngarang aja.
“Boleh lah dik,” katanya.
Kedua belah tanganku mulai menyelusup di bawah kain penutup dadanya. Dadanya sangat kenyal, bahkan gumpalannya cukup besar. Gerakanku mengurut, otomatis perlahan-lahan membuka semua penutup dadanya. Kutaksir Bu Rini berusia di atas 40, tetapi buah dadanya masih utuh menggumpal. Yang membedakannya dengan gadis ABG mungkin hanya putingnya yang lebih besar dan lingkaran aerolanya yang agak lebar. Kedua puting Bu Rini kelihatan menegang. Ketika ku sentuh dia mendesis. Itu adalah spontanitas yang kadang sulit dikendalikan atau disembunyikan, dari wanita yang terangsang. Aku menduga, perempuan yang mendesis adalah mereka yang mulai kurang mampu mengontrol perilakunya akibat rangsangan sex. Jika wanita bisa mengontrol perilakunya , pastilah malu memperdengarkan desahan, karena bunyi-bunyi itu dirasa bisa merendahkan martabat.
“Bu maaf ya aku sentuh pentilnya, ini untuk merangsang syaraf geli agar aliran listrik di semua syaraf yang berpusat di puting bisa merangsang peredaran darah ke seluruh bagian payudara. “kata ku.
“Wiss dik jangan sungkan ibu udah pasrah, kamu kelihatannya paham betul. Ibu malah jadi belajar ama kamu sekarang,” katanya pasrah.
Dengan kupilin dan kuusap dengan gerakan memutar, maka rangsangan birahi yang dirasakan Bu Rini makin kuat, dia makin gelisah dan menggelinjang, pinggulnya tidak bisa tenang selalu bergerak ke kiri dan kanan.
Setelah rangsangan kurasa maksimal aku pindah mengurut bagian perutnya, lalu ke bagian bawah perutnya. “ Bu kalau bagian ini kutekan ibu bisa kebelet pipis, coba rasakan,” kataku.
“Iya dik aku jadi kebelet pipis nih jangan-jangan sudah ada yang keluar sedikit nih, dik aku permisi dulu ke kamar mandi sebentar mau pipis,” kata Bu Rini buru-buru bangkit menuju kamar mandi. Dia melenggang hanya mengenakan celana dalam. Tidak ada lagi kebutuhan untuk menutup badannya dengan sarung. Sekembalinya dari kamar mandi dia juga dengan santai berjalan nobra hanya mengenakan celana dalam kembali berbaring.
“Sekarang udah lega dik, kok bisa gitu ya,” ujarnya.
Aku meneruskan mengurut bagian bawah perut Bu Rini dan sekali-kali menerobos masuk ke bawah celana dalamnya sampai menyentuh rambut kemaluannya. Bu Rini tampaknya tidak perduli lagi atas apa yang kulakukan, dia terbakar birahi dan mempercayai kemahiranku 100 persen. Aku juga makin berani mengurut sampai ke gundukan kemaluannya. Bahkan gundukan itu aku urut secara khusus..
“Bu maaf ya bu apa boleh saya teruskan mengurut di bagian sini,” tanya ku.
Bu Rini tidak berkomentar, hanya mengangguk saja . Aku mengurut terus sampai kebawah ke bagian selangkangannya. Sentuhan tangan pria di sekitar kemaluan, pastinya menimbulkan rangsangan yang makin dahsyat. Bu Rini kini sudah mendesah dan mendesis seperti layaknya melakukan hubungan badan. Celana dalamnya sekarang sudah melorot ke bawah sehingga tidak lagi menutupi segi tiga yang lebat ditumbuhi bulu. “ Dik buka aja kalau ngrepoti,” katanya tiba-tiba,
Dia mengangkat pinggulnya dan celananya kuloloskan ke bawah lepas dari kedua belah kakinya. Ibu Rini sudah telanjang bulat dihadapanku sambil matanya terpejam. Aku memusatkan urutan merangsang dirinya tanpa mengesankan aku sedang merangsang dirinya.
“ Gimana bu sekarang sudah selesai, perasaan ibu sekarang gimana,” tanya ku.
Ia tergugah, matanya terbuka sayu. “ Enak sih dik tapi aku jadi merinding dan kepalaku jadi rada pusing, tapi kayak bukan pusing seperti biasa, kenapa ini ya dik,” katanya.
“Coba ibu duduk membelakangiku, aku pijat sebentar bagian kepalanya”
Pertama aku memijat biasa kepalanya, tetapi kemudian aku mengurut bagian tengkuknya, dimana syaraf syaraf erotik juga banyak simpulnya di sana. Bu Rini seperti tidak bertenaga, dia menyandarkan badannya ke badan ku,seperti minta dipeluk.Aku jadi tidak bisa melakukan pijatan karena tidak ada ruang untuk melakukannya.
“Dik gimana tadi mau nerangkan cara latihan yang katanya pake stimulan segala,” katanya.
“Sebenarnya saya kurang enak menjelaskannya pada ibu, karena penjelasannya kurang pantas didengar,” kata ku dengan nada ragu.
“ Udah lah dik saya open aja sama adik, orang saya udah telanjang di depan kamu saja saya gak rasa risih lagi kok, ayo dong.,” katanya penuh harap.
“ Gini bu, latihan otot bagian dalam itu sebaiknya dilakukan oleh suami istri secara bersamaan, “ kata ku.
“Lha aku gak punya suami, jadi mau latihan sama siapa dik, latihannya gimana sih ayo dong tunjukin saya,” katanya makin berharap.
“Maaf ya bu itu latihannya sambil berhubungan badan,” kata ku
“Coba dik tunjukin caranya dik,” katanya sambil tiba-tiba membalikkan badan dan mebuka kausku lalu menciumi leher dan mukaku. Aku didorongnya hingga telentang, lalu celanaku dipelorotkan. Batangku yang dari tadi sudah mengeras sempurna langsung mencuat.
Bu Rini lalu tidur telentang di sebelahku,” Ayo dik coba dik,” katanya.
Aku duduk dan Bu Rini kuminta duduk di pangkuanku. Dia rendahkan badannya perlahan lahan sambil mencari posisi yang tepat agar penisku masuk ke lubang vaginanya. Begitu semua penisku terbenam dia langsung bergumam, “ Aduh enak-e,”
Bu Rini kuminta tenang dulu sebentar untuk mendengar instruksiku. Aku meminta dia mengedutkan otot bagian dalam tubuhnya seperti jika dia menahan kencing atau mengontraksi ketika akan melahirkan anak. Aku juga akan melakukan hal yang sama tetapi secara bergantian. Kuminta di mengedutkan otot kegelnya ketika sedang menarik nafas, dan mengendurkannya ketika menghembuskan nafas. “Coba ya bu sekarang,” kata ku.
Bu Rini mengedutkan ototnya, penisku serasa dicengkeram vaginanya, dan ketika dia mengendur, gantian aku mengeraskan penis. Kami terus melakukan olah tubuh itu sampai tiba-tiba Bu Rini mengerang, orgasme. Aku tidak lama kemudian juga dijalari kenikmatan yang memuncak, tetapi tidak sampai ejakulasi. Kami melanjutkan terus gerakan itu sampai sekitar 30 menit. Bu Rini entah berapa kali mencapai orgasme begitu juga aku. Tetapi tetap tidak ejakulasi. Bu Rini akhirnya minta berhenti karena katanya badannya lemas.
Kami sudahi permainan itu dan Bu Rini kubaringkan di tempat tidurnya dengan ditutupi selimut. AC kunyalakan kembali. Aku berpakaian dan mencium kening Bu Rini untuk berpamitan. Dia hanya mengangguk lemah dan membuka matanya dengan susah payah.
*********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar