Selasa, 19 Maret 2013

Lanjutan HAREM- Mengawal Tante-tante Girang Tour ke Eropa



Rencanaku mau berkeliling Eropa pada musim panas tahun ini jadi berubah total. Aku semula hanya berencana akan tur ke Eropa sendirian, tetapi ketika aku bercerita bahwa pada Tante bahwa bulan Juli nanti aku akan cuti sekitar 2 minggu, mereka mencecarku aku bakal pergi kemana.

Tanpa berharap apa-apa aku dengan polosnya bercerita akan keliling Eropa. Aku belum pernah ke Negara-negara di Eropa, tetapi dari cerita dan informasi yang kuketahui, banyak tempat menarik di sana.

Jika anda sebelumnya membaca rangkaian ceritaku berjudul “HAREM”, maka pasti paham bahwa aku bekerja sebagai therapis melalui cara refleksi dan hipnotis. Pasienku banyak terutama setelah aku berhasil mengurangi bobot tubuh mereka yang tambun. Aku sempat kewalahan melayani panggilan, sehingga untuk membatasi permintaan atau order, aku minta managerku Bu Rini untuk menaikkan biaya terapi. Namun setelah harga dinaikkan sampai tergolong mahal, permintaan terapi tidak berhenti. Cerita mengenai itu sudah saya uraikan di dalam cerita HAREM.

Kembali ke soal rencanaku akan keliling Eropa, ada sekitar 8 orang yang menyatakan berminat. Mereka tertarik berpergian bersamaku, karena mereka sebenarnya adalah pasien-pasienku yang sudah fanatik.
Jalan-jalan ke Eropa bagi mereka bukan hal baru. Mereka adalah ibu-ibu yang berlimpah harta, tetapi senang sekali berselingkuh denganku. Apa sebabnya mereka menyenangiku, mereka punya jawaban yang berbeda-beda. Soal itu aku tidak terlalu mau dipusingkan.

Pilihan waktu untuk perjalananku ke Eropa adalah musim panas bulan Juli. Pada musim panas, aku yang terbiasa hidup di alam tropis pasti tidak terlalu sulit menyesuaikan iklim. Lagi pula kalau di musim dingin pasti banyak keterbatasan, dan beban jadi berat. Sebab harus bawa baju tebal, over coat, wah banyaklah. Kalau musim panas kan bisa cuma pakai Tshirt.

Dari 8 ibu-ibu yang semula menyatakan akan ikut, akhirnya hanya 5 yang kemudian memastikan ikut. Mereka sangat antusias, dan kelihatannya masing-masing punya alasan untuk ikut bersamaku. Kelima ibu-ibu itu kebetulan sudah saling kenal, jadi aku agak ringan juga. Kalau tidak nanti bakal jadi kerjaan untuk mengakurkan antar sesama mereka.

Mereka berpamitan kepada suami mau tour ibu-ibu ke Eropa. Pastinya mereka menyembunyikan kesertaanku. Mauku memang begitu.

Mereka semuanya dari kalangan the haves.
Aku yang semula mau back peckers berubah jadi 1st class tour. Mereka bersikeras harus naik pesawat “SA” dan kelas satu pula. Hotel-hotelnya juga maunya bintang 5. Aku tidak bisa menolak kemauan itu, sebab mereka pula yang membayar semua biayaku. Akhirnya jadwal yang tadinya sudah tersusun rapi dan sebagian malah sudah book, jadi berantakan. Aku perlu 1 minggu untuk mengatur kembali jadwal dan hotel. Bagaimana aku tidak pening, mereka minta harus kamar suite dan kamar yang berdampingan, atau minimal satu lantai. Booking hotel yang begini maunya rada susah dan makan waktu. Tapi akhirnya semua teratasi dan penggetahuanku jadi makin mantap soal mengatur perjalanan.

Tujuan kami yang pertama adalah Amsterdam Belanda. Penerbangan dari Jakarta singgah dulu ke Singapura, lalu langsung ke Amsterdam. Sampai di sana pagi hari. Di Airport aku harus mencari limosin dengan 6 seat. Kami langsung menuju hotel yang kupilih di downtown. Karena aku tidak pernah ke Amsterdam, maka pemilihan hotel ya berdasarkan common sense aja.

Di Amsterdam jadwalnya 3 hari 2 malam. Kami mendapat 2 kamar suite yang besar dan masing-masing kamar ditambah 1 ekstra bed. Sebenarnya untuk aku tidak perlu ekstra bed, karena sofa di kamar bisa diubah menjadi bed juga. Namun karena kami chek in berenam, maka front Office mengatur ada ekstra bed di tiap kamar.

Baru juga masuk kamar, ibu-ibu sudah sibuk mau jalan-jalan ke departement store. Aku minta mereka bersabar untuk istirahat dulu sekitar 2 jam. Sebab badan dari daerah tropis harus disesuaikan dulu dengan iklim Eropa. Aku juga perlu waktu untuk mempelajari kota ini, agar ibu-ibu rombonganku nanti bisa tur dengan waktu yang efisien.

Aku sekamar dengan Tante Dina dan Tante Venny. Di kamar lain bergabung Tante Henny, Tante Vence dan Tante Shinta. Kamar yang kami tempati sangat mewah dan luas, ada ruang tamu dan ada kamar tidur. Interiornya bergaya klasik.

Sejak dari airport sampai waktu chek in aku rajin mengumpulkan brosur-brosur mengenai Amsterdam dan Belanda. Aku sendiri sudah punya catatan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Tapi dasar ibu-ibu tidak ada tempat yang menarik selain tempat belanja.

Aku mengambil kesempatan pertama untuk membersihkan diri dan BAB. Dari berangkat aku belum sempat buang hajat. Aku juga paham kalau aku menunggu mereka mandi, pasti lama Setelah badan segar aku turun ke lobby untuk memesan MPV, untuk mengangkut rombongan.

Sisa waktu pada hari pertama kami dihabiskan untuk mengunjungi beberapa tempat-tempat belanja. Kebetulan Tante Vence sudah beberapa kali ke Amsterdam, jadi dia tahu tempat-tempatnya.

Kami kembali ke kamar sekitar jam 9 malam. Badan sudah lelah sekali rasanya. Jetlag dan lelah dari city tour tadi bertumpuk. Aku segera membersihkan diri dan langsung berusaha tidur secepatnya. Sementara itu para mami-mami sedang heboh dengan barang yang mereka beli tadi. Suara kresek-kresek dari bungkusan rasanya nggak ada habis-habisnya. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur dan terbangun karena merasa suara di kamar ini makin ramai. Rupanya Tante Shinta, Tante Henny dan Tante Vence ada di kamar ini. Pantas kayak pasar, ramainya.

Aku hanya bisa memandangi mereka sambil memainkan remote TV berganti-ganti chanel. Acaranya kebanyakan pakai bahasa Belanda. Melihat pay TV juga bosan, karena film XXX gitu-gitu juga, dan banyak di Jakarta. Akhirnya aku nonton discovery.

“Jay, malam ini ada acara nggak?” tanya Tante Shinta.

Aku jawab malam ini acaranya istirahat. Akhirnya mereka kembali ke kamar. Tante Dina sudah masuk kamar mandi, Tante Venny masih beres-beres. Mereka berdua sohiban, jadi tidak mau dipisah.

Aku sempat tidur 3 jam dan badanku sudah terasa segar, tapi perut jadi lapar. Jam di meja kulihat sudah menunjukan jam 12 malam, kalau di Jakarta mungkin masih jam 6 pagi hari berikutnya. Jam tubuhku menuntut makan malam, padahal tadi sudah makan sebelum kembali ke hotel.

Aku melihat menu di lembar room service, yang menarik hanya steak. Rasa hanya itu saja yang aku mengerti, lainnya nggak jelas. Tante Veny kutawari makan dia hanya mau kentang goreng dan Tante Dina minta sandwich.

Pesanan kami datang dan dengan sigap Tante Dina yang baru selesai mandi langsung mengambil bill dan ditandatanganinya serta tak lupa menyelipkan tips 5 euro. Waiternya manggut-manggut lalu berucap terima kasih. Eh, dia ngerti bahasa Indonesia rupanya.

Perut kenyang, badan sudah segar dan mau tidur lagi belum ngantuk. Aku kembali terbenam menyaksikan acara televisi. Kali ini aku menyaksikan saluran HBO dan filmnya cukup bagus. Tante Dina yang duduk menemaniku di ruang tamu tidak bertahan lama, matanya mulai berat dan akhirnya dia beranjak ke tempat tidur. Tante Venny yang baru selesai mandi menemaniku sambil mengunyah kentang goreng. Aku menikmati bir dari mini bar.

Sofa tempat kami menonton TV kemudian aku ubah menjadi bed dan kami berdua menonton sambil tiduran. “ Kamu pijetin aku dong, Jay, kamu kan udah tidur tadi ya,“ kata dia.

Tante Venny lalu telungkup dan aku memulai ritual pijatan. Badan Tante Veny masih kencang meski usianya sudah menjelang 40. Dia termasuk pasienku yang berhasil menurunkan berat sekitar 15 kg. Kami sudah sering berhubungan badan, jadi tidak ada rasa sungkan lagi. Dia bahkan kalau lagi horny sering nelpon aku hanya untuk dipuaskan. Malam itu dia rupanya jadi horny setelah setengah jam dipijat.

“Pijatnya udahan ah, sekarang service aja,” katanya sambil menarik dan memelukku.

Aku segera tanggap. Aku memulai ritual mencumbu Tante Venny. Dengan sentuhan halus dan gerakan yang halus aku menciumi seluruh tubuhnya sampai seluruh bajunya terkupas. Ruang tamu sejak tadi sudah diredupkan, TV sudah mati. Babak pertama adalah oral. Tante Venny termasuk paling suka aku oral. Kata dia oralku halus. Sekitar 30 menit aku gunakan untuk mengoralnya di mencapai O dua kali. Tapi rupanya itu tidak cukup karena dia minta aku menyebadaninya juga. Kemauannya mana mungkin aku tolak, karena selain senjataku sudah siap dari tadi, dia juga termasuk yang membayari aku untuk perjalanan ini.

Aku tau kelemahan Tante Venny adalah pada posisi dog style. Sementara aku pada posisi itu agak kurang suka karena vagina rasanya kurang menjepit. Aku langsung mengatur posisi perempuan nungging. Dengan gerakan ganas aku pompa lubang vagina Tante Venny. Entah kenapa dia bisa langsung on dan mendengus-dengus kayak lembu. Aku memang berusaha menghunjam ke arah dinding dimana terletak G-spot.

Baru 10 menit Dia langsung ambruk karena Orgasmenya, yang kata dia enaknya sampai ke awang-awang. Karena lagi nungging meski dia jatuh tengkurap aku masih meneruskan pemompaan. Kuatur agar kedua kakinya rapat sehingga memberi dampak penisku lebih terjepit. Rasanya jadi nikmat sehingga aku pun akhirnya meletus, tetapi kusemprotkan di luar. Masalahnya aku kasihan pada Tante Venny yang sudah lemas dan ngantuk berat harus bersusah-susah membersihkan V-nya ke kamar mandi.

Sementara aku berasyik ria dengan Tante Venny, Tante Dina sudah mendengkur. Aku kembali berpakaian dan mau start tidur, tetapi rasa ngantuk belum ada.
Jadi melanjutkan nonton TV lagi. Badanku masih mengikuti jam Jakarta. Di Jakarta baru jam 9 pagi, jadi memang jam segitu mana bisa tidur.

Belum habis film yang aku tonton, Tante Dina sudah bangun. Dia tergopoh-gopoh menuju ke kamar mandi.
Kebelet pipis rupanya. Sekembali dari kamar mandi dia menghampiri Venny.

“Lho, anak ini kok tidur disini sih?“ kata bu Dina sambil membuka selimut. “Oh pantesan, rupanya dia udah supper (makan besar) duluan,” Tante Dina lalu menutup kembali selimut.

Dia lalu menyeretku masuk ke kamar.
Diambilnya parfum, badanku di semprot dari atas ke bawah, depan belakang. Aku menduga dia mau menghilangkan aroma Venny dari tubuhku. Apa boleh buat. Dikupasnya bajuku satu persatu, sampai bugil. Batang penisku belum berdiri, tapi sudah mulai terisi. Dalam posisi aku berdiri di samping tempat tidur dan dia duduk penisku diciuminya. Untung tadi sudah kubersihkan dengan sabun. Jadi pasti baunya wangi.

Penisku diciuminya dan mulai dikulum-kulum. Diperlakukan begitu, penisku pelan-pelan mengembang di dalam mulut Tante Dina. Tante yang satu ini suka sekali merangsang dirinya melalui merangsang lawan mainnya. Dia akan terangsang jika melihat lawan mainnya juga terangsang.

Mulanya dia mengulum pelan-pelan lalu sesekali menyedot. Selanjutnya dia menjilat-jilat buah zakarku dan kadang-kadang dicaploknya. Teganganku sudah bangun 100 persen. Melihat aku terangsang, Tante Dina makin giat mengulum bahkan terasa sekali dia sangat bernafsu. Aku mulai menurunkan dasternya dan meraba kedua dadanya yang montok.

Tante Dina lalu membantuku sehingga dia pun kini telanjang bulat. Aku diminta telentang lalu Tante Dina menciumi seluruh tubuhku. Aku menggeliat-geliat kegelian dan menahan rangsangan. Tante Dina jadi makin bersemangat. Dia rupanya sudah tidak tahan lagi lalu aku dikangkanginya. Bless batangku habis tertelan vagina Tante Dina. Dia lah yang mengendalikan permainan sampai akhirnya dia mencapai orgasme. Tante Dina jatuh telungkup di badanku sambil liang kemaluannya masih berkedut.

Aku ingin membalikkan posisi, tetapi ditahannya. Dia rupanya masih ingin di posisi ini menikmati sisa orgasmenya. Aku diam saja sambil mengelus-elus punggungnya. Setelah sekitar 10 menit panggul Tante Dina mulai bergerak naik turun. Mulanya bergerak pelan. Namun kemudian bergerak lebih cepat sampai kadang-kadang batangku terlepas. Dia memasukkan lagi dan kembali memompa. Tidak puas di posisi telungkup, Tante Dina bangkit lalu sambil duduk bersimpuh dia melakukan gerakan maju mundur. Aku berusaha menahan rangsangan dan dalam posisi WOT itu memang bisa kulakukan.

Tante Dina mulai bersuara agak keras sampai akhirnya dia ambruk kembali menimpa badanku. Peluhnya membasahi seluruh tubuh. Dia rupanya sudah mencapai titik lelah tertingginya, sehingga ketika kubalik dia pasrah.

Bergantilah sekarang aku mengendalikan keadaan. Aku mulai memompa dengan gerakan konstan. Tante Dina sudah pasrah dan diam seperti batang pisang. Namun titik sesnsitifnya di dalam vagina kena gerus terus menerus akhirnya dia mengimbangi gerakanku. Kami orgasme hampir bersamaan. Aku lebih dulu beberapa detik. Sementara penisku berkonstraksi di dalam vaginanya dia kesetrum ikut juga berkedut dan bahkan dia histeris lalu memelukku erat sekali.

Setelah reda aku bangkit dan ke kamar mandi dalam keadaan bugil sambil menenteng bajuku. Di kamar mandi aku membersihkan diri lalu berpakaian kembali. Handuk kecil yang ada di toilet aku basahi dengan air panas lalu kuperas sedikit. Sekujur badan Tante Dina aku seka untuk menghilangkan bekas keringat, aku balik untuk kedua kalinya dengan handuk panas dan kali ini khusus untuk membersihkan vagina Tante Dina yang meleleh. Aku bersihkan celah-celah vaginanya dengan handuk panas sampai tuntas dan bekas lelehan cairan bu Dina dan spermaku kututup dengan bedak talk.

Kami main di atas bed cover jadi sprei di tempat tidur masih tetap bersih. Tante Dina kagum dengan ketelatenanku. “Jay, sini.“ panggil bu Dina yang sudah membujur dan kututupi selimut. Diciumnya kedua pipiku, “Makasih ya, Jay, kamu perhatian sekali,” katanya yang tidak lama kemudian sudah mulai mendengkur. Tante Dina tidur dalam keadaan telanjang.

Tante Venny yang masih tertidur di ruang tamu kubangunkan lalu kubimbing untuk tidur di tempat tidur di samping Tante Dina. Dia masih ngantuk berat, sehingga tidak hirau ketika kubimbing dia dalam keadaan bugil.
Kumasukkan dia ke dalam selimut dan kucium pipinya kiri kanan. Wajahnya mengembang senyum, tidak lama dia juga lelap.

Aku masih ingin menonton TV, maka aku tiduran di ruang tamu. Aku tidak sadar sampai akhirnya tidur sambil memegang remote.

***

Aku terbangun dan pikiranku masih agak bingung. “Aku dimana ya sekarang?” ada sekitar 10 detik aku baru sadar. Sekarang ada di Amsterdam. Aku memimpin 5 tante untuk tour ke Eropa. Aku menjadi tour leader, tetapi aku sendiri belum pernah ke Eropa. Sementara itu peserta tourku semuanya sudah pernah ke Eropa, terutama ke Belanda.

Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Hari ini acaranya akan berkeliling ke beberapa kota dan ada satu acara yang sudah kuatur untuk ibu-ibu adalah pertama mengunjungi Heineken. Lalu makan siang di restoran Indonesia. Setelah itu mengunjungi pasar keju dan yang terakhir ada acara kejutan, yakni belajar masakan Belanda di desa dekat kincir angin.

Aku segera bebenah dan membersihkan badan. Rasanya badanku tidak terlalu berkeringat, tapi kalau tidak mandi rasanya rada risih juga. Tante Dina dan Tante Venny masih tidur nyenyak. Selesai aku mandi dan rapi dengan kaos oblong dan jeans, aku kembali memeriksa jadwal dan peta Belanda.

Ada deringan telepon. Suara itu membangunkan kedua ibu. Aku segera mengangkat dan sudah menduga pasti dari kamar sebelah. Tante Henny menanyakan, jam berapa kita turun sarapan. Aku memastikan masih ada satu setengah jam lagi, Mereka juga tanya soal acara hari ini.

Tante Dina bangkit dari tempat tidur dan heran melihat diriku. “Pagi-pagi gini kok sudah rapi rajin amat,” katanya sambil mengucek-ngucek mata. Di lihatnya Tante Venny masih anteng tidur. “Ayo bangun, udah siang. Liat tuh, si Jay udah rapi,” kata Tante Dina sambil menyingkap selimutnya. Semalam Tante Venny tidur telanjang, Tante Dina juga.

Tante Venny teriak kecil sambil tangannya menutup kedua payudaranya. Dia lalu berbalik dan berganti menarik selimut yang menutupi Tante Dina. Tante Dina yang sedang duduk di kasur tidak menyangka akan mendapat balasan secepat itu .

“Gila lu,” katanya menggerutu dan dia makin membuka selimut yang menutupi Tante Venny. Mereka akhirnya saling menelanjangi temannya.

“Ah, nggak perlu malu, si Jay udah puas lihat kita telanjang,“ kata Tante Venny yang lalu duduk telanjang sambil bersila. Tante Dina akhirnya juga duduk bersila sambil tetap bugil. Kedua ibu-ibu itu susunya montok-montok meski agak turun sedikit. Tapi cukup okelah untuk wanita di umur 40-an.

“Apa acara kita hari ini Jay?” tanya Tante Dina.

Aku minta mereka sudah siap satu jam setengah lagi untuk bersama-sama turun ke bawah sarapan pagi.
Tante Venny bergegas ke kamar mandi melenggang dengan tubuh bugilnya. Kelihatannya dia kebelet, nggak tahu kebelet pipis atau BAB.

Aku turun ke lobby untuk memastikan pesanan mobil yang akan kami carter hari ini sudah konfirm. Di lobby aku juga menelepon calon guide yang aku kontak sejak masih di Jakarta. Dia adalah gadis Belanda yang mendalami bahasa Indonesia. Usianya tidak terpaut jauh dengan aku. Semua sudah konfirm dan Vony, demikian nama guide gadis Belanda itu, akan tiba di hotel kami pukul 9 pagi.

Aku tidak kembali ke kamar, tetapi ke kamar sebelah dimana 3 wanita STW menginap. Sebelum masuk kamar aku menelepon dulu dari lobby. Tante Shinta rupanya yang mengangkat. Dia ternyata sudah siap dan rapi, tapi Tante Henny dan Tante Vence sedang membenahi barangnya mereka belum mandi dan hanya pakai celdam saja. Tante Shinta mengangkat teleponku di kamar mandi, jadi pembicaraannya tidak didengar teman sekamarnya. Aku minta dia membuka pintu kamarnya dan biarkan sedikit terbuka, aku akan masuk tiba-tiba.

Tidak sampai 5 menit aku sudah di depan kamar mereka. Dengan gerakan mengendap aku masuk dan langsung menuju kamar tidur. Tante Vence dan Tante Henny berteriak kaget sambil menutup buah dadanya. Gerakan reflek seorang wanita setengah telanjang. Setelah mereka tahu bahwa tamunya adalah aku, mereka lalu menggerutu.

“Sialan, gue kirain room boy,“ kata Tante Vence.

“Iya nih, pagi-pagi udah bikin jantung orang deg-degan,” kata Tante Henny.

Tante Shinta yang berdiri di belakangku tertawa geli sambil menutup mulut. “Ini idenya Jay lho, jangan nyalahin gue,” kata Tante Shinta.

Mereka lalu kembali biasa lagi membiarkan buah dadanya bergelantungan. Mereka sadar bahwa aku sudah sering melihat mereka telanjang dan bahkan sudah lebih dari itu.

Tante Henny mengemasi baju yang akan dipakainya lalu masuk kamar mandi. Aku menunggu mereka sambil memainkan remote control TV. Rupanya sofa di kamar mereka tidak digelar menjadi bed. Aku duduk santai menyaksikan chanel-chanel siaran pagi.

Tante Shinta sibuk dengan belanjaannya kemarin dan mengepaknya ke dalam koper. Tante Vence masih mondar-mandir hanya dengan celdam. Nonton TV lama-lama, aku jadi ngantuk.

Kaget mendadak sontak karena ada yang duduk dipangkuanku. Ketika kulihat ada tetek di depanku dan itu adalah Tante Vence. “Jay, sambil nunggu Tante Henny, pijetin dong tetekku, kamu kalo mijet bagian ini paling jago,” katanya.

Permintaannya tidak bisa kutolak. Acara nonton tv jadi terhalang oleh sepasang susu putih yang cukup menggelembung.

“Aduh, Jay. Enak, jay. Jilat juga dikit dong, Jay.“Tante Vence pagi-pagi gini sudah ingin dirangsang.

Tante Shinta yang tadi sibuk berbenah sudah duduk di sebelahku. Mulanya dia berkomentar mencela Tante Vence, pagi-pagi udah on. Tapi Tante Vence tidak perduli, malah menggeliat-geliat di pangkuanku.

Mungkin Tante Shinta terangsang juga sehingga tangannya kemudian meremas-remas penisku dari luar. Tidak puas dari luar tangannya dipaksakan menerobos celanaku dari atas. Penisku digenggamnya meski masih terhalang celana dalam. Dia lalu berusaha membuka celanaku sampai penisku bisa menikmati udara bebas. Penisku dikocok-kocok Tante Shinta. Aku jadi makin terangsang gara-gara kedua STW ini.

Aku lalu menawarkan kepada mereka berdua untuk sarapan O. Mereka tanya apa itu, Keduanya lalu kugelandang ke ruang tidur dan Tante Shinta kuminta membuka kembali bajunya dan Tante Vence membuka celananya. Tante Vence aku oral dan kucolok jariku ke dalam vaginanya. Berhubung dia sudah mendapat foreplay lama, maka cukup 2 menit sudah menggelepar nikmat.

Tante Shinta kutarik celana dalamnya dan aku mulai mengoral. Baru aja mulai, masuk Tante Henny. “Eh, kalian apa-apan pagi-pagi udah pada begituan?!” katanya sambil berjalan dengan hanya berbalut handuk.

Tante Shinta tidak perduli, dia malah mengerang-erang nikmat. Tante Henny sambil berdiri memperhatikan tingkah laku kami. Sedangkan Tante Vence tidur telentang seperti orang pingsan. Tante Shinta agak lama, lebih lama dari Tante Vence, baru dia menjerit karena orgasme.

“Ah, sialan kalian, gua jadi pengin juga nih, ayo sekarang giliran gua,” kata Tante Henny.

Tante Henny lalu mengambil posisi telentang di tempat tidur dan aku segera menggarap perlahan-lahan. Aku tidak memulai dari oral di vagina, tetapi menciumi dadanya, putingnya lalu turun ke selangkangannya. Setelah terasa ada cairan membasahi celah vagina Tante Henny, aku baru memulai ritual oral. Tante Henny sekarang mendesah-desah. Tapi karena aku melakukan oral yang maksimal terhadap titik didih Tante Henny, maka sekitar 5 menit dia sudah berteriak keenakan.

Selesai sudah 3 hamburger Big Mek aku lahap pagi ini. Cairan 3 wanita itu berselemak di sekitar mulutku. Aku bangkit dan merapikan pakaian lalu membersihkan diri ke kamar mandi. Sebelum aku meninggalkan kamar aku minta kepada mereka agar sudah turun ke bawah untuk sarapan pagi sebelum jam 9. Aku minta bawa barang yang perlu dibawa, agar selesai sarapan tidak perlu naik ke kamar lagi.

Ketika aku masuk ke kamarku, Tante Dina dan Tante Venny sudah rapi. Baru 1 hari belanjaannya sudah banyak. Aku kembali mengingatkan komitmen sebelum berangkat agar tidak membeli oleh-oleh dan belanja barang.
Nanti akan kerepotan dan berat. Apalagi perjalanan masih jauh dan panjang.

Mereka akhirnya berjanji tidak akan belanja lagi kecuali yang akan mereka pakai. Tempat perbelanjaan di depan masih banyak dan makin menarik, seperti Paris, Madrid, Berlin dan masih banyak lagi.

Kami lalu berbarengan keluar kamar. Sambil menuju lift kami mampir di kamar sebelah dan setelah di ting tong penghuninya keluar dengan tampang seger-seger. Di lobby aku sudah ditunggu sih Vonny, wuihh cakep nih bule dan supir limosin. Vonny kuajak masuk coffe shop untuk sarapan. Dia nolak, katanya sudah sarapan, tapi kemudian nurut juga ketika aku minta berkenalan dengan anggota rombongan.

“Buset dah si Jay, katanya belum pernah ke Belanda, tapi pagi-pagi gini udah disamperin cewek Belanda, mana cakep lagi,” goda Tante Henny.

Aku perkenalkan satu persatu anggota rombongan dan kepada anggota rombongan aku jelaskan bahwa Vonny adalah pemandu yang akan menjadi penerjemah sekaligus guide.

Selesai makan pagi sudah hampir jam 10, kami berangkat dengan mobil berkapasitas 8 orang. Wuiih mercy lagi, aku kagum. Sopirnya belanda totok, Vonny duduk di belakang bersama ibu-ibu dan aku duduk di depan mendampingi Sopir.

Dengan lagak bahasa Belanda, aku tegur supir, “Goedemorgen,” disambut juga dengan bahasa belanda selamat pagi. “Hu hate met yo,” dijawab ”Gud,” Lalu dia tanya aku apa bisa bahasa belanda, “Mbeitje.” Ya, sedikit aja yang kutahu.

Teguran ini hanya untuk mencairkan suasana agar tidak kaku dengan pak Sopir. Di belakang, si bule Vonny sedang diinterview sama mak-mak, sampai dia bingung mau jawab, abis semua pada nanya.

Kami mengunjungi museum Heineken, pabrik bir yang punya museum. Aku di sana puas juga menenggak bir. Dari sana kami ke sex museum. Wah, ibu-ibu pada cekikikan melihat berbagai alat peraga. Kalau mereka pergi ama suami dan pasti ada anak-anak, mana mungkin kunjungan ke tempat ginian.

Perut sudah mulai keroncongan, aku minta pak Sopir untuk menuju salah satu restoran Indonesia di Amsterdam. Untungnya waiternya banyak orang Indonesia, jadi komunikasi gak ribet.

”Eh, lha kok ada gado-gado?“ kata Tante Shinta.

Setelah kenyang, aku minta pak Sopir mengarahkan kendaraan agak keluar kota menuju pasar Keju. Disana berbagai macam keju di jajakan. Ibu-ibu sudah histeris ingin membeli bermacam-macam keju, tapi kuingatkan bahwa perjalanan masih panjang. Mereka akhirnya membeli ala kadarnya untuk sekedar icip-icip.

Ada satu desa apa namanya ya, aku lupa.
Aku sudah janjian di sana ada acara belajar memasak masakan Belanda. Pemandangan luar kota yang menawan dengan kincir angin. Sebuah rumah yang kami tuju kebetulan dekat pula dengan kincir.

Kami disambut dan rombongan di bawa ke bagian belakang bangunan. Di sana rupanya sudah disiapkan berbagai bahan makanan dan bahan kue. Pemiliknya ibu-ibu gendut Belanda totok, tapi masih bisa bahasa Inggris. Di sinilah Vonny berperan, Ia menterjemahkan penjelasan mengenai resep dan cara memasak. Sementara mereka sibuk dan asyik, aku pinjam sepeda dan berkeliling desa dengan sepeda.

Dua jam lebih mereka asyik dengan berbagai resep makanan dan kue. Sementara si Vonny bukan hanya sibuk menterjemahkan, tetapi juga repot menulis resep yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Wajah puas terlihat dari air muka anggota rombonganku. Mereka memuji acara yang aku susun hari ini. Aku katanya berbakat jadi tour leader. Beberapa dari mereka meski sering ke belanda, tetapi fokus perhatiannya hanya belanja dan tempat tempat yang umumnya dikunjungi turis. Sedang acara yang aku susun sebisa mungkin mereka bisa merasakan kehidupan Belanda. Nanti kalau kembali lagi dari tour sebelum bertolak kembali ke tanah air bakal ada acara yang heboh dan gak mungkin mereka mendapatkannya tanpa bersamaku. Aku akan menulisnya nanti, ikuti saja terus kisahku.

Setelah kembali ke hotel, anggota rombonganku menyarankan agar Vonny di ajak saja keliling Eropa, dia orangnya baik dan smart. Aku lalu mengatakan bahwa masih ada Vonny-Vonny lain yang menunggu di masing-masing negara, tenang aja.

Setelah mandi dan badan segar lagi, ibu-ibu menanyakan apa acara malam ini. Aku jelaskan bahwa malam ini kita perlu cepat tidur, sebab besok pagi sekali harus sudah berada di stasiun kereta untuk menuju Brusel. Kami makan malam di restoran di hotel yang ternyata menghidangkan menu prasmanan dari berbagai selera, dari mulai oriental sampai Eropa.

Jam 9 kami sudah kembali ke kamar masing-masing. Mataku masih segar belum mengantuk, Tante Henny dan Tante Venny juga begitu. Mereka hanya berganti baju tidur, sedang aku memakai celana pendek dan kaus oblong. Bel kamar berbunyi dan aku buru-buru membukakan pintu. Ternyata 3 tante-tante tadi langsung menyerbu masuk kamar. Suasana jadi seperti pasar, semua berceloteh.

“Eh, di Amsterdam ini tontonan life shownya katanya bagus lho, apa kita nggak nonton?“ tanya Tante Shinta.

Aku menjelaskan daerah lampu merah tempat pertunjukan itu agak rawan. Aku khawatir kalau kita kesana malah diperas. Mereka akhirnya paham, mengapa aku tidak mengacarakan melihat live show.

“Udahlah, dari pada nonton live show di luar, di sini aja kita buat live show,” kata Tante Vence. Ibu-ibu tidak mengerti, aku juga nggak paham. “Gini, kita buat acara live show, si Jay pemainnya dengan salah satu dari kita,” Tante Vence menjelaskan.

Tak kusangka semua emak-emak itu malah antusias dan setuju dengan gagasan Tante Vence. Aku lalu berpikir bagaimana cara memilihnya. Tiba-tiba masuk ide buat arisan. Maksudnya aku membuat gulungan kertas dan di dalam kertas itu aku tulis no urut 1 sampai 5. Siapa yang dapat no 1 dialah yang akan menjadi pasanganku pertama. Ok, semua setuju dan mulai lah dikocok.


Pemegang No. 1 ternyata Tante Henny. Dia tersipu-sipu malu. Yang lainnya bertepuk tangan. Aku lalu mengatur pentas yaitu sofa bed dan di sekelilingnya kugelar bed cover sehingga ibu-ibu bisa nonton sambil lesehan di bawah.

Lagu dari saluran hotel dikeraskan volumenya. Aku memilih lagu klasik. Sebelum aku memulai pertunjukan aku meminta suasana yang seimbang. Semua penonton kuminta juga telanjang. Semua setuju lalu buka baju. Jadilah kami berenam bugil. Aku berbisik kepada Tante Henny, agar dia pura-pura mendesah dan agak mengeraskan suaranya. Ini maksudnya untuk membuat para penonton iri dan mudah-mudahan mereka akan tersiksa karena terangsang. Tante Henny setuju dan mengangguk.

Aku masuk ke kamar mandi dan menyabuni kemaluanku sampai wangi, Tante Henny juga melakukan hal yang sama. Kami keluar dari kamar mandi bergandengan dengan telanjang.

Kami duduk di tepi sofa bed, lalu aku mulai mencium bibir Tante Henny. Dari posisi duduk, akhirnya Tante Henny menarik tubuhku sampai aku menindih badannya. Aku entah berbakat, atau entah karena dorongan ingin mengiming-imingi penonton, bisa berlagak main dengan hot.

Tante Henny yang aku ciumi kedua putingnya mulai menggeliat-geliat sambil mendesis dan mengerang. Saranku diikutinya. Dengan gerakan lambat mengikuti irama lagu klasik aku mulai menciumi kemaluannya. Tante Henny makin mengerang keras. Dia ternyata berbakat pula. Aku memutar posisi sehingga kami jadi 69. Tante Henny melumat batangku sambil bersuara seperti menyedot kuah di sendok, atau seperti orang kepedasan.

Para penonton aku lirik mulai terpaku dan semuanya diam. Sambil aku mengoral Tante Henny jariku masuk ke dalam vaginanya. Kami main hampir 30 menit lalu Tante Henny berteriak dengan irama yang sangat merangsang. Dia benar-benar mencapai orgasme. Aku mengubah posisi Tante Henny agar kami bisa bermain dog style, lalu beganti posisi WOT, berubah lagi Tante Henny duduk di pangkuanku.
Kami bermain sampai sekitar 10 posisi kamasutra.

Kulirik ibu-ibu penonton mulai gelisah. Kembali ke posisi MOT, aku menggnjot keras sambil bersuara dan Tante Henny juga melenguh aku hampir mencapai tapi udah keburu di dahului Tante Henny di mengerang panjang sekali dan aku terpaksa berhenti sejenak. Setelah O nya reda aku kembali menggenjot dengan kasar dan ketika akan ejakulasi kutarik batangku dan kulepas di atas perut Tante Henny.

Semua penonton tepuk tangan. Padahal sebelumnya aku melirik mereka menekan-nekan susunya dan tangannya menangkup di kemaluan. Horny juga para penonton rupanya.

“Wah, sialan. Shownya merangsang bener,” kata Tante Vence.

“Iya nih, gua sampai becek,” Tante Venny menimpali.

Aku bangkit ke kamar mandi dan membersihkan batangku dengan sabun dan menyirami tubuhku dengan cologne.
Aku kembali dengan batang yang gontai lemas tergantung. Aku lalu menanyanyakan apa show mau dilanjutkan.

“Emang situ masih kuat?“ tanya Tante Shinta.

“Kita lihat aja nanti, saya siap menghadapi 5 musuh sekaligus,“ kataku sumbar.

“Lanjut,” kata Tante Dina.

Aku lalu menanyakan siapa yang tadi dapat gulungan no 2.
Ternyata Tante Vence. Dia kupersilahkan naik ke panggung dan kuminta mengoralku agar penisku bangkit. Dia menurut, karena dia rupanya sudah terangsang berat. Ini terasa dari gerakannya mengoralku dengan semangat. Batangku yang sedang loyo, di sedotnya kuat-kuat seperti menyedot darah dari bagian tubuh lain agar berkumpul ke penis. Aku mulai berakting mengerang-erang.

“Ayo, Ven, sikat terus,“ kata Tante Shinta.

Barangku pelan-pelan mulai bangun sampai akhirnya keras cukup sempurna. Aku merasa tidak perlu mengoral Tante Vence. Aku langsung memeluk dia dan mengatur agar dia berada di atas duduk besimpuh.
Gerakannya nggak karuan karena dia juga mengerang sambil meremas sendiri susunya. Permainan dengan Tante Vence cukup 10 menit, dia sudah game dan ambruk.

Aku merasa ejakulasiku masih lama. Aku lupa menjelaskan sebelum ini bahwa selain aku makin mahir melakukan terapi frefleksi dan hipnoterapi, aku juga mendalami latihan pernafasan. Olah nafas ini sangat membantu pengendalian diri, termasuk pengendalian ejakulasi.

Berikutnya No 3 adalah Tante Dina. Dia mengambil posisi rebah dan aku mulai merangkak diatas tubuhnya. Aku memulainya dengan menciumi kedua putingnya. Tante Dina yang susunya besar, mendesis-desis. Batang penisku yang dari tadi menunggu giliran segera kubenamkan ke tubuh Tante Dina. Dia berteriak ketika batangku menguak rongga vaginanya. Dia berteriak bukan menunjukan rasa sakit, tetapi di berteriak karena enak.

Aku mulai menggenjot dengan gerakan lamban sambil mencari posisi yang paling dirasa enak oleh Tante Dina. Ketika aku baca responnya dia mendesis-desis maka aku berusaha bertahan pada posisi itu. Gerakan makin kupercepat dan sekitar 7 menit Tante Dina sudah menjerit orgasme.

Pemegang No 4 adalah Tante Venny. Dia langsung tidur telentang dan kedua kakinya ditekuk.
Aku diminta mengoralnya dulu. Apa kata para tuan putri, aku harus menurutinya. Aku segera mengoral. Clitorisnya sudah mengeras. Aku lalu memusatkan ke benjolan itu. Dia mengerang dan menggelinjang ketika lidahku menyapu clitnya. Aku juga memasukkan jariku ke dalam sambil mengelus-elus liang vaginanya. Belum ada 5 menit dan belum juga orgasme dia sudah menarik badanku ke atas agar aku menindihnya dan dia buru-buru memasukkan batangku ke dalam vaginanya.

Begitu terbenam aku segera mengenjotnya. Dia mengerang berulang ulang dan tiba-tiba menarik pantatku kuat sekali lalu dia melenguh panjang. Beliau nyampe dan tepuk tangan kembali terdengar.

“Jay, cuci dulu, Jay,” kata Tante Shinta yang memegang undian no 5. Aku tidak membantah dan berjalan ke kamar mandi membersihkan sekitar kemaluanku dengan sabun sampai dua kali dan badanku kembali kusiram cologne. Aroma segar memancar dari tubuhku sehingga semangatku bangkit kembali.

Tante Shinta memintaku tidur telentang dia akan melakukan woman domination.
Dijilatinya kedua putingku lalu perutku lalu paha dan turun ke lutut. Lutut adalah kelemahanku. Aku merasa sangat kegelian jika lutut dijilati begini, aku menggelinjang kegelian. Dia makin bersemangat aku makin kegelian. Untunglah dia segera naik dan mengulum penisku. Aku mulai berakting dengan suara erangan. Tante Shinta makin semangat. Rupanya dia jadi tambah on sehingga dia segera mendudukiku dan batangku ditelan oleh vaginanya.

Tante Shinta bergerak liar maju mundur dan naik turun sambil mengerang-erang sendiri. Hampir 10 menit dia memacuku sampai akhirnya dia jatuh lemas telungkup menindihku. Vaginanya terasa berkedut berkali-kali.

Jika aku turuti nafsuku, aku ingin juga berejakulasi. Namun jika aku sampai ejakulasi, maka badanku akan lemas dan energi untuk menggembala ibu-ibu ini jadi lemah. Aku terpaksa menahan diri tidak berejakulasi. Ilmu mengendalikan diri seperti ini memang paling berat diantara mengendalikan nafsu-nafsu lainnya. Namun karena tekadku keras akhirnya aku berhenti tanpa ejakulasi.

Semua ibu-ibu lawan mainku mengagumiku. Mereka mengelus-elus rambutku dan menyatakan salut atas keperkasaanku. Aku sebetulnya bukan perkasa. Aku berusaha tidak menikmati permainan ini dan larut dengan nafsu dan juga mengendalikan pernafasanku untuk menahan gejolak birahi yang terus mendongkrak-dongkrak. Seluruh live show berakhir dalam waktu sekitar 2 jam.

“Wah, ini pertunjukannya lebih hebat, kita pun bisa terlibat, gratis lagi,” kata Tante Shinta yang sudah kembali berpakaian.

Mereka sudah kembali berpakaian sementara aku masih bugil dengan senjata terus menodong kemana-mana.
Untuk menentramkannya, aku masuk ke kamar mandi dan mandi dengan air dingin. Airnya dingin sekali, sampai batangku jadi ciut pula.

Aku merasa segar dan ketika aku keluar dari kamar mandi kamar sudah temaram dan ibu-ibu dari kamar sebelah sudah kembali. Tante Dina memanggilku. Aku dimintanya tidur diantara dia dan Venny. Aku tak kuasa menolak.

Tapi sebelumnya aku harus telpon ke front office agar morning call jam 5 pagi. Ke kamar sebelah juga kuminta morning call jam 5 pagi. Sebab besok kami dijadwalkan berangkat dengan kereta api Thalys ke Brussel jam 7 pagi kurang 4 menit.

Aku jatuh tertidur lelap dipeluk dari kanan kiri oleh dua wanita yang mengagumiku.

***

Aku terbangun gara-gara morning call. Jam 5 pagi. Hembusan AC terasa dingin, tetapi aku harus bangun karena beban tanggung jawab jadi tour leader, menggembala 5 ibu-ibu keliling Eropa. Tante Dina yang tidur di sebelah kiriku langsung duduk dan Tante Venny di kiriku masih ingin menikmati bonus sedikit menambah tidurnya.

Aku langsung bersiap dan menyalakan lampu sehingga kamar jadi terang benderang. Kamar mandi adalah tujuan pertama. Aku berusaha buang hajat besar, meski belum ada desakan. Mau mandi rasanya masih dingin dan badan juga terasa masih bersih, akibat tadi malam mandi bersih setelah marathon dengan 5 ibu-ibu.

Aku minta bu Dina segera berkemas dan Tante Venny juga kubangunkan agar tidak menambah bonus tidurnya. Kamar sebelah yang dihuni Tante Shinta, Tante Henny dan Tante Vence kutelepon dan aku perlu mencek kesiapan mereka.

Tante Shinta memang paling rajin, dia sudah siap. Aku minta jam 6 mereka sudah turun untuk bersiap berangkat ke stasiun.
Setelah memeriksa kesiapan pasukan, aku turun ke bawah dan memesan 2 taksi.

Kami tiba di stasiun Amsterdam Central sekitar pukul 6.30. Udara masih dingin. Ini adalah yang pertama kali aku ke stasiun kereta api di Amsterdam. Tante Vence yang rada lancar berbahasa Belanda aku minta bertanya di sebelah mana kereta yang menuju Brussel.

Setelah melalui perjuangan, kami akhirnya menempati kursi di dalam kereta cepat Thalys. Hatiku lega. Karena sejauh ini lancar dan aku ingin beristirahat sejenak. Menurut jadwal perjalanan dari Amsterdam ke Brussel 2 jam 49 menit. Ah 3 jam juga nggak apa-apa, beda-beda tipis. Tapi ketika jam di stasiun menunjukkan 6.56 kereta mulai bergerak.
Kagum juga aku sampai ke menit bisa ditepati oleh kereta cepat ini. Kereta makin lama makin cepat sampai aku susah melihat keadaan di sekitar rel. Aku hanya bisa melihat pemandangan yang jauh. Katanya kereta ini bergerak dengan kecepatan 250 km per jam.

Dari pada bengong dan pusing lihat pohon yang berkelebat-kelebat, aku pilih tidur. Belum sejam enak tidur kami dibangunkan dengan hidangan sarapan pagi. Lumayan juga sarapannya cukup mewah.

Kami tiba di Stasiun Brussel Midi, mungkin ini stasiun pusatnya Brussel jam 9.45.
Ibu-ibu sambil jalan menuju pintu keluar udah mulai ribut. “Kita kemana ini?” Aku jawab ke hotel. Di pintu keluar stasiun ada papan nama terpampang nama ku. Aku memang minta dijemput oleh hotel. Meski aku sudah melihat penjemputnya, ibu-ibu seperti biasa sudah ribut saling berebut menunjuk penjemputnya seperti dia sendiri aja yang melihat.

Ibukota Eropa Barat ini agak kurang aman karena taksinya suka nakal dan minta bayaran lebih mahal dari seharusnya. Kalau aku naik taksi pasti harus pakai dua taksi. Nah di taksi kedua inilah aku khawatir karena isinya ibu-ibu semua. Biar agak mahal akhirnya aku memang memutuskan menyewa limosin dengan kapasitas 8 orang.

Aku duduk di depan dan mulai melakukan kontak dengan supir. Dia kelihatannya lancar berbahasa Prancis dari pada Inggris. Ngobrol sana-ngobrol sini , ternyata dia berasal dari Iran. Langsung aku lemparkan salam, Assalamualaikum. Dia kaget langsung menjawab Waalaikumsalam. Cairlah suasana. Si sopir Iran ini seterusnya akan membawa kami tour di Brussel ini.

Tiba di Hotel Sh yang berada di pusat bisnis di Brussel. Hotel ini aku pilih juga karena di seberangnya ada pusat perbelanjaan Rue Neuve, Meskipun tidak untuk belanja mereka pasti senang dengan cuci mata di situ.

Seperti biasa kami menempati 2 kamar suite. Kamar di hotel ini besar sekali dan bednya dua buah tapi rasanya untuk orang Indonesia setiap bednya bisa ditiduri 2 orang. Emang mahal sih, kalau nggak salah per malamnya 400 euro. Tapi bagi ibu-ibu ini nggak ada masalah, duit mereka nggak berseri.

Kami terlalu pagi untuk chek in, karena mereka menerapkan chek in adalah jam 12 keatas. Kami menyelesaikan dulu masalah chek ini meski belum dapat kamar dan barang-barang kami titipkan di front office. Tentu sudah di pesan bahwa koper-koper mana saja yang sekamar.

Seorang gadis manis tingginya mungkin 175, rambutnya pirang tergopoh-gopoh lalu bicara sebentar dengan petugas FO. Si petugas menunjuk aku. Dia lalu mendatangiku dan memastikan bahwa aku Jay. “Maaf, saya terlambat, ada masalah sedikit tadi,” katanya dalam bahasa Indonesia yang agak terbata-bata. Dia adalah Rachel, pemandu kami, mahasiswi S-2 yang sedang mendalami budaya Indonesia.

Aku segera mengenalkan Rachel dengan anggota rombonganku.
“Wah, ayune,” kata Tante Shinta.

Rachel berusaha menyimak apa yang dimaksud bu Shinta, tapi dia bingung. Pasti aja bingung, orang Tante Shinta berkomentar dalam bahasa Jawa. Aku terjemahkan lalu dia menjawab, “terima kasih.”

Aku membrief sebentar Rachel mengenai acara kami selama di Brussel, dia rupanya sudah paham dan mengenal tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Aku meminta ibu-ibu yang perlu mengosongkan kandung kemih agar mengencingi hotel ini dulu. Untuk acara ngencingi hotel di wcnya saja aku harus menunggu sekitar 30 menit.

Selanjutnya dengan mini bus mercy yang membawa kami dari stasiun tadi langsung bertolak ke Museum Coklat. Jaraknya tidak terlalu jauh dan kami sudah tiba di sana. Sekitar 1 jam kami di sana . Sebetulnya tidak terlalu banyak yang dilihat, tetapi acara icip-icip coklat itu jadi waktunya molor sampai sejam.

Aku kembali menggiring para stw untuk kembali ke mobil, tujuan berikutnya adalah mengunjungi semacam home industri yang membuat coklat . Letaknya agak di luar kota sedikit dan agaknya seperti pedesaan. Kedatangan kami memang sudah di tunggu pemiliknya. Kami disalaminya satu persatu dan tak lupa dia memberi welcome chocolate. Sebelum masuk ke dapur pembuatannya dia menjelaskan sebentar mengenai jenis-jenis coklat yang diproduksinya. Dia pun lalu menjanjikan akan mengajari ibu-ibu cara membuat coklat.

Namanya home industri, tetapi ruang produksinya besar dan peralatannya modern . Setiap jenis coklat yang dibuat di situ kami dipersilahkan mencicipi. Dasar emak-emak, setiap coklat yang disodorkan langsung di sambar. Ada pula yang diam-diam disimpan dalam tasnya. Si Rachel trampil benar dia menerjemahkan keterangan toke coklat itu.

Akhirnya kami di bawa ke satu ruangan dan di situ sudah disiapkan perlengkapan untuk membuat bahan coklat. Ibu-ibu jadi antusias memperhatikan cara membuat coklat, sedang aku menikmati pemandangan betapa indahnya tubuh si Rachel.

Aku hanya kesal dan menerima betapa bodohnya bangsaku. Coklat yang diproduksi disini berasal dari Indonesia. Tapi kenapa ya makanan atau kue asli Indonesia dari ujung Sabang sampai ke Merauke tidak ada yang menggunakan coklat. Maksudku masakan original Indonesia. Eh malah bule-bule di sini yang pinter mengolah coklat.

Hampir dua jam juga kami habiskan untuk menyimak coklat Belgia. Negara ini nampaknya sangat terkenal produksi coklatnya. Aku mengenal coklat Belgia hanya merk Leonidas.

Setelah bertolak dari pabrik coklat aku menunjukkan alamat kepada si sopir Iran satu restoran yang khas dengan masakan tradisional Belgia. Dia paham dan mengangguk-angguk. Kami tiba di satu restoran yang cukup besar. Wah kayak restoran di hotel mewah.

Di restoran ini si Rachel jadi repot, dia menjelaskan satu persatu menu yang tertulis di daftar menu. Kami akhirnya memesan makanan yang seragam. Abis bingung juga Rasanya rada aneh dan kurang pas di lidah kami, masalahnya lidah yang di instal selalu harus ada rasa pedasnya sekarang cuma berasa asin dan lada saja.

Acara berikutnya adalah yang dinanti-nanti para emak yaitu jalan ke mall. Aku kurang bersemangat tapi apa boleh buat. Kami selesai berputar-putar di situ sekitar jam 5 sore langsung balik ke Hotel. Ternyata hotelnya ada di seberang jalan.


Sampai di Front office, key card kami sudah disiapkan dan office boy mengantar ke kamar kami. Sebetulnya tanpa diantar kami juga bisa mencari sendiri. Mungkin office boy dalam rangka usaha, maksudnya usaha supaya dapat ganjaran tips. Setelah kami periksa barang bawaan kami lengkap dan tidak ada yang tertukar di kamar sebelah beliau pun menerima tips.

Rachel ikut ke kamar kami dan dia ternyata supel dan suka ngobrol. Mungkin dia sambil memahami tabiat orang Indonesia. Tante Dina segera membereskan fee untuk Rachel. Namun Tante Dina menawari Rachel, jika dia tidak keberatan untuk mendampingi ibu-ibu jalan ke tempat shoping sampai jam 8 nanti. Aduh, aku mabok kalau harus mengawal para ibu-ibu ini berkeliling tempat perbelanjaan. Para ibu-ibu tidak keberatan ketika aku absen tidak mendampingi mereka kali ini. Entah kemana mereka beramai-ramai turun lagi bersama Rachel. Aku memilih tidur setelah sebelumnya menenggak bir dari mini bar.

Aku terbangun ketika kamar mulai ramai, mereka baru kembali. Aneh juga mereka tidak bawa barang belanjaan. Baguslah, permintaanku akhirnya dipenuhi. Tapi Rachel kok masih cekikan ama ibu-ibu. Tante Dina meminta aku berpakaian rapi pakai dasi segala dan jas. Acara malam ini dinner di hotel.

Emang repot banget nih bule, mau makan aja pakai syarat jas segala. Aku tidak punya jas, tapi ada jacket yang kalau dipasangi dasi masih pantas. Setengah jam kemudian kami siap turun. Wah ibu-ibu jadi kelihatan kembali wibawanya. Kalau melihat begini, pastilah aku nggak berani menggoda apalagi tiarap diatas mereka. Tapi nyatanya kan udah berkali-kali.

Semua tamu di restoran hotel ini memang mengenakan dasi, bahkan umumnya dasi kupu-kupu dengan stelan jas black tie. Kami mengelilingi meja oval, rupanya Rachel sudah memesannya tadi atas permintaan ibu-ibu. Di depanku perangkat makannya banyak sekali garpunya ada 2 pisau ada 3 mungkin tapi sendoknya cuma satu dan itu pun kecil. Piring ada di depan, diatas, di kiri. Ini makan yang bikin aku nggak PD. Belum pasti enak, tapi yang pasti adalah repot dan mahal.

Aku duduk bersanding dengan Rachel. Kata Tante Dina biar ngajari aku cara makan mulai pakai pisau yang mana dan minumnya yang sebelah mana, jangan sampai salah minuman orang diminum, malu-maluin nanti, katanya.
Makannya emang repot, entah apa aja pokoknya yang terhidang di depanku sebisa–bisanya aku santap ludes. Bagiku yang menarik adalah Red wine yang selalu penuh di depanku.

Setelah perut kenyang dan seri hidangan selesai, kami tidak segera bangkit. Rehat sebentar menikmati alunan musik klasik yang ditampilkan secara live. Suaranya tidak terlalu keras, sehingga kami masih bisa mengobrol santai.

“Jay, malam ini kamu menemani Rachel, dia mau ikut nginap di kamar kita, “ kata Tante Venny.

Rachel senyum-senyum. Aku berpikir, apalagi yang direkayasa sama mami-mami ini. Rachel lalu memeluk pundakku dan menepuk-nepuknya.

Besok pagi tidak perlu bangun terlalu pagi seperti tadi. Kami besok akan ke Paris dengan kereta api.
Aku sejak di Jakarta sudah memesan tiket untuk berangkat agak siang.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, Tante Dina mendekatiku .
Dia membisik, “Cewek bule itu ikut nginep di kamar kita, kamu tidur sama dia. Gimana, kamu mau kan?” katanya.

“Kalau nanti terjadi sesuatu yang diinginkan gimana?” tanyaku sambil senyum.

Tante Dina tidak menjawab hanya mencubit.

Sesampai di kamar, aku menenggak bir lagi. Negara ini terkenal produk birnya. Jadi se
tiap kali aku menghirup minuman berbuih ini selalu berbeda-beda merk. Rasanya ada yang manis, tapi ada juga yang rada asem. Aku tak pasti rasa asem itu karena aslinya memang begitu, apa sudah mulai rusak.  Ah, biarkan saja, yang penting hajar, mumpung gratis lagi.

Si Rachel, minta izin mau mandi. Tante Dina lalu menawarkan kaus oblong putih bercorak Bali. Kelihatannya masih baru dengan celana pendek bermotif Bali juga. Bule rupanya rajin mandi juga ya. Padahal aku seharian ini belum mandi.


Selesai mandi aku terkesiap melihat Rachel pakai kaus Bali. Bukan karena kausnya bagus, tetapi pentilnya itu lho, menerawang. Mana teteknya gede pula, sampai kaus Bali itu jadi sempit di bagian dada.

Rachel cuek aja meski aku menatap dadanya. Dasar bule, kemaluannya cuma dibawah. Malah mungkin di Eropa kemaluan sudah berubah jadi “kebanggaan” mungkin.

Kami ngobrol di ruang tamu sambil menikmati campagne. Rasanya manis seperti brem Bali. Ngobrol kesana kemari, sampai ibu-ibu di kamar sebelah kemudian ikut bergabung. Cewek kalau sudah ngrumpi ramainya melebihi pasar malam.

Semua menenggak campagne, tapi Rachel dia sudah hampir 2 gelas diteguknya. Mukanya mulai agak merah dan ngomong jadi makin lancar. Ibu Dina lalu angkat bicara. Dia mengatakan bahwa Rachel akan menghibur dengan tari-tarian. Aku diminta mengambil bed cover dan di gelar, Kursi-kursi dipinggirkan dan kami duduk melingkar. Lampu di atur remang-remang dan kembali musik dihidupkan dengan suara agak keras.

“Ayo Rachel, mulai,” kata Tante Dina.

Aku tidak tahu ada rencana beginian, pantes aja si Rachel diminta menginap, rupanya dia punya ketrampilan lain. Rachel tanpa canggung berdiri di tengah lalu meliuk-liukkan badannya. Gerakkannya makin sensual dan dia mulai mengangkat kausnya lalu perlahan-lahan mencopotnya. Ibu-ibu semua bertepuk, aku juga terpaksa ikut, tapi berpikir ini ujungnya apa.

Dengan keadaan nobra, Rachel kelihatan sexy . Susunya yang besar dengan puting merah jambu. Giliran berikutnya di mulai menurunkan celana luar lalu celana dalamnya juga dibuka. Rachel sudah menari telanjang bulat. Tepuk tangan makin panjang. Jembutnya dicukur rapi sehingga membentuk garis ke atas. Namun aku perhatikan, bibir kemaluannya menjuntai keluar, seperti bergelambir.


Aku berpikir apa memang cewek bule, tipe bibir kemaluannya panjang begitu. Orang Indonesia rasanya belum pernah kutemui yang kayak gitu. Apa mungkin sudah kendor, padahal Rachel kan masih muda, imut dan cantik pula, tapi bibir bawahnya kenapa memble.

Tiba-tiba aku ditariknya berdiri.Aku bingung, tapi ibu-ibu mendorong sambil berteriak ayoo… Terpaksalah aku berdiri. Aku belum pernah belajar tari, jadi diam aja berdiri mematung.

Rachel merabai wajahku, lalu dadaku lalu kemaluanku dan turun ke kaki. Penisku pelan-pelan jadi bangun Rachel bangkit lagi sambil menarik kaus oblongku ke atas sampai lepas. Dia menciumi dadaku lalu berputar menciumi punggungku.


Dari belakang ditariknya celanaku pelan-pelan ke bawah. Celana luar berhasil dilepas. Rachel kembali meliuk-liuk di depanku sambil berlutut. Dia mengerayangi kemaluanku yang sudah menonjol di balik celana dalam. Bukan itu saja dia menciumi pula bagian situ, sampai aku merasa geli.

Dengan gerakan pelan ditariknya celana dalamku ke bawah sampai batangku lepas tegak mengacung. Ibu-ibu kembali tepuk tangan. Setelah aku akhirnya berdiri mematung telanjang, Rachel tetap meliuk-liuk di depanku dengan posisi berlutut. Dia menciumi sekitar kemaluanku, lalu menjilati. Aku udah kepalang tanggung ikut pula berakting. Sambil mendongakkan kepala aku mendesah-desah. Desahan itu membuat Rachel makin bersemangat, demikian juga ibu-ibu penonton yang duduk bersila seperti nonton tari kecak.

Batangku dijilatinya lalu kedua zakarku . Kedua tangannya memegang lututku dan batangku mulai dikulumnya. Ibu-ibu kembali tepuk tangan. Kuluman Rachel ini luar biasa. Rasanya seperti aku bersenggama saja. Dia pandai memainkan tempo dan hisapan.

Dalam keadaan terangsang penuh, aku berkosentrasi ingin segera mencapai ejakulasi. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Rachel jika spermaku nanti muncrat. Dia tidak lagi menari sambil berdiri, tetapi meliuk-liuk sambil berlutut dan terus menghisap batangku. Ibu-ibu yang ada dibelakangku pindah agar bisa melihat bagian depanku sedang diombang-ambingkan Rachel. Mereka kelihatannya antusias sekali memperhatikan permaian Rachel di penisku.

Karena aku berkonsentrasi ingin segera berejakulasi, maka segera datang rasa desakan untuk menyemprotkan cairan kental putih. Aku sudah memberi tanda akan berejakulasi, eh si Rachel masih tetap mengulumku.

“Mampuslah, biarin aja,” kata hatiku.

Mungkin sepersekian detik menjelang semprotan, Rachel melepas kulumannya, tetapi malah mangap, membuka mulutnya lebar-lebar di depan penisku. Tidak bisa lain. Semprotan itu langsung masuk ke rongga mulutnya yang jaraknya sekitar 5 senti dari ujung penisku. Menjelang semprotan melemah, lidah Rachel menjembatani lubang tempat cairan itu keluar ke mulutnya. Dia menjilati sisa-sisa mani yang keluar dan semua ditelannya, lalu dijilatnya kepala penisku dan dikulum serta dihisapnya keras sekali. Aku berteriak menahan rasa. Ini bukan karena nikmatnya, tetapi aku menahan geli dan ngilu yang rasanya sampai ke ubun-ubun. Ibu-ibu kembali bertepuk tangan.

Aku lemas dan terduduk. Rachel masih meliuk-liuk. Dadanya disodorkannya ke mulutku. Aku ngerti bahwa dia minta dijilat putingnya, Mengapa tidak dari tadi aku sudah penasaran ingin menetek ke Rachel. Aku hisap dan jilat putingnya sampai mengeras dan menonjol. Tanganku juga ikut meremas. Payudaranya kenyal sekali dan tanganku tidak mampu mencakup seluruh susunya.


Rachel kemudian berdiri. Kali ini dia mendekatkan kemaluannya ke mulutku. Aku paham dia minta dioral. Dalam posisi dia berdiri dan aku duduk aku mulai menciumi seputar kemaluannya. Gelambir kemaluannya aku tarik-tarik dengan gigitan bibirku. Dia merendahkan posisi dan aku mengikutinya. Dia berlutut lalu rebah ke belakang dan akhirnya dia telentang dengan kaki ditekuk ke belakang. Selangkangannya dibuka lebar-lebar sehingga terpampanglah kemaluannya di depanku. Aku mendekat dan dua bilah bibir kemaluannya aku jewer. Ternyata bibirnya memang panjang, sehingga menggelambir dan menonjol keluar dari lipatan kemaluan.

Kuteliti seluruh bagian kemaluannya dan yang paling menarik ternyata clitorisnya sangat menonjol hampir sebesar ujung jari kelingkingku. Aku langsung mencucup bagian itu dan lidahku juga langsung menyapu ujung clitnya. Dia mendesis-desis dan melenguh. Aku memainkan lidahku dengan gerakan cepat, sampai dia pun menggelinjang.

Mungkin 5 menit kemudian dia berteriak panjang entah dalam bahasa apa, mungkin bahasa fleming. Dia mencapai orgasme. Aku lalu melepas mulutku dari kemaluannya dan mencolokkan jari tengahku ke dalam vaginanya. Aku mengeksploitasi G-spotnya. Daerah itu mudah sekali ditemukan karena menonjol. Dalam gerakan halus kusapu g spotnya dan kurang dari 1 menit dia sudah menjerit lagi dan bagaikan menggelepar sambil merapatkan kakinya. 
Tanganku terjepit oleh kedua pahanya yang merapat. Ibu-ibu bertepuk lagi sambil mengangkat dua jempol kepadaku.

“Lanjut,” kata para penonton.

Aku tahu yang mereka maksudkan. Penisku yang sudah tegak siap tempur segera kuarahkan menuju vagina Rachel. Dengan sekali dorong. Tenggelam sudah batangku. Aku kira vagina orang bule longgar, nyatanya tidak juga, lumayan menggigit juga. Aku memompa perlahan-lahan untuk memberi pemandangan kepada para penonton proses keluar masuknya pistonku ini. Ibu-ibu mulai histeris dan berteriak lirih. Rachel yang tidak menyangka akan mendapat serangan begitu cepat juga ikut mendesis. Sambil duduk bersimpuh aku melakukan gerakan dan tangan kananku menggosok-gosok clitorisnya. Perpaduan antara penis dan gosokan tangan membuat Rachel kembali terengah-engah. Entah dia sengaja ingin membangkitkan nafsu penonton, atau memang begitu tabiatnya.

Rachel menjulurkan tangannya, minta aku menindihnya. Aku mengubah posisi dan telungkup diatasnya. Badannya cukup tinggi sehingga aku masih bisa mencium kedua payudaranya. Dia menggelinjang, kemudian diam dan buru-buru menarik kepalaku. Aku diciumnya sehingga mulut kami menyatu. Tidak sampai 1 menit kemudian dia berteriak di dalam mulutku. Kutunggu sampai orgasmenya tuntas lalu aku bangkit dan duduk berlutut kembali di kedua kakiku diantara kedua pahanya.

Penonton rupanya terpengaruh oleh permainanku dengan Rachel tadi. Tante Venny bangkit langsung mengangkang di pangkuanku . Dia mendudukiku tetapi dengan posisi membelakangiku. Aku terpaksa agak merebahkan badanku, karena pantatnya yang besar dan penuh daging mengganjal perutku.


Dengan posisi aku agak rebah ke belakang bersetumpu dengan kedua tanganku, maka Tante Vennylah yang mengendalikan gerakan. Dia rupanya sudah terangsang berat sehingga gerakannya penuh emosi. Sementara itu Rachel yang tadi terkulai sudah bangun lagi duduk di jajaran penonton. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa sebabnya tetapi Tante Venny semangat sekali menghunjam-hunjamkan penisku. Dia mendesis-desis lalu segera mencapai puncaknya.

“Aduh, enaaakk,” katanya berteriak panjang.

“Masih bisa nggak?” tanya Tante Henny.

Aku mempersilahkan. Tante Henny lalu maju dan menurunkan celana dalamnya. Dia duduk di pangkuanku sambil memelukku. Setelah penisku tenggelam di vaginanya. Dia menggerakkan pinggulnya berputar seperti gerakan penari hawaii. Penisku serasa dibesut. Luar biasa gerakan Tante Henny kali ini, aku belum pernah mengalami gerakan seperti ini. Aku konsentrasi dan mulai mengatur nafas. Aku harus menahan kenikmatan ini jangan sampai membuatku orgasme. Badanku berkeringat, karena olah nafasku. Hasilnya otakku mulai netral, bisa memblokir rangsangan persetubuhan. Sementara itu Tante Henny tidak lagi bergerak mengulek, tetapi maju-mundur. Dia merasa rangsangan yang diserap vaginanya maksimal. Tante Henny jago juga dia bisa bertahan cukup lama, mungkin sekitar 10 menit lalu memelukku kencang dan vaginanya berkedut.

“Gila, enak banget,” katanya lalu bangkit.

“Giliran berikutnya siapa?” tanyaku.

Tante Shinta bangkit. Dia pun mengambil posisi duduk di pangkuanku dan memelukku. Sambil merendahkan posisi panggulnya, tangannya menuntun penisku masuk ke vaginanya. Aku memeluknya erat dan menahan agar dia tidak bergerak. Dalam posisi menyatu, aku kontraksikan penisku dengan irama tetap. Tante Shinta mendesis-desis.

“Aduh, enak banget, Jay. Diapain Jay memekku?“ katanya.

Setelah puas mengontraksikan penisku, aku melakukan gerakan maju mundur. Gerakan itu lalu diikuti Tante Sintha. Setelah Tante Sintha juga melakukan gerakan maju mundur, maka aku diam. Kubiarkan dia yang mengendalikan permainan. Aku memeluknya sambil menciumi telinga dan lehernya. Tante Sintha makin menggencarkan gerakannya lalu dia berteriak di kupingku, “Aku hampir, aku hampir, aduh... terus, aduh terus!“akhirnya dia melenguh panjang.

Aku beruntung melayani wanita-wanita yang mudah orgasme. Jika saja ada diantara mereka yang susah mendapat orgasme, aku harus bekerja keras. Itupun bisa jadi aku kalah di tengah jalan.

Belum lagi pikiranku habis berbicara, Tante Vence sudah menunggangiku. Dia pun memilih duduk dipangkuanku dan melingkarkan kedua kakinya di badanku. Dia menggerakkan pinggulnya agak kacau. Tetapi lama-lama dia bergerak dengan arah yang sama. Aku berpikir berarti dia sudah mendapat posisi yang paling enak. Lama juga Tante Vence mengeliat-geliat dipangkuanku. Padahal aku sudah mulai lelahndan bosan. Kalau lelah mungkin bisa agak kutahan, tetapi kalau bosan akibatnya penisku bisa menciut.
Untuk mempertahankan kekerasan penis, aku melakukan gerakan kontraksi. Meskipun kelihatannya gerakan itu lemah, tetapi ternyata terasa juga oleh Tante Vence. Dia makin semangat sampai akhirnya Orgasme juga. Selamat lah aku bisa mengantar dia orgasme.

Tante Dina yang seharusnya mendapat giliran berikutnya untung saja tidak langsung menerkamku.
Aku ditariknya berdiri dan dirangkulnya lalu di bimbing ke kamar mandi. “Kasihan ah, kamu kan capek, badannya aja udah berkeringat,” katanya.

Aku menurut saja, memang aku capek dan sudah mulai bosan. Pintu kamar mandi ditutup dan dikuncinya. Diambilnya shower, aku dimintanya berdiri di bak mandi .Aku dimandikannya seperti bayi. Namun karena air terciprat ke sana kemari, Tante Dina lalu membuka bajunya. Dia hanya mengenakan celana dalam. Susunya yang besar jadi gondal-gandul ketika tangannya mengusap seluruh tubuhku. Nikmat juga rasanya jadi bayi gede gini.

Diambilnya sabun cair lalu digosokkannya ke seluruh tubuhku, terutama di bagian vitalku. Di bagian itu dia teliti sekali membersihkannya. Penisku yang tadi sudah setengah hidup, setengah mati, kini jadi hidup lagi.
Airnya dimatikan dan aku dihanduki. Seluruh tubuhku disekanya dengan handuk. Bagian vitalku dibersihkannya sampai benar-benar kering. Tante Dina menciumi penis dan buah zakarku.

“Udah wangi sekarang,” katanya.

Aku kira acara mandinya sudah selesai, ternyata Tante Dina malah mengulum penisku. Dari kulumannya terasa jika di agak memburu. Dia lalu berdiri setelah merasa penisku menegang sempurna. Dicopotnya celana dalamnya dan dia naik ke meja wastafel. Kakinya ditekuk sehingga terpampanglah vaginanya yang setengah menganga. Dia minta penisku dimasukkan segera. Aku merapat dan kedua betisnya aku panggul lalu aku mulai menghunjam-hunjamkan penisku yang sudah mengeras sempurna. Tante Dina yang kemudian bersandar ke kaca cermin di meja wastafel, nyengir-nyengir menahan rasa nikmat. Aku terus memompanya sampai kakiku pegel berdiri sambil melakukan gerakan di pinggul. Rasanya sekitar 10 menit baru Tante Dina mencapai orgasme. Sementara aku memang menahan ejakulasi.

Aku tahan ejakulasiku, sebab jika badan yang demikian lelah, lalu berejakulasi, bisa-bisa staminaku drop dan besok aku lemes. Katanya orgasme berbeda dengan ejakulasi. Mungkin aku sudah berorgasme berkali-kali tetapi tidak sampai ejakulasi. Menurutku sih orgasme yang paling nikmat adalah yang berbarengan dengan ejakulasi.

Tante Dina dan aku kembali mandi mengulang lagi kami saling bersabunan. Aku senang menyabuni tetek Tante Dina yang kenyal dan besar. Dia pun kelihatannya senang. Tante Dina kembali berpakaian, dan aku keluar dengan melenggang bugil.

Kami disambut tepuk tangan oleh penonton yang masih duduk di bawah, termasuk Rachel. Aku setelah berpakaian diminta duduk di situ. Katanya ibu-ibu ingin mewawancaraiku.

Aku duduk bersila bersandar kursi. Tante Venny mulai melemparkan pertanyaan, katanya Rachel heran, kenapa aku bisa bertahan begitu lama dan sanggup melahap semua cewek yang ada disini. Padahal ketika dia oral tadi sebentar saja sudah keluar.

Rachel mengangguk-angguk. Aku buka rahasiaku. Pada dasarnya laki-laki pada persetubuhan di ronde kedua rasa sensitifnya sudah jauh berkurang. Emosi nafsunya juga tidak di titik puncak. Oleh karena itu laki-laki bisa lebih menahan diri di ronde kedua. Fakta berikutnya, selama persetubuhan tadi aku lebih banyak berada di posisi bawah.
Pada posisi ini laki-laki lebih mampu menahan diri dan menahan nafsunya. Fakta berikutnya, aku mempunyai ketrampilan dalam olah nafas untuk pengendalian diri. Selama permainan tadi aku berkonsentrasi bukan pada persetubuhan, tetapi pada pengendalian diri. Oleh karena itu tadi aku sangat berkeringat. Konsentrasi pengendalian diri melalui olah pernafasan memang menghasilkan keringat yang banyak sekali.

Jadi fakta-fakta itu tadi semua saling dukung-mendukung. Fakta lainnya, perempuan jika mengendalikan gerakan, maka dia akan menemukan posisi yang dia rasa paling nikmat.
Dia bisa bertahan pada posisi itu sampai mencapai orgasme, karena perempuan yang mengendalikan posisi persetubuhan.

Rachel tanya, apa itu olah pernafasan. Aku jelaskan olah pernafasan itu seperti meditasi. “Hah, jadi kamu bersetubuh sambil meditasi?” katanya tercengang. Aku jelaskan bukan meditasi, tetapi seperti itu. Rachel mengaku belum pernah menemukan laki-laki yang begitu kuat melayani banyak persetubuhan.

Tante Dina lalu menyambung, “Karena persyaratan itulah maka dia kami bawa,” katanya.

Beredar lagi champagne dingin. Tidak lama kemudian ibu-ibu dari kamar sebelah cabut dan aku menarik sofa bed. Aku tidur dengan Rachel di sofa bed. Rasanya tidak ada sensasi kalau tidur dalam keadaan berpakaian. Aku menawarkan Rachel agar tidur bugil. Rachel menyambutnya.

“Saya kalau dirumah juga tidur telanjang, saya penganut nudist,” katanya.

Aduh, memang enak tidur memeluk cewek bule yang cantik. Baunya lain dengan orang Indonesia. Mungkin karena pengaruh Prancis, bau Rachel semu-semu bau parfum.

***

Brussel tinggal kenangan. Kota ini tercatat dalam sejarah hidupku dimana untuk pertama kalinya aku menikmati cewek bule. Kenangan manis dan sangat mengesankan. Aku berjanji akan menghubungi Rachel kembali jika kelak ke Brussel. Dia juga kujanjikan akan kusambut bila berkunjung ke Indonesia.


Aku termangu duduk di kereta cepat Thalys yang membawaku dari Brussel ke Paris. Tante-tante rombonganku sedang mengagumi pemandangan di sepanjang perjalanan. Dijadwalkan kereta tiba di Paris jam 12.35. Jarak yang kurang lebih jaraknya sperti Jakarta – Pekalongan itu ditempuh dalam waktu kurang dari 1 setengah jam. Aku berandai-andai, jika di Jakarta ada kereta secepat ini, jarak Jakarta Surabaya mungkin bisa dicapai sekitar 4 jam. Tapi sepertinya masih jauh rasanya. Meski cuma 82 menit, tetapi tiket untuk kelas 1 primer harga tiketnya mahal sekali, sekitar Rp 3 juta per orang.

Aku kalau sendirian nggak mungkin bakal naik kereta kelas satu seperti ini. Untungnya aku membawa 5 ibu yang semua duitnya nggak berseri. Menjadi tour leader para STW bukan pekerjaan ringan, apalagi mereka adalah orang-orang yang biasa ngatur dan semua kemauannya sudah biasa dituruti. Kini pribadi-pribadi yang cenderung egois dan otoriter itu menjadi menjadi gembalaanku.


Sejauh ini mereka menuruti arahanku. Bahkan permintaanku yang sepertinya tidak mungkin dipatuhi oleh wanita yang berduit, seperti jangan berbelanja barang terlalu banyak, nyatanya dipatuhi. Sebagai tour leader yang paling berat adalah harus sering mengingatkan mereka soal waktu, sebab perjalanan berkeliling eropa ke 4 negara ini sangat terikat waktu, dimana semua tiket perjalanan sudah di beli di Jakarta.

Tiba di Paris kami sudah dijemput oleh supir minibus. Aku memang sudah memesan melalui hotel yang akan kutempati jemputan ke stasiun Paris Nord. Menggunakan taksi, rasanya terlalu beresiko. Aku tidak mengenal kota ini, rombonganku jumlahnya tidak mungkin menggunakan 1 taksi.
Apalagi dari informasi yang kukumpulkan, Paris tidak terlalu aman bagi turis. Kota ini termasuk paling sangar di Eropa, banyak pencopet, penjambret dan tukang tipu-tipu.

Tiba di hotel, kami disambut welcome drink, dan dengan bahasa Perancis terbatas yang kudapat dari kursus hampir setahun di Jakarta, proses chek in kami lancar. Hotel bintang 5 dengan interior gaya abad 19. Aku merasa seperti orang kampung di lingkungan hotel ini. Tarifnya semalam kalau di rupiahkan Rp 12 juta. Kalau aku sendiri jalan ke Paris duit segitu mungkin sudah bisa keliling Prancis. Tapi ini rombongan VVIP dan pesanan mereka seperti biasa, 2 kamar suite yang bersebelahan. Aku tetap sekamar dengan Tante Dina dan Tante Venny sedang di kamar lain Tante Henny, Tante Shinta dan Tante Vence. Ketiga ibu-ibu ini relatif lebih muda dari Tante Dina atau Tante Venny. Umur mereka kisaran 35 tahun.

Hari pertama di Paris tidak ada acara khusus. Acaranya jalan-jalan keliling kota melihat menara Eiffel dan keliling pusat-pusat perbelanjaan.
Dasar ibu-ibu mana mau jalan-jalan lihat museum atau tempat-tempat bersejarah. Tempat yang wajib dikunjungi di setiap kota adalah tempat berbelanja.

Setelah satu jam kami membereskan barang-barang di kamar, kami janjian ketemu di lobby. Aku kagum dengan tampilan mereka, selalu berganti kostum. Padahal pakaian ku masih sama seperti yang kupakai sejak dari Brussel tadi pagi.

Pak supir yang sudah standby di lobby kuminta menyiapkan kendaraan di depan lobby.
Tujuan pertama adalah berkeliling kota dulu melihat tempat-tempat ikon kota Paris. Aku geli melihat ibu-ibu ketika akan naik kendaraan. Mereka selalu memburu sebelah kiri kendaraan, padahal pintunya ada di sebelah kanan juga. Kebiasaan di Indonesia kalau masuk mobil selalu dari kiri. Di negara stir kiri ini, tentunya pintu kananlah yang paling mudah dimasuki. Untung bukan naik bus, kalau bus di sini kan pintu kirinya tidak ada.

Pak supir yang totok Prancis, tidak bisa bahasa Inggris, menanyakan kemana lagi. Aku lalu menyebutkan satu nama jalan yang terkenal karena di situ berjajar toko butik dari merek-merek terkenal di dunia. Dia paham dan mengangguk.

Begitu turun dari mobil, Tante Dina mengajak teman-temannya ke butik yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Tokonya sepi dan barang-barangnya kelihatan tidak ramai di pajang. Mau masuk toko saja pakai ngisi buku tamu segala. Ini kalau nggak beli apa kuat udah dijebak begini. Aku sih ogah amat andai jalan sendiri mampir di toko yang beginian. Mereka sibuk melihat tas dan macam-macam accessories. Barang-barangnya luar biasa mahalnya, ada tas tangan wanita kalau dikurs mungkin hampir 40 juta perak. Mahal tidak jadi halangan mereka rupanya beli juga. Aku malah ditawari untuk mengambil tas ransel. Bentuknya emang kelihatan mahal dan keren, tapi kalau suruh bayar sendiri pasti aku ogah, harganya hampir 10 jeti. Tapi ini lain karena aku ditraktir, jadi SWGTL (so what gitu lho).

Aku mengingatkan ibu-ibu untuk membeli kacamata dan topi serta sun cream.
Sebab tujuan kami berikutnya adalah kota pantai di Selatan Prancis. Untuk urusan topi saja mereka cari yang dari merk terkenal. Anggota rombonganku emang top banget, susah dilawan nih.

Setelah urusan selesai dalam perjalanan kembali ke mobil kami melewati toko parfum. Bagusnya toko ini terbuka tidak pakai ngisi buku tamu segala dan pajangan parfumnya banyak. Mereka tidak bisa menahan diri akhirnya mampir juga. Entah apa aja yang mereka beli, tetapi akhirnya aku mendapat hadiah dari manager toko itu sebotol parfum dari merek yang tidak pernah kulihat di Indonesia. Baunya lembut dan cocoklah untuk pribadiku. Padahal aku bukan penyuka parfum. Kalaupun badan ingin wangi biasanya pakai cologne saja.

Tidak terasa sudah jam 7 malam, padahal matahari masih terang benderang. Mungkin di Eropa kalau musim panas, harinya panjang. Perut sudah mulai bereaksi ingin diisi. Ketika sudah kumpul kembali di mobil aku minta pak supir mencari tempat makan chinese food. Kami dibawa ke sebuah restoran yang exteriornya sudah menunjukkan itu restoran Cina.

Seharian kemarin tidak ketemu nasi, rasanya nggak enak juga. Menunya pakai bahasa Prancis dan tulisan Mandarin. Kami pesan set menu nasi putih pakai sayur, daging, ikan, ayam dan beberapa lagi aku lupa. Dan yang terpenting ibu-ibu minta sambal. Di situ tidak ada sambal, kecuali potongan cabe ijo besar di dalam kecap asin. Rasanya agak pedas juga, jadi ya lumayanlah.


Kami masuk hotel kembali sekitar jam 10 malam. Suasana sudah mulai gelap seperti di Jakarta sekitar jam 6 sore. Sebelumnya aku sudah pesan kepada supir agar menjemput kami besok sekitar jam 10 untuk membawa kami ke stasiun kereta Paris Gare Lyon.

Badan mulai terasa lelah. Aku ingin mandi dan berendam di air hangat. Mungkin dengan begitu semua lelah bisa hilang. Di kamar yang mewah ini kamar mandinya nya juga lux banget. Bak mandinya bukan bath tub yang memanjang, tetapi seperti bak mandi Jacuzzi, Malam ini aku mau tidur cepat, rasanya malam-malam sebelumnya terlalu lelah dengan kegiatan sex, aku malam ini mau cuti sex dulu lah, itung-itung jaga stamina. Ah tapi itu pun kalau bisa, aku kan hanya leader kalau soal tour. Namun soal di dalam kamar, aku harus siap melayani para mami-mami.

Aku mengambil inisiatif mandi duluan, sementra Tante Dina dan Tante Venny sedang sibuk dengan barang-barang yang mereka beli tadi. Nikmat sekali rasanya berendam di air panas. Aku membayangkan seperti raja minyak yang sedang jalan-jalan keliling Eropa.

Seusai mandi, dengan celana dalam dan berbalut handuk, aku masuk kamar. Di tempat tidur, Tante Dina tidur telungkup. Dia memintaku memijat. Badannya katanya capek sekali. Aku membuka handuk, tinggal bercelana dalam saja. Tante Dina bangun dan membuka semua bajunya. Aku memijat seluruh tubuhnya dengan pijatan biasa, tanpa refleksi. Sekitar 45 menit selesai. Tante Venny minta giliran berikutnya. Dia pun membuka seluruh bajunya, tidur telanjang dengan posisi telungkup. Aku memijatnya juga sekitar 45 menit. Sementara aku memijat Tante Venny, Tante Dina tertidur. AC sudah dimatikan dari tadi, jadi kamar tidak terlalu dingin.

Setelah keduanya selesai aku pijat, Tante Venny membangunkan Tante Dina dan mengajaknya mandi bareng berendam di air panas. Tante Dina bangun dan dia menggandengku. Dia mengatakan punggungnya minta digosok, karena bekas cream. Permintaannya kuturuti, dan kami bertiga menuju kamar mandi. Aku membersihkan bak mandi dengan sabun dan mengisinya dengan air hangat. Sementara itu Tante Venny duduk di toilet buang air kecil dan Tante Dina gosok gigi.

Setelah air penuh, mereka aku minta segera masuk. Aku yang masih memakai celana dalam disuruh membuka dan diminta ikut masuk bersama mereka . Pertama kugosok adalah punggung Tante Dina, baru setelah itu Tante Venny. Tapi Tante Venny minta aku menyabuni pula seluruh tubuhnya. Dia berdiri dan aku melumuri sabun cair ke seluruh tubuhnya. Aku iseng saja, ketika sampai ke bagian kemaluan, aku colek juga lubangnya. Dia terkejut tetapi tidak marah.

Setelah selesai, aku terpaksa ikut berendam dengan mereka. Penisku langsung mengeras karena terendam air panas dan pemandangan dua STW telanjang. Tante Venny mulai usil. Barangku dipegang-pegangnya. “Wuih, udah keras aja ni senjata,” katanya.

Tante Dina kemudian juga ikut-ikutan memegang. Bukan itu saja, dia malah pindah posisi duduk di pangkuanku. Pantat Tante Dina digeser-geserkannya di penisku . Diangkatnya badannya sedikit dan tangannya meraih penisku lalu ditempatkan di depan lubang vaginanya, maka ambleslah barangku ke dalam lubangnya. Pantatnya digeser-geserkan. Aku hanya diam memeluk dia dari belakang sambil meremas-remas susunya. Belum sampai 5 menit aku sudah ejakulasi, padahal Tante Dina belum apa-apa. Dia kemudian berdiri dan aku dimintanya membuang air dari bak mandi. Jorok juga sih karena air maniku terlihat mengambang di air.

Tante Dina dan Tante Venni duduk di pinggiran bak. Sambil menunggu air kering, aku dimintanya mengoral. Permintaannya tidak berani aku tolak, maka aku merangkak diantara kedua kaki Tante Dina. Dia aku oral sampai orgasme. Tante Venny hanya menonton saja.

”Aku minta jatah, nanti di tempat tidur saja,” katanya.

Kami kembali bersabun dan membersihkan dengan air dari shower . Mereka berdua minta aku memandikannya. Aku jadi seperti memandikan dua bayi STW. Dasar perempuan, nalurinya selalu ingin dimanja.

Aku mengeringkan badan mereka satu persatu dan menangkupkan handuk lalu membimbing keduanya masuk ke kamar tidur. Duduk di tempat tidur Tante Dina langsung mengambil selimut dan tidur. Sementara Tante Venny tidur telentang meminta jatahnya. Permintaannya tak bisa kutolak. Aku mengoralnya sampai dia orgasme.

Dia memintaku tidur satu tempat tidur. Kami jadi tidur bertiga telanjang dan aku diapit. Karena lelah, kami segera tertidur

Aku terbangun karena badanku terasa gerah. Ternyata Tante Dina memelukku. Rasanya dia juga terbangun karena tangannya meremas-remas penisku. Udara pagi selalu membuat penisku cepat berdiri. Setelah dirasanya penisku mengeras dia berusaha memasukkan ke lubang vaginanya dalam posisi tidur miring. Kami berhubungan dalam posisi miring. Penisku tidak bisa masuk penuh, jadi aku merasa kurang nikmat. Itu rupanya juga dirasakan oleh Tante Dina. Dia lalu menindih tubuhku dalam keadaan penis masih berada di dalam vaginanya. Tidak puas telungkup di atasku karena penisku sering lepas jika dia menaik-turunkan pinggulnya, maka Tante Dina bangkit dan duduk setengah berjongkok di atas penisku. Dia kembali menggerak-gerakkan pinggulnya. Gerakannya tidak tentu naik turun dan maju mundur. Gerakan itu makin lama makin keras, sehingga Tante Venny yang tidur di sebelahku terbangun.

“Ada gempa bumi pagi-pagi,” katanya. Dia sambil tiduran menonton aksi kami. “Enak ya, Din?” tanya Tante Venny.

Tante Dina hanya menjawab, “He-eehh,” sambil terus bergoyang.

“Ah sialan, gua jadi pengen,“: kata Tante Venny lalu kulihat tangannya menggosok-gosok kemaluannya.

Tante Dina terus bergoyang sampai dia mencapai orgasme dalam posisi duduk diatas penisku.

“Sudah, sana gantian,” kata Tante Venny mendorong Tante Dina yang lalu menjatuhkan diri tidur telentang disampingku.

Tante Venny lalu mengambil posisi menduduki penisku dan dengan sekali diarahkan penisku langsung terhunjam.
Vaginanya ternyata sudah basah, sehinga penisku lancar-lancar saja masuk. Dia bergerak hot sekali. Sementara aku berusaha bertahan agar tidak sampai ejakulasi. Aku mengatur pernafasan dan konsentrasi menahan bara birahi. Pada pagi hari rasanya sulit juga membendung birahi. Kosentrasiku sering buyar, apalagi mendengar erangan Tante Venny menjelang orgasmenya, aku jadi larut dengan dorongan birahi hingga akhirnya aku ejakulasi. Untungnya Tante Venny menyusul kemudian. Mungkin kontraksi penis di dalam vaginanya memberi rangsangan maksimal. Jadi kami seperti orgasme bersamaan.

“Aduh enaknya,” katanya.

Aku menahan sebentar posisi Tante Venny agar spermaku keluar kembali dari vaginanya. Setelah kurasa cukup, aku segera ke kamar mandi sambil menahan jangan ada spermaku yang tercecer baik di tempat tidur maupun di karpet. Tante Venny menyusul ikut membersihkan kemaluannya, lalu Tante Dina masuk juga. Kami bertiga membersihkan kemaluan kami masing-masing. Tante Dina mengajak mandi bareng sekalian karena sudah hampir jam 6 pagi. Kami akhirnya mandi bersama dengan shower bergantian. Aku tetap harus melayani mereka menyabuni seluruh tubuhnya.

Melalui telepon kemudian aku membangunkan kamar sebelah, mengingatkan mereka untuk berkemas dan turun untuk sarapan pagi jam 9..

Kami sarapan bersama-sama. Hidangan breakfastnya sangat mewah. Bermacam-macam makanan pagi seperti berlimpah ruah. Sarapan pagi di hotel ini disajikan secara prasmanan. Aku mondar-mandir ke meja tempat lauk terhidang. Sebagian besar aku cicipi, sampai perutku kenyang sekali. Aku berpikiran, bukan hanya perut yang butuh kenyang tetapi stamina juga harus diisi dengan makanan yang memadai.

***

Kami sampai di stasiun kereta Paris Nord sekitar jam 10.30. Bangunan stasiun tampak seperti bangunan lama, dengan menara jam. Bagian dalamnya mengingatkan aku pada stasiun kereta api di Jakarta kota. Suasananya hampir sama. Bedanya bangunan di Paris ini lebih terpelihara dan bersih, tidak ada pedagang kaki lima. Penjual makanan memang ada tetapi diatur dengan gerai-gerai.

Kami segera menemukan rangkaian kereta TGV untuk tujuan Agde. Kereta berangkat dijadwalkan sekitar jam 11.20. Tujuan kami jauh di selatan Prancis dan lama perjalanan sekitar 4 jam

Terasa sekali kereta meluncur dengan kecepatan tinggi. Display di cabin menunjukkan kecepatan rata-rata 320 km. Konon kereta ini bisa mencapai kecepatan maksimum 500 km/jam. Interiornya lux seperti dalam pesawat terbang. Bedanya cabin TGV lebih leluasa. Kami mendapat hidangan makan siang di atas kereta api.

Anggota rombonganku 5 ibu-ibu kaya raya tidak tahu pasti tujuan di Prancis selatan itu seperti apa. Mereka hanya mendapat gambaran, tempat itu adalah wilayah pantai yang ramai dikunjungi turis. Anggota rombonganku Tante Dina pernah juga ke selatan Prancis, Nice, oleh karena itu dia menanyakan kepadaku apa tempatnya seperti Nice. Aku hanya mengiyakan saja, padahal sebenarnya jauh berbeda.

Tante Venny menyoal kenapa di tujuan kami nanti harus menginap sampai 3 malam. Aku beralasan untuk isitrahat, sambil mencari kesempatan meloundry pakaian kotor yang sudah mulai banyak sejak perjalanan dari Belanda. Jawabanku itu nampaknya masuk akal.

Padahal tujuan ini adalah Cap d’Agde, suatu resort nudist. Aku penasaran ingin berkunjung ke sana karena dari informasi yang kukumpulkan, ini adalah resort yang juga merupakan kota nudist terbesar di seluruh dunia. Aku berharap tidak ada orang Indonesia di sana nanti. Masalahnya aku membawa ibu-ibu yang di Indonesia banyak dikenal orang. Tadinya aku sempat ragu, bagiamana jika ibu-ibu rombonganku ini menolak bernudis. Tapi setelah kuingat-ingat mereka tidak lagi merasa malu, bukan hanya sudah pernah telanjang bersama-sama ketika di Belanda tempo hari, tetapi juga sudah menyaksikan pesta orgy diantara sesamanya. Jadi mestinya mereka tidak keberatan telanjang di pantai nanti. Mudah-mudahan mereka tidak marah-marah dan protes.

Kami sampai di Agde, kota tempat pemberhentian kereta TGV. Di stasiun kami sudah dijemput. Biasalah kertas dengan namaku mereka tunjukkan. Kami dijemput oleh kendaraan travel . Mobil jemputannya ternyata bus besar. Mereka menjemput banyak tamu di stasiun ini rupanya.

Jarak Agde dengan Cap d’Agde sekitar 5 km. Setiba di pintu masuk kami membayar pas masuk dan oleh petugas travel kemudian kami diantar ke tempat penginapan. Aku memesan satu unit apartemen untuk 6 orang. Dalam perjalanan menuju apartemen, kami mulai melihat pemandangan orang telanjang mondar-mandir.

Ibu-ibu lalu mulai bertanya, kok banyak sekali orang telanjang di sini.
Mereka heran, tua muda sampai kakek dan nenek-nenek semua telanjang. Maka hebohlah rombonganku. Ini adalah pengalaman pertama mereka berada ditengah-tengah orang telanjang. Sebetulnya juga pengalamanku yang pertama.


Kami menempati satu apartemen dengan 2 kamar tidur besar di masing-masing tempat tidur, ada bed untuk 2 orang dan sofa bed di ruang tamu. Di apartemen ini juga terdapat kitchen dan jendela yang menghadap ke pantai.

Interiornya tidak terlalu mewah, malah bisa dikatakan sederhana, tetapi semua fungsional. Ibu-ibu mulai ada yang protes bahwa kamarnya tidak semewah hotel-hotel yang kami tempati sebelumnya. Aku menjelaskan bahwa konsep hidup di kota ini adalah mendekatkan diri dengan alam. Kujelaskan kepada anggota rombonganku bahwa mereka bebas mau ikut nudist atau tetap berpakaian. Namun kuingatkan, jika keluar apartemen apalagi ke pantai tetap menggunakan pakaian atau bikini, maka banyak orang akan memperhatikan kita. Jadi disini jika kita berpakaian kita akan malu, karena tampilan kita beda dengan lingkungan. Akan tetapi jika bertelanjang bulat, tidak akan ada orang yang memperhatikan, mereka acuh tak acuh. Kalau pun melihat, mungkin karena kita orang Asia, sedang mereka bule dan umumnya Prancis.

Tante Dina yang menjadi komandan dalam grup ini meminta semua anggota untuk mengikuti adat istiadat disini. Tidak perlu malu, karena tidak bakalan ketemu orang Indonesia. Semuanya akhirnya setuju dan akan mencoba sensasi hidup seharian telanjang.

Rombongan kami turun dari apartemen. Semua memakai topi dan kacamata. Aku juga sama saja. Untunglah barang vitalku bisa berkompromi. Dia tidak memberontak, malah tidur manis. Aku sebenarnya agak rendah diri juga, sebab kulihat penis bule-bule di situ besar-besar, sementara penisku seperti anak-anak bule yang akil baliq.

Kami jalan berombongan mengelilingi wilayah sekitar apartemen. Semua orang disitu telanjang dan rasanya tidak ada yang memperhatikan alat vitalku yang tadinya menyebabkan aku kurang percaya diri. Kami masuk ke kawasan keramaian. Disitu ada restoran, cafe, bank, supermaket. Orang-orang tetap telanjang ke bank, ke super maket, duduk-duduk di cafe.

“Untung tadi nggak ada yang bertahan mau tetap pakai baju, bisa malu kita,” kata Tante Venny.

Seperti biasa, ibu-ibu selalu nggak tahan jika lihat toko. Mereka kemudian coba melihat toko pakaian. Pakaiannya cukup bagus-bagus. Aku menyarankan ibu-ibu untuk membeli lingerie yang eksotik. Sebab barang begituan tidak dijual di Indonesia. Mereka setuju lalu menyerbu bagian pakaian dalam. Pilihannya ternyata cukup berani-berani.
Tidak ada bungkus plastik. Semua barang di bungkus oleh kertas yang berlambang daur ulang. Setelah puas berkeliling kota bugil, kami mampir ke restoran pizza . Rasanya makanan itu saja yang kami kenal.

Sambil makan pizza di teras restoran, kami mengamati orang yang lalu lalang. Asik juga rasanya melihat semua orang dalam keadaan aslinya. Ada yang teteknya melorot, padahal kelihatannya umurnya belum tua, ada ibu-ibu gendut banget jalan dengan suaminya yang nggak kalah gendut. Saking gendutnya kemaluan mereka jadi nggak kelihatan. Aku juga memperhatikan cewek-cewek bule, terutama kemaluannya. Ternyata banyak yang punya gelambir di kemaluannya. Gelambir itu ada yang ekstrim panjangnya sampai melambai-lambai keluar. Aku juga senang melihat cewek-cewek abg. Meski kelihatannya masih muda dan susunya masih kecil, tetapi kemaluannya sudah berambut cukup banyak. Jadi istilah bulu jagung kayaknya disini nggak berlaku.

Kami mampir ke supermarket. Semua pengunjung supermarket ini telanjang, kecuali petugasnya. Aku mengalami sensasi baru, karena untuk pertama kalinya seumur hidup belanja di supermarket sambil bugil. Mungkin di supermarket ini kehilangan barang nyaris nol. Sebab tidak ada tempat menyembunyikan barang curian.

Toko roti yang kami lewati menawarkan bermacam-macam jenis roti dan kue. Ibu-ibu kelihatannya ngiler. Mereka mampir katanya beli roti untuk sarapan besok.

Kembali ke apartemen, kami membersihkan diri. Kami memutuskan untuk makan di luar sambil menikmati suasana. Jam 8 malam, suasana masih terang, kami jalan-jalan sebentar dan ibu-ibu mampir ke toko souvenir membeli barang-barang yang unik. Aku ingatkan agar barang-barang itu jangan ada yang bercirikan Cap d’agde, nanti ketahuan kalau pernah kesini. Di tanah air ini bisa jadi bahan gunjingan.

Suasana kota bugil sangat ramai. Menurut informasi yang kukumpulkan, pada peak seasson di musim panas pengunjung bisa mencapai 40.000 orang. Pada malam hari umumnya pengunjung berpakaian. Hanya ada beberapa yang tetap bugil. Mungkin mereka sudah bertekad untuk bugil sepanjang hari selama di sini.

Kami akhirnya berhenti di restoran yang juga menawarkan hiburan malam. Dengan bayar cover charge kami bebas menikmati semua hidangan dan hiburan yang ada di dalam. Suasananya ramai sekali, kami harus menunggu untuk mendapatkan tempat duduk untuk dinner. Makanannya sebenarnya kurang cocok dengan seleraku, tapi apa boleh buat. Kami terbenam di situ sampai jam 12 malam. Kami semua sudah terpengaruh alkohol, tetapi tidak terlalu parah.

Keluar dari restoran, aku iseng mengajak rombongan untuk jalan agak memutar melewati pantai. Kawasan pantai suasananya remang-remang, sehingga kami masih bisa melihat orang di sekitar pantai. Di pantai banyak pemandangan yang menarik.
Bule-bule itu sedang bermesraan sampai berhubungan badan di pasir. Ada yang sepasang ada yang bergerombol. Kami jalan tidak terlalu dekat, tetapi cukup jelas melihat apa yang mereka lakukan. Kelihatannya bule-bule itu tidak perduli dengan kehadiran orang yang lalu lalang di dekat mereka, walau sedang berhubungan intim. Ada pula pasangan yang lagi berhubungan ngobrol dengan temannya yang menghampiri mereka.

Karena mereka tidak merasa terganggu, kami jadi santai saja jalan diantara mereka. Kami tidak enak juga kalau terus memperhatikan orang-orang yang tengah “berbuat”.

Kami masuk kembali ke apartemen. Mata sudah mulai berat, karena pengaruh alkohol dan juga lelah. Aku jatuh tertidur duluan sehingga tidak tahu siapa yang tidur di sampingku.

Rasa sesak pipis membuat aku harus bangun dan ke kamar mandi. Pengaruh alkohol dan minum terlalu banyak membuat kandung kemihku jadi terasa penuh sekali. Kulihat jam menunjukkan jam 4 pagi. Semua tertidur lelap. Aku kembali ke peraduan dan disebelahku tidur adalah Tante Vence. Dia terbangun dan tanya abis ngapain. Aku bilang pipis. Rupanya dia juga kebelet. Dia bangkit dan ke kamar mandi.

Aku mencoba tidur lagi. Tante Vence sudah merapat dan masuk ke bawah selimut. Udara AC memang sangat dingin. Kami tidur satu selimut. Mau mencoba tidur lagi rasanya susah, mata malah segar bugar. Aku iseng memeluk Tante Vence. Tante Vence orangnya putih dan badannya sekel, jadi enak dijadikan guling. Dia diam saja aku peluk. Aku bukannya bisa tidur malah makin-makin segar, masalahnya yang diselakanganku jadi greng.
Dorongan iseng dan dorongan ingin mengganggu Tante Vence membawa tanganku ke dada Tante Vence.

“Kamu mengganggu orang tidur aja, aku jadi segar gara-gara kamu nih,” katanya.

Tidak hanya meremas, aku juga mencium pipi dan leher bu Vence. Nafasnya mulai cepat dan dia berguling juga memelukku. Aku terus menciumi ke bawah sampai mendekati dadanya. Dia mengenakan daster sehingga susah menyingkap buah dadanya, dia tidur tidak mengenakan BH. Tanganku merayap dari bawah dan langsung menggapai susu bu Vence.
Susunya gemuk dan putingnya aku pelintir-pelintir.

Tangan Tante Vence mencari batang penisku. Dibukanya celana pendekku lalu diremas-remasnya. Penisku sudah mengeras sempurna.

Aku juga mulai menggerayangi kemaluan Tante Vence. Enak juga pagi-pagi menggerayangi. Aku gosok-gosok clitorisnya sampai akhirnya vagina Tante Vence basah. Di tengah-tengah lagi asyik aku berhenti dan berusaha kembali tidur. Tante Vence marah dan mengangkat bantal . Aku digebuknya.

“Ini nggak bertanggung jawab, orang udah di tengah jalan malah ditinggal,“ katanya menggerutu.

Aku senyum-senyum. Selimutku disibak semua dan ditariknya celana dalamku. Dikocoknya penisku dan dia segera membuka celananya dan memadukan penisku dengan lubang vaginanya. Tante Vence menggenjot sendiri aku diam saja. Dia asyik sendiri sampai akhirnya orgasme. Kami meneruskan tidur sambil bugil.

Aku tidak bisa tidur lagi, karena penisku tegak membangkang. Aku bangkit dan menuju kamar Tante Dina. Aku suka dengan dia karena badannya sekel dan susunya gede. Kusibak selimutnya lalu aku masuk ke dalam selimutnya. Aku tentunya masih bugil, sedang Tante Dina mengenakan daster. Kupeluk tubuhnya dan mulai aku menciumi pipinya, telinganya, sedangkan tanganku seperti biasa meremas pelan dan memelintir puting susunya. Tante Dina terbangun lalu menanyakan jam berapa. Dia tanya lagi ada apa pagi-pagi sudah membangunkan orang. Lalu kujawab aku terlalu banyak tidur, jadi bangun kepagian.

Tante Dina lalu diam saja dan menikmati rangsanganku. Kubuka Dasternya aku mulai menciumi payudaranya yang terasa gemuk sekali. Akibat payudaranya kuhisap-hisap, birahi Tante Dina mulai bangun. Nafasnya mulai memburu. Aku mulai merangkak di antara kedua pahanya yang sudah terbuka lebar. Pelan-pelan kuarahkan rudalku masuk ke dalam gerbang kenikmatan Tante Dina. Gerbang itu sudah licin, sehingga dengan mudah penisku ambles sepenuhnya. Aku mulai mengedut-kedutkan penisku sampai sekitar hitungan 100. Tante Dina diam saja, tetapi sesekali dia ikut mengedutkan otot vaginanya. Setelah kurasa bosan main otot kegel, aku mulai memompa.

Tante Dina menekuk kakinya sehingga penisku masuk sempurna.
Kedua kakinya kemudian merangkul badanku lalu dibelitkan ke kedua kakiku. Aku masih mengubah-ubah posisi untuk mencari rangsangan yang maksimal di dalam vagina Tante Dina. Dia menurunkan kakinya. Lalu aku menggeser kedua kakinya agar merapat. Setelah itu kedua kakiku menopang diatas pergelangan kaki Tante Dina dengan bersetumpu pada antara kedua jari yaitu jari jempol kaki dengan jari manis. Aku bagaikan mengambang di atas tubuh Tante Dina.

Namun posisi itu tidak dapat bertahan lama karena lama-lama aku merasa berat. Kugeser kedua paha Tante Dina untuk membuka sedikit dan aku berada ditengah. Aku mulai menemukan posisi yang paling merangsang Tante Dina. Setiap gerakan dia mendesis. Aku menjaga posisi itu dan melakukan gerakan konstan. Namun karena pahanya terbuka, dampaknya kepadaku jepitannya jadi berkurang. Aku agak kurang merasa nikmat. Tante Dina sudah semakin tinggi sampai dia tiba-tiba menarikku dan memelukku. Aku dipagutnya dan dia berteriak dimulutku. Sementara di bawah sana aku merasa ada yang aneh. Tante Dina seperti Orgasme tetapi kenapa cairannya banyak sekali. Ternyata dia terlepas tidak bisa menahan kencing ketika orgasmenya datang. Untungnya tidur masih beralas bad cover, jadi basahlah bad cover.

“Aduh, enak bener, aku ngompol ya,” Tante Dina lalu segera bangun memeriksa alas tidurnya. “Ah, kamu sih, aku tadi sebenarnya kebelet pipis,” katanya Dina menyalahkan aku.

Aku berusaha serius dan tidak tersenyum. Padahal aku geli melihat Tante Dina ngompol sambil Orgasme. Keributan ini membangunkan Tante Venny yang tidur ditempat tidur terpisah disebelah.

“Ini gara-gara aku kebelet pipis, dia udah naik aja, jadinya aku sampe ngompol deh,” kata Tante Dina. “Tapi enak lho, cobain deh kalau lagi kebelet pipis, pasti enak,” sambungnya lagi yang langsung ngacir ke kamar mandi melanjutkan pipisnya yang tertahan tadi.

Tante Venny memanggilku dan aku diminta masuk ke selimutnya. Dia ternyata tidur hanya bercelana dalam, selebihnya bugil. Aku pun dengan mudah melancarkan serangan. Dada Tante Venny tidak terlalu besar, tetapi kenceng dan putingnya besar. Setelah menciumi wajah dan kupingnya, aku mulai menyosor ke susunya. Kedua putingnya aku jilat dan hisap agak lama. Aku tidak berani mengoral ibu-ibu kalau bangun pagi. Baunya kurang sedap, rada-rada pesing.

Kurasa foreplayku sudah cukup maka rudal mulai kuarahkan ke sasaran.
Tanpa dituntun, aku bisa menemukan gerbang Tante Venny. Aku tekan-tekan dan pelan-pelan mulai masuk. Vaginanya juga licin. Sekarang aku tidak mengubah-ubah posisi, karena pinggangku agak pegal. Aku mencari posisi Tante Venny yang dia rasakan paling nikmat. Setelah dia mengerang-erang, aku mulai genjot, sambil aku berkonsentrasi ingin berejakulasi juga. Sekitar 5-10 menit aku pompa, aku merasa vagina Tante Venny mulai menjepit.

Gerakan kupercepat lalu meledaklah orgasme Tante Venny. Baru dua atau tigakali kontraksi, tiba-tiba penisku seperti disiram air panas. Tante Venny juga ngompol. Aku jadi bernafsu maka aku menggenjot lagi. Tante Venny tidak kuberi waktu jeda. Rasa vagina yang baru orgasme, lebih nikmat dan rasanya lebih menjepit, tak lama kemudian aku pun sampai di titik ejakulasi. Sebenarnya aku juga ingin kencing sambil ejakulasi, tapi tidak bisa.

Bedcover Tante Venny basah kuyup oleh kencingnya, dia buru-buru bangkit dan berlari ke kamar mandi. Di kamar mandi masih ada Tante Dina yang lagi ngebom. Aku menyalakan rokok sebentar lalu menyusul masuk. Risih juga rasanya kemaluanku terkena kencing bercampur cairan vagina bercampur maniku sendiri. Ketika kucolek bagian basah penisku dan kucium, baunya memang tidak enak. Ini mungkin campuran bau vagina Tante Dina dan Tante Venny ditambah spermaku yang baunya seperti cairan pemutih baju.

Aku masuk mereka terkejut. Tante Venny sedang mencuci kemaluannya, sedang Tante Dina masih duduk di closet. Aku menyusul mencuci kemaluanku dan menyabuninya sampai 3 kali. Aku sekalian mandi dan Tante Veny dan Tante Dina ikut sekalian. Kami bertiga mandi bersama saling menyabuni dan saling meremas. Tapi barangku sudah susah bangun, meski Tante Venny jahil mencoba mengoralku. Mungkin barangku sudah terlalu puas, sehingga ogah dibangunkan.

Selesai mandi, dalam keadaan masih bugil, kumatikan semua AC di apartemen.
Maksudnya untuk mengurangi rasa dingin. Tante Dina dan Tante Venny keluar hanya berbalut handuk. Kami bertiga ke daput mencari roti dan kue yang semalam dibeli. Aku menyalakan pemanas air untuk membuat teh dan kopi.

Nikmat sekali rasanya minum kopi sambil makan roti. Ternyata roti di sini nikmat. Kebiasaanku mencelup-celup roti di kopi diketawai Tante Venny, katanya kayak wong deso lagi ngopi.

Karena udara makin panas akibat AC dimatikan, akhirnya semua bangun. Kami mengerubung di ruang tamu sambil sarapan. Ada yang berbugil, ada yang pakai daster, ada yang hanya pakai celana dalam. Mereka sudah terbawa adat bugil di sini.

Hari-hari selama di Cap d’agde kami habiskan berkeliling dan mencoba jajanan yang ada. Sayangnya tidak ada restoran Cina, jadi kami selama disini tidak pernah bertemu nasi, apalagi sambal.

***

Setelah 4 hari kami istirahat di resort Cap d’agde Prancis Selatan, kami bersiap-siap menuju Barcelona, Spanyol. Perjalanan ke kota wisata pantai yang terkenal itu akan menggunakan kereta rel.

Anggota rombonganku 5 orang ibu sudah kelihatan segar dengan pakaian kasual. Kami meninggalkan Cap d’agde agak lebih awal. Jam 11 jemputan kami sudah datang dan siap mentransfer ke Montpellier. Kami diangkut dengan minibus kapasitas 10 orang. Tidak disangka supirnya cewek setengah baya. Dia sangat cekatan, namun hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Prancis.


Kami mencarter mobilnya sampai keberangkatan kereta jam 5 sore. Aku tanya apakah mengenal kota Montpellier. Dia bilang pernah lama tinggal di sana. Aku minta dia membawa kami ke restoran Asia yang enak di kota Itu. Dia hanya mengangkat jempol.

Perjalanan dari Cap d’agde ke Montpellier kami tempuh sekitar 40 menit. Pemandangan pemandangan sepanjang jalan cukup menawan dengan kebun-kebun anggur sejauh mata memandang.

Kota Montpellier adalah sebuah kota yang cukup besar. Bangunan di kota ini berpadu antara bangunan kuno dan modern. Supir membawa kami ke restoran Thai, kalau tidak salah ingat namanya Royal Orchid Thai Restaurant. Melihat restoran Thai ibu-ibu senang, aku juga, karena kami bakal ketemu nasi dan makanan pedas.

Seperti orang tidak makan seminggu, mereka memesan banyak sekali lauk. Aku berkali-kali menerjemahkan menu dalam bahasa Prancis. Karena kami heboh, pemiliknya yang kelihatan orang Thai mendekat. Pertama dia tegur aku dalam bahasa Thai, aku jawab, “Indonesia,” dia lalu mengangguk-angguk. Aku tidak paham benar nama-nama makanan dalam menu Thai sehingga si pemilik restoran berkali-kali mendeskripsikan jenis-jenis makanannya.

Makanan yang kami tunggu memang agak lama, mungkin tukang masaknya bingung karena bebagai macam jenis dipesan oleh kami. Tante supir yang ikut kami ajak semeja, senyum-senyum saja melihat kelakuan ibu-ibu yang heboh.

Selesai makan, perut kenyang, supir menawarkan keliling kota.
Kota Montpellier memang indah dimusim panas. Ibu-ibu menyebutnya kota ini kota peler, karena pengucapannya memang agak ribet sih. Supir menawarkan melihat bangunan-bangunan kuno. Namun ibu-ibu kurang berminat soal peninggalan sejarah. Aku lalu minta supir untuk mencari pusat perbelanjaan yang letaknya tidak jauh dari stasiun kereta Montpellier, St-roch.

Jika melihat pusat perbelanjaan, ibu-ibu paling senang. Meski tidak belanja, mereka melakukan semacam studi banding. Barang-barang yang dijajakan lebih banyak barang fashion dan parfum.

Sekitar jam 4, kami sudah tiba di stasiun kereta Montpellier, St-roch. Aku akhirnya tenang setelah semua ibu-ibu menempati tempat duduknya masing-masing. Kami akan menempuh perjalanan selama hampir 5 jam. Aku mengingatkan ibu-ibu agar ketika turun di Barcelona harus ekstra hati-hati. Banyak sekali pencopet yang sangat lihai. Barcelona adalah kota turis, maka wisatawan adalah target utama para pencopet.

Stasiun Barcelona-estacio De Franca sudah keliatan agak sepi. Di pintu keluar, namaku sudah terpampang dipegang oleh seorang lelaki agak berumur. Kami bersalaman dan dia memperkenalkan guide yang aku pesan dari tanah air, seorang wanita muda manis. Dengan agak terpatah-patah dia menyambut kami dengan bahasa Indonesia. Stella, dia memperkenalkan namanya. Kami dibawa ke hotel dengan bangunan modern yang jangkung di tengah kota. Menurut Stella, hotel ini memiliki 44 lantai. Dia mengurus chek-in dan mengantar kami ke kamar. Kamar suite room yang memiliki connecting door. Hotelnya mewah sekali dan kamar yang kami tempati sangat besar dengan interior bagaikan kamar raja-raja Eropa.

Stella membrif kami sebentar bahwa kota Barcelona adalah kota pencopet. Oleh karena itu kami diminta berhati-hati jika berjalan-jalan di kota, karena tukang copet di kota ini sangat trampil.

Kalau soal copet-mencopet, aku pernah belajar dari pergaulanku dengan anak-anak proyek Senen di Jakarta. Jadi aku sudah mempersiapkan diri menghadapi mereka dan paham, bagian-bagian mana yang biasanya menjadi target. Namun ilmu mencopet yang biasanya aku gunakan untuk sekedar hiburan dalam bergaul, kurahasiakan dari ibu-ibu rombonganku. Aku menjelaskan pada ibu-ibu untuk mewaspadai dompet dan tempat-tempat surat penting serta uang.
Mereka rupanya sudah mempersiapkan kantong khusus untuk meletakkan barang-barang berharga.

Stella menawarkan wisata malam di Barcelona. Dia menawarkan tempat dugem yang kondang di kota ini. Kami setuju untuk menghabiskan malam ini dengan berdugem ria.

Sebuah club dengan dandanan Eropa abad pertengahan penuh dengan pengunjung, Stella telah mereserved kursi untuk kami ber tujuh. Pertunjukan diawali dengan penampilan cabaret, dari mulai mereka berpakaian minim sampai para penari cewek-cewek cantik bugil di atas pentas. Seni pertunjukkannya sangat profesional. Setelah itu muncul beberapa penari bugil dan diakhiri dengan pertunjukan live show hubungan badan pria dan wanita di atas pentas. Meski cover chargenya tergolong mahal, tetapi kami puas.

Kami melanjutkan dugem dengan acara disco di tempat lain. Sebuah hall yang cukup besar gemerlap dengan kilatan lampu. Disco ini merupakan disco internasional karena pengunjung umumnya turis. Aku bisa memastikan itu karena bahasa yang mereka gunakan bukan Spanyol. Pengalaman dugem di Barcelona tampaknya sesuatu keharusan jika mengunjungi kota wisata ini. Kami berdugem sampai jam 2 pagi, lalu kembali ke hotel. Semua kelihatannya gembira dan puas.

Stella mendampingi kami terus, dan dia juga akan memandu kami sampai kami ke Madrid. Kami kembali ke hotel untuk istirahat. Menjelang tidur, ibu-ibu repot membersihkan muka dan membersihkan segalanya. Ibu-ibu itu membuka baju dan hanya mengenakan celana dalam mondar mandir. Stella bingung melihat begitu bebasnya anggota rombonganku berkeliaran dalam keadaan semi nude. Dia bertanya, apakah di Indonesia juga ada kehidupan nudist.

“Ada, tetapi di Bali dengan wilayah yang sangat terbatas,” kataku yang juga hanya mengenakan celana dalam.

Mungkin Stella ingin menyesuaikan lingkungan, dia pun kemudian membuka semua bajunya sampai tinggal celana dalamnya. Dia mengenakan G string, sehingga bokongnya yang montok dan putih terekspos.

Aku sudah bersiap-siap tidur, tiba-tiba Tante Henny dari kamar sebelah memanggilku. Mereka minta aku datang ke kamarnya karena Stella kelihatannya seperti kesakitan. Dengan hanya mengenakan celana dalam aku mengikuti Tante Henny.

“Porqué,” tanyaku pada Stella.

“Dolor de estómago,” kata Stella sambil memegang perutnya. Dia merasa perutnya sakit. Stella memegang perutnya bagian ulu hati.

Kelihatannya Stella kambuh maagnya. Aku lalu mencoba menekan telapak tangannya antara ibu jari dengan jari telunjuk. Aku tekan pelan. Stella berteriak. Tidak salah lagi, ini maagnya yang kambuh.

“Paciente,” kataku memintanya dia sabar.

Aku meminta Stella menahan sakit di bagian tangan kirinya yang aku tekan-tekan. Ini lebih baik dia merasa sakit di tangan, dari pada di perutnya. Stella mengangguk. Kami duduk berhadap-hadapan. Payudaranya yang tidak tertutup kelihatan putih dan menantang cukup besar. Aku sambil menerapi tangannya memperhatikan payudara Stella. Pemiliknya tidak peduli, karena sedang cengar-cengir menahan sakit. Sementara aku celegukan menelan air liur melihat payudara Stella yang sangat indah.

Sekitar 15 menit terapi, Stella mulai tidak lagi merasa sakit baik di bagian tangan yang aku tekan, maupun di ulu hatinya.
Dia minta istirahat sebentar untuk meredakan rasa sakit di tangan. Dia heran, mengapa tangan yang ditekan, tetapi sakit di bagian perutnya bisa reda. Aku lalu menyombongkan terapi dari belahan Timur.

Setelah istirahat sejenak aku melanjutkan dengan menekan telapak tangannya sebelah kanan. “Por favor peerse,” kataku dengan bahasa Spanyol yang rada ngaco mempersilahkan jika dia ingin buang angin.

Stella kaget dan bingung, “Seguro?” katanya meyakinkan aku apakah benar aku meminta dia kentut.

“Si,” kataku.

Stella lalu memiringkan tubuhnya dan lepaslah gas dari pantatnya. Suaranya cukup keras, sampai terdengar di kamar sebelah. Stella menutup mukanya, dia malu kentut di depanku. Aku jelaskan jika dia berhasil kentut, berarti sakit diperutnya segera sembuh.

“Si,” katanya dengan nada panjang setengah tidak percaya.

Aku juga minta Stella bersendawa, “Eructo,“ kataku.

“Si, si,” katanya.

Stella bersendawa berkali-kali Aku jelaskan mungkin Stella tidak kuat minum alkohol sehingga magnya kambuh. Dia mengaku memang sudah lama tidak minum-minuman keras. Namun karena tadi terbawa suasana, akhirnya dia mencoba minum, akibatnya magnya kambuh.

Kuterangkan bahwa terapinya belum tuntas, karena ada bagian simpul syaraf di tubuh yang juga harus di tekan agar magnya benar-benar sembuh, jadi tidak mengganggu jadwal memandu kami. Stella senang, dia ingin merasakan sensasi di pijat refleksi.

Aku memintanya dia pindah ke kamarku karena Tante Henny yang satu bed dengan Stella kelihatannya sudah ngantuk berat.

Stella tidur tengkurap di bedku dan aku mulai melancarkan tekanan-tekanan refleksi mulai dari kaki sampai ke sekujur tubuhnya. Aku tentu saja tidak melewatkan menekan simpul-simpul syaraf erotis. Reaksinya mulai terlihat, Stella kelihatan gelisah dan sesekali mendesis. Dia mengatakan pijatanku enak dan merangsang. Berkali-kali dia mendesis sambil mengucapkan, “Estimular”.


Aku mulai berpikir, akankah aku menerkam Stella sepagi ini. Apa pun yang akan terjadi dia harus dibersihkan dulu terutama sekitar kemaluannya. Aku memainkan bagian yang merangsang dia kencing. Benar saja, tidak lama dia minta aku berhenti karena dia kebelet pipis. Aku minta dia membersihkan dengan sabun semua bagian pribadinya agar bakteri yang mengganggu kesehatan dapat dihilangkan. Stella paham dan mengangkat jempol.

Kembali dari kamar mandi, Stella sudah tidak mengenakan celana dalam lagi. Dia tenang saja jalan bugil. Aku menduga, tekanan pada syaraf erotisnya telah membuat Stella “berkeinginan” dan rasa malunya hilang.

Aku ingin mengulang sedikit mengenai siapa aku. Pada cerita-cerita sebelumnya, terutama di seri “Harem”, aku mempunyai kemampuan memijat refleksi dan hipnotherapi. Oleh karena kemampuanku itu, aku berhasil menerapi ibu-ibu yang kelebihan berat badan. Kelima ibu-ibu yang bersamaku keliling Eropa ini adalah pasienku yang telah berhasil menurunkan bobot badan mereka.
Mereka adalah para wanita terhormat dan kaya raya di Indonesia. Aku yang membuat mereka gila sehingga mau bertelanjang di wilayah nudis dan melakukan pesta orgy bersamaku, karena selama di Eropa ini mereka melepaskan semua atributnya, dan semuanya adalah penggemar fanatikku. Aku dinilai mampu memuaskan hasrat sex mereka dan kreatif dalam mengatur perjalanan keliling Eropa. Meskipun mereka di tanah air orang-orang terhormat dan kaya raya, tetapi pada dasarnya adalah wanita biasa, yang punya nafsu dan memiliki keinginan melakukan sensasi yang rada gila. Itulah makanya mereka terpuaskan berpetualang bersamaku. Meskipun umurku kini sekitar 25 tahun, tetapi ibu-ibu yang berusia antara 35 sampai 42 merasa tenang dibawah naunganku selama perjalanan ini.

Kembali ke Stella, aku melanjutkan therapi dan terus memacu syaraf birahinya melalui tekanan syaraf sensual. Dia makin gelisah dan nafasnya memburu. Aku pura-pura tidak tahu, maka setelah usai memijat aku berbaring disampingnya berpura-pura siap berangkat tidur. Stella tidak memberiku keempatan. Dia langsung menyerang dengan ganas menciumi seluruh tubuhku dan terakhir menghisap kemaluanku. Kuakui foreplay yang dimainkan Stella cukup luar biasa. Rasanya aku tidak perlu membalas serangan, karena dia sudah “tinggi”.
Yang harus kulakukan adalah bertahan agar jangan keburu “meledak” ejakulasiku.

Aku berusaha berkonsentrasi meredakan rangsangan yang merambat ke seluruh tubuh melalui olah pernafasan. Sementara itu Stella terus menyerang diriku dan dia sudah tidak sabar lagi langsung membenamkan kemaluanku kedalam vaginanya. Dengan gerakan ganas dia seperti mengendarai diriku. Aku tetap berusaha tenang.

Stella mengaku baru sekali ini merasakan orang Asia. Menurut dia penisku keras sekali sehingga sangat mengganjal di dalam vaginanya. Menurut dia penisku adalah yang paling enak yang pernah dia rasakan. Aku tidak perduli apakah itu benar ataukah hanya puja-puji biasa, yang penting aku menikmati kuda putih malam ini.

Foreplay yang kumainkan melalui pinjatan refleksi dampaknya agaknya melebihi foreplay biasa. Stella seperti kuda gila mengendaraiku. Dia sudah tidak perduli lingkungan, sehingga dia mengomel sendiri dan merintih-rintih merasakan nikmatnya kemalauannya kena sodok penis Asia.

Rupanya Stella termasuk wanita yang mudah mendapat orgasme. Baru 5 menit dia memacuku sudah berteriak histeris dan jatuh telungkup di pelukanku.

“Extraordinario,” katanya menggambarkan rasa yang luar biasa enaknya. Aku juga merasakan betapa kerasnya kedutan di dalam rongga senggamanya menjepit penisku.

Biasanya vagina yang baru mengalami orgasme, rasanya lebih legit. Aku membalikkan badannya dan kini aku yang memacu kuda putih. Dengan posisi konvensional, aku mulai mencari posisi terbaik untuk merangsang bagian dalam vagina Stella. Pencarianku lebih mudah karena Stella sangat reaktif.
Begitu disodok bagian yang enak dia langsung berceloteh, “Si, si, si,”. Mungkin kalau bahasa Inggris maksudnya yes yes yes.

Aku hajar terus, sementara dia makin berisik dan tiba-tiba dia menarikku dalam dalam sambil berteriak, “Ah, mi dios!” yang kira-kira kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris, “Oh, my God!”

Sebenarnya aku sudah mulai mencapai tahap akan berorgasme. Karena dihentikan jadi hilang nikmatnya. Aku hanya menikmati jepitan vaginanya yang rasanya semakin ketat. Aku berhenti sebentar lalu langsung kuhajar kembali dan Stella merintih-rintih. Aku kosentrasi kepada tujuan ejakulasi. Sekitar 2 menit aku merasa mulai akan meledak ejakulasiku dan genjotan makin kupercepat. Meledaklah lahar putih ke dalam liang vagina Stella. Sedang aku menikmati kontraksi orgasmeku, Stella lalu menarik kembali dalam-dalam pantatku dan dia mengeluh panjang, keluhan nikmat. Aku tidak jelas benar dia merancu apa.

Setelah sekitar 5 menit kami istirahat dengan badan penuh keringat, lalu jalan bersama ke kamar mandi untuk saling membersihkan diri. Stella jalan memelukku . badannya lebih tinggi dariku. Padahal aku 175 cm. Dia mungkin hampir mendekati 180 cm. Menurut dia penisku tidak termasuk big size, tetapi kenapa rasanya nikmat sekali.

Dia bercerita pernah berhubungan dengan penis yang cukup besar, tetapi tidak nikmat. Rasanya malah sakit. ”Apa sih rahasianya?” tanya Stella penasaran.

Kuceritakan banyak hal sebenarnya yang mempengaruhi seorang wanita itu merasa nikmat dalam berhubungan. Secara singkat kujelaskan bahwa wanita itu merasa nikmat berhubungan, jika dia sudah cukup bernafsu. Pada titik seorang wanita sudah on lalu pria memasukinya, maka setiap gerakan dirasakan sebagai aliran listrik yang menjalarkan kenikmatan. Faktor lainnya adalah penis yang keras dan kaku, memberi rasa nikmat di dalam vagina wanita. Sebab penis yang keras akan menekan lebih kuat G spot di dalam vagina.

“Ibarat lapar, makan apa pun meski lauknya sederhana, pasti rasanya enak. Sebaliknya kalau belum ingin makan, makanan senikmat apapun pasti makannya kurang berselera,” kataku membuat perumpamaan.

Kami tidur bersama dalam satu selimut. Stella masih penasaran dan terus bertanya. Dia tanya kenapa dirinya bisa jadi terangsang seperti itu tadi, padahal dia merasa aku tidak merayunya. Aku katakan saja itu rahasia dari Timur. Dia ngambek dan minta dijelaskan. Akhirnya aku buka rahasia, bahwa aku tadi menekan simpul-simpul syaraf erotis.

“Bayangkan sakit perut yang begitu hebat saja bisa hilang dengan hanya di tekan simpul syarafnya, apalagi syaraf rangsangan, pastinya lebih mudah,” kataku.


“Kamu jahat, aku dijahilin,“ katanya setengah merajuk.

Kami baru bisa tidur sekitar jam 4. Sementara anggota rombonganku dari tadi sudah mendengkur.
Mereka terlalu banyak minum alkohol, sehingga tidurnya seperti orang mati, tidak mendengar ada perang Indo – Spanyol yang berisik.

Sekitar jam 8 pagi aku baru terbangun. Stella masih mendengkur. Dia tidur nyenyak sekali setelah dihantam orgasme berkali-kali. Kudengar di kamar mandi sudah ada suara gemericik. Aku segera menyusul, karena desakan kebelet pipis. Kulihat Tante Dina dan Tante Venny sedang mandi dengan shower. Aku sekalian ikut nimbrung mandi bersama.

Dasar perempuan, meskipun usianya lebih tua, tetapi naluri ingin dimanjakan lelaki tetap aja ada. Mereka minta aku menggosok tubuhnya dengan sabut mandi.

Aku diinterview Tante Dina. “Tadi malam Stella kamu makan ya?” tanyanya.

“Abis dia yang minta, aku diperkosa,” kataku.

“Ah, dasar lu gak bisa lihat barang yang bening,” sambung Tante Venny.

Karena merasa aku dipojokkan, timbul keisenganku. Aku tidak sekedar menggosok tubuh mereka, tetapi aku menekan seperti gerakan urut di titik-titik simpul erotisnya. Aku mau tau, apa mereka bisa menahan hawa nafsunya jika simpul syarat nafsunya aku mainkan.

Kelihatannya manjur juga. Tante Dina mulai menggenggam penisku yang masih loyo. Tante Venny malah memelukku dari belakang. Payudaranya ditekan dan digeser-geserkan ke punggungku.
Mereka mulai on.

“Tau rasa sekarang, tadi ngeledek gua sih,” batinku. Aku pura-pura tidak perduli dan tetap menggosok tubuh Tante Dina. Meski aku abai, tetapi penisku tidak bisa diajak kompromi. Dia pelan-pelan bangun juga.

Sedang kami asyik, Stella masuk ke kamar mandi. Dia terkejut menyaksikan adegan kami bertiga. Tante Venny memberi isyarat agar Stella masuk saja. Mungkin karena kebelet kencing yang amat sangat Stella lalu masuk dan duduk di toilet. Suara desiran kencingnya panjang sekali, menandakan tekanan kencingnya sangat kuat.

Stella aku ajak sekalian mandi. Dia mulanya ragu, tetapi Tante Dina menarik tangannya. Jadilah kami di ruang shower mandi berempat. Air mandi kami jadi melimpah kemana-mana. Stella bergabung dan aku menggosokkan sabun mandi dan sabun ke tubuhnya. Aku juga memainkan urutan erotis sambil menggosok sabut bersabun. Dia mendesah-desah, sementara batang penisku sudah diremas-remas Tante Venny. Ketika posisiku berdiri Tegak Tante Dina malah mengulum penisku yang masih bersimbah sabun.

Mereka berdua sudah terangsang hebat gara-gara kukerjai. Tante Dina lalu berdiri dan menungging sambil menuntun penisku agar memasuki vaginanya. Kuturuti saja yang dia mau, Aku menggenjot Tante Dina sementara Tante Venny memeluk dan menciumiku. Stella yang sudah on hanya bisa menonton. Tante Dina bisa mencapai orgasmenya dalam posisi nungging. Dia lalu duduk dilantai karena katanya dengkulnya lemas.
Melihat batangku lepas dari Tante Dina, Tante Venny mengikuti langkah Tante Dina. Dia pun lalu nunging di depanku dan menuntun penisku masuk ke gerbang vaginanya.

Aku genjot Tante Venny. Dia juga bisa mencapai orgasmenya dan duduk disamping Tante Dina. Kedua mereka sudah tidak perduli duduk di lantai dan rambutnya basah. Melihat 2 wanita sudah KO, rupanya Stella penasaran, Dia pun lalu nungging di depanku. Namun karena dia lebih tinggi dari aku , maka dia harus menekuk sedikit lututnya. Posisi penisku tidak horizontal memasuki vaginanya tetapi agak 45 derajat.

Stella mulai berisik dengan racauannya berbahasa Spanyol. Entah akibat urutanku tadi atau karena dia menonton pertempuran ku dengan Tante Dina dan Tante Venny. Stella cepat sekali mencapai orgasme. Sementara aku kurang merasakan sensasi menyodok vagina dari belakang. Sebab itu aku agak sulit mencapai orgasme pada posisi itu. Apalagi belum lama habis bertempur dengan Stella.

Aku tidak berambisi berejakulasi. Aku kembali mandi meski penisku mengacung. Kami kembali membersihkan diri dan kemudian saling mengeringkan dengan handuk.

Stella kembali memujiku. “Hebat amat kamu, bisa melawan 3 wanita sekaligus tanpa ejakulasi,” katanya.

Aku jengah juga dengan pujian itu. Kukatakan saja, “Jangankan 3, 6 pun bisa kulawan,“ kataku.

“Seguro?” katanya meyakinkan kebenaran kata-kataku.

Kebanyakan nyodok, perutku jadi lapar.
Aku minta semua anggota rombongan agar bersiap untuk breakfast di restoran bawah.
Sudah lewat jam 9 saat baru kami memulai sarapan. Makanan masih banyak terhampar. Aku makan sekenyang-kenyangnya.

Acara di Barcelona, tidak ada yang khusus, kami hanya berkeliling kota dan melihat pantai sebentar. Selepas makan siang, agar ibu-ibu tidak ngantuk aku minta supir singgah di pasar.

“Mercado?” tanya supir kurang yakin bahwa rombongan ini ingin ke pasar.

“Si, mercado, senor.” kataku.

Ibu-ibu senang sekali rupanya kuajak menelusuri pasar. Kami menonton betapa segar-segarnya sayuran serta buah-buahan. Selagi kami asyik berjalan, aku dipepet 3 anak muda. Aku tahu mereka mau mencopetku.
Orang di depanku seperti menjatuhkan sesuatu. Aku tahu ini jebakan. Dengan satu gerakan yang cepat dan tidak mereka sadari, ketiga jam tangan mereka sudah berhasil kulepas, juga dompet mereka sudah kukantongi. Dompetku berhasil mereka ambil dan dompet itu adalah dompet kosong.

Mereka kemudian berlalu, kupanggil mereka dan kutanyakan jam berapa sekarang. Mereka kaget bahwa jam tangannya sudah tidak ditempatnya lagi. Ketiga mereka jadi bingung saling bertanya. Lalu kutanya apa melihat dompetku. Mereka berlagak pilon mengatakan bahwa tidak ada melihat dompet. Dengan enteng aku jawab, bahwa aku juga tidak melihat dompet mereka. Serentak mereka memegang kantongnya dan mukanya langsung bingung. Kutanya sekali lagi apa benar mereka tidak melihat dompetku, lalu salah satu dari mereka dengan agak ragu menyerahkan dompetku. Kuambil dan kubuka di depan mereka bahwa dompet itu tidak ada isinya. Lalu aku salami mereka, “Gracias” kataku berterima kasih.

Aku pura pura berlalu dan mereka masih bengong. Aku kemudian berbalik dan mengatakan, “Oh ya, ada yang lupa,” kataku sambil merogoh kantongku dan mengeluarkan 3 dompet dan 3 jam tangan lalu kuberikan kepada mereka.

Mereka heran dan salah satu dari mereka langsung meminta maaf. Mereka bertiga menyalamiku. “Maaf, kami tidak menyangka ilmu anda lebih tinggi, apa yang anda inginkan dari kami?” kata mereka.

Aku lalu menunjuk rombonganku. Kukatakan kami akan berkeliling pasar, tolong dijaga agar rombonganku jangan sampai terganggu. Mereka langsung menyanggupi, “Si, senor,” kata mereka.

Adegan singkat kami itu rupanya diperhatikan oleh para pedagang di sekeliling. Mereka lalu bertepuk tangan. Ibu-ibu yang jalan agak ke depan berhenti dan berbalik.

Tante Dina tanya, “Ada apa sih?”

Kujelaskan ada pencopet kecopetan. Ketika kujelaskan mereka tersenyum-senyum. Stella dengan muka heran lalu bertanya, “Anda pandai juga mencopet.”

Kami aman berkeliling pasar, ketiga orang itu seperti melingkari rombonganku dan menjaga sekali jika ada kelompok pencopet yang mendekat. Aku jadi banyak disalami oleh para pencopet di pasar itu. “ Raja copet,” kata mereka menyebut diriku.

Iseng saja aku, ketika disalami jam tangan mereka ada yang kuloloskan lalu kukembalikan lagi. Akhirnya jadi banyak pencopet yang menjagai rombonganku.


Kami dilepas oleh puluhan pencopet ketika meninggalkan pasar. Mereka tidak tahu bahwa ketrampilanku mencopet dipadukan dengan ketrampilan menyirep sekejap. Sehingga mereka tidak sadar sesaat ketika jamnya kuloloskan.


Dari pasar buah dan sayur mayur, kami melanjutkan tour ke jalan yang paling terkenal di Barcelona, Las Ramblas. Kawasan ini adalah tempat yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Tempat ini juga terkenal dengan copetnya.

Supir kami mengingatkan agar kami lebih berhati-hati dengan barang kami, karena di Las Ramblas banyak sekali pencopet. Kami tiba di Las Ramblas. Stuasinya ramai sekali. Jalan yang memanjang mungkin sekitar 2 km dipenuhi oleh toko, cafe, hotel-hotel dan kios-kios cendera mata. Aku mengingatkan ibu-ibu rombonganku agar berhati-hati dengan barang bawaan mereka .


Seperti biasa, aku mempersilakan ibu-ibu jalan di depan dan aku mengawasinya dari belakang. Mereka aku bebaskan menentukan arah. Sebab jika aku jalan di depan, sering kali ibu-ibu ini berhenti seenaknya, sehingga aku jadi terlalu jauh di depan.

Aku menyisir orang-orang di sekitar rombongan kami. Dari pandangan mereka aku segera bisa menebak mana yang pencopet dan mana yang bukan. Tante Shinta mulai didekati 3 orang cewek. Penampilan mereka seperti ABG, tetapi aku patut menduga mereka adalah kawanan copet. Aku mendekat ke bu Shinta. Benar saja, ketika Tante Shinta sedang melihat pajangan souvenir, tas tangannya yang lengah dijaga dibuka oleh salah satu dari ABG. Cepat sekali mereka membuka restleting dan mengambil sesuatu. Handphone rupanya yang dikutil, aku pura-pura kesandung dan menabrak ketiga remaja itu. Tanganku dengan sigap menyabet handphone mereka bertiga.

Ketiga remaja itu kaget karena ketabrak badanku. Mereka kemudian berlalu. Beberapa langkah menjauh dari rombongan ku, salah satu remaja yang bertugas menerima operan ribut dengan temannya. Aku hanya mendengar handphone hilang, yang lainnya kemudian juga meraba kantongnya mereka saling berpandang-pandangan. Ketiga mereka kehilangan handphone sekaligus.

Mereka melihat rombongan kami dan matanya lalu bertatapan denganku. Aku pura-pura menanyakan jam berapa sekarang. Salah satu dari mereka kaget, jam tangannya juga hilang.

Aku lalu bertanya. “Apa kalian lihat ada handphone jatuh?” kataku. Mereka menggeleng.

Mereka kudekati, dengan suara agak pelan kutanya, mau tukeran HP enggak. Ketiga mereka saling pandang-pandangan . Aku menawarkan satu HP tuker 3 HP sambil kukeluarkan ketiga HP mereka. Mereka kaget dan segera mengeluarkan HP Tante Shinta. Mereka minta maaf, langsung ketiganya memeluk dan mencium pipiku.

“Maaf ya, kami salah sasaran, “ kata salah satu yang kelihatannya pimpinan kelompok.

“Ah tidak apa-apa, tapi kalian mesti menebus kesalahan,” kataku.

Mereka bertanya, ”Menebus dengan cara apa, kalau kami tidak mau bagaimana?”

Wah, bandel juga abg pencopet ini. Aku dengan tenang menjawab, ”Kalian tidak punya ongkos untuk pulang kan?” Aku kembali ke rombonganku dan menegur Tante Shinta. “Tante, ini ada telepon,”

Tante Shinta kaget, “Lho, kok bisa ada di kamu?”

Aku jelaskan bahwa HP itu tadi dicopet sama 3 remaja itu, aku menunjuk 3 abg yang sedang kebingungan.
Mereka masih sibuk mencari dompetnya masing-masing, ketiga dompet mereka sudah raib. Aku kerjai ketika mereka memeluk dan menciumku tadi.

Mereka lalu mendekat, “Oke senor, kami harus bagaimana?”

Aku minta mereka mengawal ibu-ibu selama di Las Hambras, kujanjikan ada uang lelah untuk itu. Mereka lalu berseri seri. Salah satu dari mereka dengan gaya centil remaja bertanya, ”Tapi senor tadi mengambil dompet kami ya?”

”Ah, mungkin teman kalian yang mencopet.” kataku.

“Ah, enggak mungkin.” katanya.

”Kami kenal semua pencopet di sini,” kata yang lain.

Aku lalu menunjuk salah satu dari mereka yang membawa ransel. “Coba, mungkin di dalam ransel itu,” kataku.

Mendengar penjalasanku, si pembawa ransel langsung menyanggah, ”Ah mana mungkin, jam tanganku aja hilang, dompetku juga.”

Tapi temannya bersikeras untuk memeriksa isi ransel itu. Di situ memang ada 3 dompet mereka berikut jam tangan. Mereka menjerit gembira sehingga menarik perhatian orang disekelilingnya. Pedagang disekitar situ yang mengenali remaja copet itu, bersuit-suit dan bertepuk tangan.

“Wah, pertunjukan yang luar biasa,” kata salah seorang dari pedagang itu. Rupanya adegan kami tadi dilihat terus oleh para pedagang di situ.
Sebentar saja kami jadi pembicaraan di sekitar wilayah itu.

Seorang berbadan tinggi besar dan ganteng mendatangiku. Aku sudah siap-siap. Tapi mukanya ramah dan tersenyum. “Senor, saya membawahi anak-anak di Las Hambras, kami merasa mendapat kehormatan anda berada di sini, saya jamin selama di wilayah sini, rombongan anda tidak akan ada yang berani mengganggu.”

Dia memperkenalkan dirinya, Juan Pablo. Ketiga abg itu dipanggil dan sepertinya dimarahi. Si Pablo terus mendampingi kami selama di Las Hambras. Situasi Las Hambras memang ramai sekali. Rasanya kalau ke Barcelona tidak mampir di sini pasti rugi.

Ibu-ibu rombonganku sudah gatal saja ingin memborong barang-barang yang dipajang di situ. Cara para pedagang disitu memang pandai. Mereka menyusun pajangannya sangat menawan. Hampir satu jam kami berjalan dan sudah terasa lelah. Pablo menawarkan kami istirahat sebentar, dan dia berjanji akan mentraktir kami untuk ngopi dan makan snack. Tawaran itu kami terima, tetapi kami menolak ditraktir.

Ibu-ibu ngomong dalam bahasa Indonesia, “Buat apa ditraktir pakai duit copetan, nggak usah ah, kita juga mampu bayar sendiri.”

Pablo hanya angkat bahu dengan gesture pasrah. Tempat yang dipilih Pablo memang enak, warung kopi dengan teras dan tempat duduk yang bisa melihat pemandangan orang lalu lalang. Aku minta bill ke waiter. Aneh, ketika waiter kembali, dia bukan membawa bill malah membagikan kartupos suasana Las Hambras.

“Kata boss, anda tidak usah bayar, elogioso,” kata waiter.

“Saya sudah bilang, anda kan tamu kehormatan di sini,“ kata Pablo.

Stella yang sejak kecil di Barcelona terheran-heran melihat sambutan masyarakat Las Hambras kepada kami. Dia berbisik kepadaku, “Anda sangat beruntung dikawal oleh bos mafia di sini.” Stella menambahkan, semua barang yang dibeli ibu-ibu tadi dikasih harga murah sekali. “Saya saja belum tentu bisa dapat harga semurah itu kalau belanja di sini,” kata Stella.

Las Ramblas mengingatkanku Pasar Baru di Jakarta. Bedanya, di Pasar baru tempat pedestrian tidak ada pohon dan Las Ramblas banyak pohon dan jalannya lebih panjang dan lebih lebar.

Kami kembali ke hotel setelah kaki pegal dan mata agak berat juga meski sudah ditendang kopi.

***

Malam terakhir di Barcelona kami mulai dilanda kejenuhan. Setelah hampir 2 minggu berkeliling 3 negara ada terbersit rasa rindu tanah air. Jika aku saja merasakan begitu, apalagi 5 ibu-ibu anggota rombonganku. Mereka selalu tanya berapa hari lagi kita pulang.

Untuk menghilangkan kejenuhan, aku harus mencari akal memberi hiburan. Hiburan malam sudah kami telusuri, belanja sudah puas, jalan-jalan sudah bosan, padahal perjalanan masih ada 3 hari lagi. Negara yang terakhir adalah kembali ke Belanda.

Kamar kami terhubung dengan connecting door, jadi aku bisa mondar-mandir ke dua kamar, yang memang pintu penghubungnya dibuka. Semua ibu-ibu kelihatannya kelelahan dan ngantuk, padahal baru jam 5 sore. Aku sebenarnya juga ngantuk, tetapi karena terbeban sebagai tour leader, aku harus mengontrol semua anggotaku.

Mereka semua sudah terlelap, termasuk Stella, rupanya ikut kecapean. Gadis manis pemandu kami mahasiswi program studi bahasa Indonesia ini, juga lelap di bedku. Aku mengambil kesempatan untuk berendam sejenak melemaskan otot-ototku. Setelah itu aku berbaring satu selimut dengan Stella. Dia tidur hanya mengenakan celana dalam. Bajunya digantung di lemari pakaian, mungkin dia takut kusut, karena tidak membawa ganti.

Rasa ngantukku sudah mengalahkan keinginan lainnya. Sebelum tidur aku menenggak air putih sekitar 3 gelas. Setelah perutku penuh aku terlelap di samping Stella.

Tidak terasa 2 jam aku tertidur, dan sebenarnya belum ingin bangun, tetapi karena tersesak pipis terpaksa, aku bangkit ke kamar mandi. Sebelum tidur aku memang minum agak banyak. Ini kusengaja agar aku tidak tidur terlalu lama. Maklumlah, sebagai penanggung jawab perjalanan, aku harus siap lebih dahulu dari anggota rombonganku.

Setelah berganti baju, dengan penampilan rapi, aku turun ke lobby. Aku memeriksa fasilitas hotel, terutama restorannya. Hotel itu mempunyai coffee shop dan restoran besar untuk acara dinner. Malam ini ada hiburan live music, lagu-lagu latin dan country.
Rasanya malam ini cukup dihabiskan dengan dinner bersama sambil menikmati hiburan di restoran.

Ketika aku kembali ke kamar, ibu-ibu sudah mulai bangun. Mereka menanyakan acara malam ini. Aku menawarkan makan malam di hotel saja sambil menikmati hiburan live music.
Mereka semua setuju karena sudah bosan untuk jalan-jalan malam lagi. Supir aku call untuk pulang saja dan kembali besok jam 9.

Menginap di hotel berbintang 5 memang enak, karena fasilitasnya serba wah. Tapi satu hal yang tidak aku suka. Untuk makan malam saja mereka mensyaratkan para tamu harus mengenakan jas untuk laki-laki dan perempuan harus mengenakan gaun. Bahkan sepatuku kets yang nyaman tidak diperbolehkan masuk restoran itu, aku harus mengenakan sepatu kulit yang mengkilat. Untungnya aku tadi siang sempat membeli sepasang sepatu kulit. Maksudku berniat membeli, tetapi ketika mau bayar, ibu-ibu anggota rombonganku berebut membayarnya. Namun jas aku tidak punya, yang ada hanya jaket hitam bahan kain. Kalau jaket itu dipadukan dengan baju putih dan dasi masih tampak seperti jas. Di Paris jaket itu kukenakan untuk dinner tidak masalah, mestinya di Barcelona juga ok-ok saja.

Sekitar jam 8 lebih sedikit, semua ibu-ibu sudah siap dengan gaun malamnya. Mereka tampak anggun sekali. Stella kulihat juga mengenakan gaun malam dengan punggung terbuka. Perempuan memang selalu siap dengan berbagai busana, pantas saja kopernya besar-besar.

Tidak ada yang istimewa selama kami dinner. Aku sebetulnya suka dengan lagu-lagu latin dan country, tetapi ibu-ibu sudah merasa bosan dan mereka mengajak segera kembali ke kamar. Setelah berada di kamar mereka bertanya mengenai kemungkinan tour ini dipercepat agar bisa segera kembali ke Jakarta.

Aku lalu menenangkan ibu-ibu itu. Mereka kuminta santai dan kembali mengenakan pakaian tidur. Aku akan memberi therapi agar tidak gelisah, dan kembali bersemangat. Tante Henny menanyakan apakah rasa kangen pulang bisa ditherapi. Aku jawab bisa saja dan aku akan melakukan therapi kepada kelima ibu sekaligus.

Mereka aku minta duduk di sofa. Aku sudah mengatur sofa di kamar agar dapat ditempati ke lima ibu itu. Meja kusingkirkan dan di sini aku jelaskan bahwa teraphy ini untuk menghilangkan kegelisahan, mengembalikan rasa gembira dan yang lebih penting semua rombongan semuanya sehat. Sebab rasa gelisah yang berlarut-larut bisa mengurangi daya tahan tubuh. Dalam perjalanan jauh diperlukan stamina yang prima. Stamina itu terbangun berkat adanya semangat dan kegigihan.

Aku beri pengertian kepada ibu-ibu bahwa sebentar lagi aku akan memasukkan sugesti untuk penenangan. Aku memberikan sugesti kepada ibu-ibu, jika aku tepuk pundak mereka, maka akan terasa ngantuk dan tertidur.
Mereka paham dan mulailah aku tepuk pundak mereka satu persatu. Satu persatu para ibu itu langsung tidur lelap. Stella yang dari tadi menyaksikan aksiku terbingung-bingung. Dia bertanya apakah aku menghipnotis mereka. Aku membenarkan.

Setiap ibu ku sugesti bahwa akan merasakan senang, gembira menjalani tour keliling eropa. Sebab tour ini memang diinginkan sejak lama. Rasa itu aku masukkan ke alam bawah sadar mereka. Kepada mereka semua aku tanya apakah mereka merasa senang jalan-jalan keliling eropa. Satu persatu mengangguk. Mereka masih terlelap tidur karena pengaruh hipnotis.

Aku lalu tanya kepada Stella, kita apakan ibu-ibu ini. Mereka akan menuruti semua kata-kataku. Stella setengah tidak percaya. Aku lalu mensugesti Tante Vence, ke dalam alam bawah sadarnya aku tanamkan bahwa Tante Vence adalah seorang penari erotis.
Jika terdengar musik maka akan segera bangkit menari dan melepas baju satu persatu. Tante Vence mengangguk ketika kutanya apakah paham dengan yang kukatakan.

Aku lalu menghidupkan musik dari saluran hotel. Tidak perduli musik apa, Tante Vence lalu bangkit meliuk-liukkan badannya dan satu persatu bajunya dilepas. Ia tidak terlihat seperti orang terpengaruh hipnotis, padahal dia masuk dibawah pengaruh hipnotis.

Stella mengagumi kehebatan hipnotis, sehingga Tante Vence yang cenderung pendiam, sekarang bisa meliuk-liukkan badannya sambil telanjang.


“Apakah kamu bisa membuat mereka terangsang sampai ingin berhubungan?” kata Stella.

“Itu pekerjaan yang mudah, menghilangkan rasa sakit untuk cabut gigi saja bisa, apalagi soal terangsang,” kataku.

Stella meminta aku mencobanya. Aku menggandeng Tante Vence dan kepadanya kutanamkan keinginan yang amat sangat untuk disentuh laki-laki terutama disentuh oleh aku. Ia akan merasa betapa besarnya rangsangan yang menggelagak di dalam tubuhnya. Sesaat setelah kutepuk pundaknya. Tante Vence langsung memelukku-menciumku dan membukai bajuku satu persatu. Aku minta tolong kepada Stella untuk menggelar bed cover dan mengambil handuk di kamar mandi.

Diatas bed cover itu aku berbaring dan Tante Vence menyerangku habis-habisan. Barangku dihisapnya dengan penuh nafsu. Dijilatinya seluruh tubuhku dan dia segera memasukkan penisku ke vaginanya. Sugesti kutambahkan bahwa Tante Vence sudah merasakan akan segera orgasme dan orgasme itu sangat nikmat sekali. Tante Vence menangkap sugestiku dan dia mulai bergerak dengan ganas. Tidak sampai 3 menit dia sudah menjerit menandakan orgasmenya yang ternikmat dicapai. Aku merasa kontraksi di dalam vaginanya. Tante Vence rubuh menindih badanku.

Kuberi waktu sekitar 1 menit lalu kubisikkan lagi ke Tante Vence bahwa dia merasakan keinginan untuk bersetubuh lagi denganku. Tante Vence bangkit dan mulai lagi menggerak-gerakkan badannya naik turun dan maju mundur diatasku. Aku kali ini tidak ingin dia segera mendapat orgasme karena aku juga sudah merasakan nikmat. Dia kusugesti bahwa akan merasa nikmat manakala aku berejakulasi di dalam vaginanya. Pada saat itu Tante Vence juga akan mencapai orgasme yang sangat nikmat. Aku lalu berkonsentrasi dan dalam hitungan sekitar 10 menit aku segera meletupkan ejakulasiku. Merasa penisku berkontraksi dan menyemprotkan cairan hangat Tante Vence segera menjerit keras sekali dan rubuh kembali diatas tubuhku.

Stella bertepuk tangan, dia mengatakan luar biasa hipnotis yang kukuasai. Dia baru kali ini melihat betapa seorang wanita begitu bernafsu dalam berhubungan badan. Aku lalu memerintahkan Tante Vence membersihkan diri di kamar mandi dan kembali berpakaian. Semua dilaksanakan dan ia kuminta duduk kembali ke tempatnya semula.

Aku setelah membersihkan diri lalu mengisap rokok sambil menyegarkan diri dengan membuka satu kaleng bir. Stella kuberi sekaleng dan kami menikmati bir dingin bersama. Bedanya aku tetap telanjang, sementara Stella masih menggunakan baju tidur.

Pikiran ibu-ibu sudah jenuh dengan rangkaian perjalanan yang sangat terikat waktu. Oleh karena itu mereka memang harus dibuat rileks. Agar tubuh lebih rileks, seorang perempuan biasanya setelah merasakan orgasme yang terbaik maka seluruh beban di kepalanya akan hilang. Perasaan plong itu baru dimiliki oleh Ibu Vence, sedang 4 ibu lainnya masih merasa ada beban. Jika aku sadarkan dan kami “main” secara normal. Aku bisa kewalahan melawan 4 orang. Sebab kecepatan mereka mendapat orgasme adalah berdasarkan rasa hati mereka dan permainan serta kemampuanku memposisikan persetubuhan pada perangsangan yang maksimal yang dirasakan lawan mainku. Dalam keadaan mereka gelisah dan ingin pulang ke tanah air, bisa-bisa mereka sukar mencapai orgasme. Meskipun aku pernah melakukannya terhadap kelima mereka, tetapi dalam kondisi lelah seperti sekarang, agak berat.

Kepada Stella kusampaikan aku akan melawan ke 4 ibu secara berganitan dalam 1 ronde. Mereka akan aku atur mendapatkan puncak orgasme minimal 2 kali. Puncak orgasme yang aku maksud adalah orgasme yang dibangkitkan dari rangsangan G spot. Orgasme gspot jauh lebih nikmat dibandingkan orgasme clitoris. Perasaan ini sukar digambarkan untuk pria, karena pria hanya memiliki 1 kualitas orgasme, yaitu orgasme yang bersamaan dengan ejakulasi. Meskipun dalam teori pria multi orgasme, seorang pria bisa mendapatkan orgasme berkali-kali tanpa ejakulasi, tetapi aku yang pernah mencobanya, orgasme seperti itu kurang memuaskan.

Stella tidak percaya, aku bakal mampu melawan 4 ibu yang sekarang sedang tertidur karena pengaruh hipnotis. Aku memulai dengan Tante Shinta. Seperti sugesti yang kuberikan kepada Tante Vence, aku memacu nafsu Tante Shinta sehingga dia begitu bernafsu menyerangku. Aku sendiri belum siap tempur, karena penisku masih terkulai. Tante Shinta menyergap penisku dan menjilat, melumat menghisap, sampai kemudian mulai bangun.

Rangsangan melalui sentuhan dan oral Tante Shinta menyatu dengan pemandangan yang begitu bergairahnya Tante shinta, sehingga mempercepat aku kembali terangsang. Setelah penisku mulai berdiri sempurna aku di dorong Tante Shinta hingga telentang di bed cover yang sudah terhampar. Tante Shinta mulai memacuku dan sugesti yang kutanamkan dalam alam bawah sadar Tante Shinta adalah dia merasakan kenikmatan luar biasa dari penisku, sehingga dia cepat sekali mencapai orgasme.

Memang begitulah situasinya, mungkin baru sekitar 50 kali Tante Shinta menggenjot, dia sudah kelojotan dan melenguh panjang lalu ambruk di dadaku. Aku beri dia waktu sekitar 2 menit untuk menikmati orgasmenya. Kemaluannya terasa banjir. Namun vagina yang baru mengalami orgasme, entah mengapa meski banjir tetapi rasanya lebih menggigit. Ia kusugesti lagi agar timbul keinginan untuk mendapat orgasme dan merasakan betapa nikmatnya penisku mengganjal di dalam vaginanya.

Tante Shinta bangkit dan mulai menggerakkan pinggulnya dengan irama yang cepat sekali seperti orang yang tidak sabar. Sambil merintih-rintih kurang dari 5 menit dia sudah ambruk lagi. Sementara aku berkonsentrasi menahan birahi yang membakar diriku dengan olah nafas. Aku berhasil mengatasi rangsangan kenikmatan bersetubuh dengan tetap mempertahankan kekerasan penisku.

Tante Shinta seperti juga Tante Vence, aku minta dia membersihkan diri lalu kembali berpakaian. Setelah dia kembali ke tempatnya semula aku lalu menggamit Tante Venny terhadap Tante Venny aku memperlakukan hal yang sama sampai dia memperoleh 2 kali orgasme yang sempurna. Giliran berikutnya adalah Tante Henny dan yang terakhir adalah Tante Dina.

Tante Dina adalah kepala rombongan, semua ibu-ibu menuruti perkataan beliau. Dia memang wanita paling berpengaruh dan kebetulan paling kaya dari semua ibu-ibu yang juga kaya raya. Aku memberinya 3 kali orgasme.

Stella tidak cukup dengan sekaleng bir, botol kecil minuman keras yang tersusun di mini bar di rambahnya dan dia membuat sendiri ginger ale dengan campuran minuman keras botol-botol kecil itu. Dia rupanya syur melihat adegan ku bersama 5 ibu. Tanpa ku hipnotis dia sudah tersugesti sendiri.

Seteleah semua kelima ibu kembali ke tempatnya aku mulai menanamkan kembali sugesti bahwa mereka merasa berbahagia dan perjalanan keliling Eropa ini dirasakan sebagai sesuatu yang tidak semua orang bisa merasakan. Mereka kubentuk menjadi merasa orang-orang istimewa yang merasakan sangat beruntung. Bukan itu saja kutanamkan dalam alam bawah sadarnya, keinginan untuk melakukan perjalanan lagi bersama-sama ke tempat yang lain. Setelah mereka memahami sugestiku maka satu per satu kubangunkan dan kuminta untuk bangun dengan rasa yang bahagia dan tidak merasa mengalami kejadian apapun.

Satu persatu bangun dan wajahnya semua sudah berseri-seri. Mereka binggung sesaat melihat ada hamparan bed cover di depan sofa dan mejanya telah dipinggirkan. Tante Dina tanya untuk apa menggelar bed cover di sini. Aku jawab bahwa akan ada pertunjukan istimewa malam ini. Aku akan mempertunjukkan permainan hipnotis dengan Stella. Stella yang sudah setengah on, dengan serta merta maju mendekatiku minta dia dihipnotis. Dia rupanya penasaranan ingin merasakan bagaimana rasanya dibawah pengaruh hipnotis. Aku segera menidurkan Stella. Dia tertidur telentang di bed cover.

Sebelumnya agar pembaca tidak bingung aku telah berpakaian seperti sedia kala, agar penampilanku tidak membingungkan bagi ibu-ibu yang sudah sadar. Terhadap Stella aku ingin bermain lelucon sedikit. Dia kukerjai seolah olah menerima telepon dari sandal ibu-ibu. Ketika ringtone HP kubunyikan dia segera merebut salah satu sandal ibu-ibu dan menganggapnya itu sebagai handphone. Dia lalu berhalo halo dengan sandal itu sebagai handphone. Semua tertawa terpingkal-pingkal melihat polah Stella. Aku bermain beberapa lelucon sampai perut ibu-ibu terasa sakit karena terus tertawa terpingkal-pingkal.

Setelah itu aku mengumumkan kepada ibu-ibu bahwa Stella akan menjadi wanita hipersex yang sangat bernafsu. Aku melakukan sugesti seperti yang kusugestikan kepada ibu-ibu. Stella menjadi ganas dan menyerangku dengan ciuman dan ketidak sabarannya membukai semua bajuku sampai aku telanjang bulat.
Dia lalu menjilati seluruh tubuhku terutama di bagian alat vitalku. Ibu-ibu makin tertawa, tetapi Stella tentu saja tidak mendengar tawa para penonton. Dia terus bernafsu menyerangku dan menggagahiku. Dia ambruk berkali-kali sampai badannya lelah. Aku lalu berkonsentrasi dan membalik posisi Stella yang dari tadi berada di atas menjadi dia telentang. Aku menindihnya dan aku mulai berkonsentrasi untuk mencapai ejakulasiku. Berkat kosentrasi itu aku dalam waktu tidak lama sudah berhasil mencapainya.

Stella kubangunkan dari pengaruh hipnotis namun masih dalam posisi telanjang dan terlentang.
Dia siuman dan mengatakan perasaannya sangat lega dan badannya lelah sekali. Ibu-ibu senyum-senyum.

“Berapa kali tadi aku orgasme?” tanya Stella.

Kujawab dia mencapai orgasme berkali-kali. Aku tidak lagi ingat menghitungnya. Meskipun dia mengetahui baru saja berhubungan dibawah pengaruh hipnotis, tetapi dia tidak protes. Dia memelukku dan berkali kali mengucapkan gracias dan terima kasih.

Setelah semua siuman dan segar aku bertanya kepada ibu-ibu mengenai kesannya selama tour ke Eropa ini. Mereka hampir serentak menyatakan menyenangkan dan berjanji tahun depan untuk mengulangi tour semacam ini ke tempat lainnya. Ada yang mengusulkan ke Eropa Timur, ada yang ingin ke Eropa Utara, ada juga yang ingin ke benua Amerika.

Rasa gelisah karena “home sick” sudah hilang. Ibu-ibu dengan wajah beseri-seri masing-masing kembali ke peraduannya. Stella lebih menginginkan tidur bersamaku. Dia meminta aku tidur tanpa busana karena dia pun akan demikain. Kami tidur berpelukan dalam keadaan tanpa busana dalam satu selimut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar