Jumat, 26 April 2013

Dalam Diam, Kami Bercinta



Sejak aku divonnis dokter kandungan, tak boleh memiliki anak lagi, hatiku sangat sedih. Rupanya, Tuhan hanya menitipkan seoang anak saja yang kulahirkan. Rahimku, hanya boleh melahirkan seoang anak laki-laki di rahimku.
Setelah aku sehat dan kembali dari rumah sakit membawa bayiku, dan bayiku berusia 1 tahun, dengan
lembut suamiku meminta izin untuk menikah lagi. Alasannya, baginya seorang anak tak mungkin. Dia harus memiliki anak yang lain, laki-laki dan perempuan. Dengan sedih, aku "terpaksa" merelakan suamiku untuk menikah lagi. Parakanku sudah tdiangkat, demi keselamatanku dan kesehatanku.

Sejak pernikahannya, dia jarang pulang ke rumah. Paling sekali dalam seminggu. Kini setelah usia anakku 15 tahun, suamiku justru tak pernh pulang ke rumah lagi. Dia telah memiliki 4 orang anak, tepatnya dua pasang dari isteri mudanya dan dua anak lagi dari isterinya yang ketiga. Aku harus puas, memiliki tiga buah toko yang serahkan atas namaku serta sebuah mobil dan sebuah taksi selain sedikit deposito yang terus kutabung unutk biaya kuliah anakku Irvan nanti.

Irvan sendiri sudah tak perduli pada ayahnya. Malah, kalau ayahnya pulang, kelihatan Irvan tak bersahabat dengannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Semoga saja Irvan tidak berdosa pada ayahnya. Setiap malam Aku selalu mengeloni Irvan agar tubuhku tak kedinginan disiram oleh suasana dingin AC 2 PK di kamar tidurku. Irvan juga kalau kedinginan, justru merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Irvan memang anak yang manja dan aku menyenanginya.

Sudah menjadi kebiasaanku, kalau aku tidur hanya memakai daster mini tanpa sehelai kain pun di balik daster miniku. Aku menikmati tidurku dengan udara dinginnya AC dan timpa selmut tebal yang lebar. NIkmat sekali rasanya tidur memeluk anak semata wayangku, Irvan. Kusalurkan belai kasih sayangku padany. Hanya padanya yang aku sayangi.

Sudah beberapa kali aku merasakan, buah dadanya diisap-isap oleh Irvan. Aku mengelus-elus kepala Irvan dengan kelembutan dan kasih sayang. Tapi kali ini, tidak seperti biasanya. Hisapan pda pentil teteku, terasa demikian indahnya. Terlebih sebelah tangan Irvan mengelus-elus bulu vaginaku. Oh... indah sekali. Aku membiarkannya. Toh dia anakku juga. Biarlah, agar tidurnya membuahkan mimpi yang indah.

Saat aku mencabut pentil tetekku dari mulut Irvan, dia mendesah.
"Mamaaaaa..."
Kuganti memasukkan pentil tetekku yang lain ke dalam mulutnya. Selalu begitu, sampai akhirnya mulutnya terlepas dari tetekku dan aku menyelimutinya dan kami tertidur pulas. Malam ini, aku justru sangat bernafsu. Aku ingin disetubuhi. Ah... Mampukah Irvan menyetubuhiku. Usianya baru 15 tahun. Masih SMP. Mampukah. Pertanyaan itu selalu bergulat dalam bathinku.

Keesokan paginya, saat Irvan pergi ke sekolah, aku membongkar lemari yang sudah lama tak kurapikan. Di lemari pakaiaIrvan di kamarnya (walaudia tak pernah meniduri kamarnya itu) aku melihat beberapa keping CD. Saat aku putar, ternyata semua nya film-film porno dengan berbagai posisi. Dadaku gemuruh. Apaah anakku sudah mengerti seks? Apakah dia sudah mencobanya dengan perempuan lain? Atau dengan pelacur kah? Haruskah aku menanyakan ini pada anakku? Apakah jiwanya tidak terganggu, kalau aku mempertanyakannya? Dalam aku berpikir, kusimpulkan, sebaiknya kubiarkan dulu dan aku akan menyelidikinya dengan sebaik mungkin dengan setertutupmungkin.

Seusai Irvan mengerjakan PR-nya (Diseekolah Irvan memang anak pintar), dia meniki tempat tidur dan memasuki selimutku. Dia cium pipi kiri dan pipi kananku sembari membisikkan: Selamat malam... mama..." Biasanya aku menjawabnya dengan:"Selamat malam sayag..." Tapi kalau aku sudah tertidur, biasanyaaku tak menjawabnya.Dadaku gemuruh, apaah malam ini aku mempertanyakan CD porno itu. Akhirnya aku membiarkan saja. Dan...

Aku kembali merasakan buah dadaku dikeluarkan dari balik dasterku yang mini dan tipis. Irvan mengisapnya perlahan-lahan. Ah... kembali aku bernafsu. Terlebih kembali sebelah tangannya mengelus-elus bulu vaginaku. Sebuah jari-jarinya mulai mengelus klentitku. AKu merasakan kenikmatan. Kali ini, aku yakin Irvan tidak tidur. Aku merasakan dari nafasnya yang memburu. Aku diam saja. Sampai jarinya memasuki lubang vaginaku dan mempermainkan jarinya di sana. Ingin rasanya aku mendesah, tapi...

Aku tahu, Irvan menurunkan celananya, sampai bagian bawah tubuhnya sudah bertelanjang. Dengan sebelah kakinya, dia mengangkangkan kedua kakiku. Dan.... Irvan menaiki tubuhku denngan perlahan. Aku merasakan penisnya mengeras. Berkali-kali dia menusukkan penis itu ke dalam vaginaku. Irvan ternyata tidak mengetahui, dimana lubang vagina. Brkali-kali gagal. Aku kasihan padanya, karena hampir saja dia putus asa. Tanpa sadar, aku mengangkangkankedua kakiu lebih lebar. Saat penisnya menusuk bagian atas vaginaku, aku mengangkat pantatku dan perlahan penis itu memasuki ruang vaginaku. Irvan menekannya. Vaginaku yang sudah basah, langsung menelan penisnya. Nampaknya Irvan belum mampu mengatasi keseimbangan dirinya. Dia langsung menggenjotku dan mengisapi tetekku. Lalu crooot...croot...croooootttt, sprmanya menyemprot di dalam vaginaku. Tubuhnya mengejang dan melemas beberapa saat kemudian. Perlahan Irvan menuruni tubuhku. Aku belum sampai... tapi aku tak mungkin berbuat apa-apa.

Besok malamna, hal itu terjadi lagi. Terjadi lagi dan terjadi lagi. Setidaknya tiga kali dalam semingu. Irvan pun menjadi laki-laki yang dewasa. Tak sedikit pun kami menyinggung kejadian malam-malam itu. Kami hanya berbicara tentang hal-hal lain saja. Sampai suatu sore, aku benar-benar bernafsu sekali. Ingin sekali disetubuhi. Saat berpapasan dengan Irvan aku mengelus penisnya dari luar celananya. Irvan membalas meremas pantatku. Aku secepatnyake kamar dan membuka semua pakaianku, lalu merebahkan dri di atas tempat di tutupi selimut. Akuberharap, Irvan memasuki kamar tidurku. Belum sempat usai aku berharap, Irvan sudeah memasuki kamar tidurku. Di naik ke kamar tidurku dan menyingkap selimutku. Melihat aku tertidur dengan telanjang bulat, Irvan langsung melepas semuapakaiannya. Sampai bugil. Bibirku dan tetekku sasaran utamanya. AKu mengelus-elus kepalanya dan tubuhnya. Sampai akhirnya aku menyeret tubuhnya menaiki tubuhku. KUkangkangkan kedua kakiku dan menuntun penisnya menembus vaginaku. Nafsuku yangsudah memuncak, membuat kedua kakiku melingkar pada pinggangnya. Mulutnya masih rakus mengisapi dan menggigit kecil pentil tetekku. Sampai akhirnya, kami sama-sama menikmatinya dan melepas kenikmatan kami bersama. Seusai itu, kami sama-sama minum susu panas dan bercerita tentang hal-hal lain, seakan apa yang baru kami lakukan, buka sebuah peristiwa.

Malamnya, seisai Irvan mengerjakan PR-nya dia mendatangiku yang lagi baca majalah wanita di sofa. Tatapan matanya, kumengerti apa maunya. Walau sore tadi kami baru saja melakukannya. Kutuntun dia duduk di lantai menghadapku. Setelah dia duduk,aku membuka dasterku dan mengarahkan wajahnya ke vaginaku. AKu berharap Irvan tau apa yang harus dia lakukan, setelah belajar dari CD pornonya. Benar saja, lidah Irvan sudah bermain di vaginaku. Aku terus membaca majalah, seperti tak terjadi apa-apa. AKu merasa nikmatr sekali. Lidahnya terus menyedot-nyedot klentitku dan kedua tangannya mengelus-elus pinggangku. Sampa akhirnya aku menjepit kepalanya, karean aku akan orgasme. Irvan menghentikan jilatannya Dan aku melepaskan nikmatku. Kemudia kedua kakiku kembali merenggang. AKu merasakan Irvan menjilati basahnya vaginaku. Setelah puas, Irvan bangkir. Aku turun ke lantai. Kini irvan yang membuka celananya dan menarik kepalaku agar mulutku merapat ke penisnya. Penis yang keras itu kujilati dengandiam. Irvan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kepalaku ditangkapnya dan dileus-elusnya. Aku terus menjilatinya dan terus melahap penisnya, sampai spermanya memenuhi mulutku. Sampai akhirnyanormal kembali dan kami duduk bersisian menyaksikan film lepas di TV. Seusai nonton film, aku mengajaknya untuk tidur, karean besok dia harus sekolah, dan aku harus memeriksa pembukuan toko.
"yuk tidur sayang," kataku.Irvan bangkit dan menggamit tanganku, lalu kami tertidur pulas sampai pagi.

Siang itu, aku mendengar Irvan pulang sekolah dan diaminta makan. Kami sama-sama makan siang di meja makan. Usai makan siang, kami sama-sama mengangkat piring kotor dan sama-sama mencucinya di dapur. Irvan menceritakan guru baruya yang sangat disiplin dan terasa agak kejam. Aku mendengarkan semua keluhan dan cerita anakku. Itu kebiasaanku, sampai akhirnya aku harusmengetahui siap Irvan. Aku juga mulai menanyakan siapa pacarnya dan pernah pergi ke tempat pelacuran atau tidak. Sebenarnya aku tahu Irvan tidak pernah pacaran dan tidak pernah kepelacuran dari diary-nya. Kami sama-sama menyusun piring dan melap piring sampai ke ring ke rak-nya, sembari kami terusbercerita.
"Ma...besok Irvan diajak teman mendaki gunung...boleh engak, Ma?" tanya Irvan meminta izinku sembari tangannya memasuku bagian atas dasterku dan mengelus tetekku.
"Nanti kalau sudah SMA saja ya sayang..." kataku sembari mengelus penis Irvan.
"Berarti tahun depan dong, Ma," katanya sembari mengjilati leherku.
"Oh... iya sayang... Tahun depan" kataku pula sembari membelai penisnya dan melepas kancing celana biru sekolahnya dan melepas semua pakaiannya sampai Irvan telanjang bulat.
"Kalau mama bilang gak boleh ya udah. Irvan gak ikut," katanya sembari melepaskan pula kancing dasterku sampai aku telanjang bulat.
Ya.. kami terus bercerita tenag sekolah Irvan dan kami sudah bertelanjangbulat bersama.
"Sesekali kita wisata ke puncak yuk ma..." kata Irvan sembari menjilati leherku dan mengelus tetekku. Aku duduk di kursi kaman dan Irvan berdiri di belakangku. Uh... anakku sudah benar-benar dewasa. Dia ingin sekali bermesraan dan sangat riomantis.
"Kapan Irvan maunyake puncak?" kataku sembari menkmatijilatannya. Aku pun mulai menuntunnya agar beradadi hadapanku.

Irvan kubimbing untuk naik ke atas tubuhku. Kedua kakinya mengangkangi tubuhku dan bertumpu pada kursi. Panttanya sudah berada di atas kedua pahaku dan aku memeluknya. Kuarahkan murnya untuk mengisap pentil tetekku.
"Bagaimana kalau malam ini saja kita ke puncak sayang. Besok libur dan lusa sudah minggu. Kita di pucak dua malam," kataku sembari mengelus-elus rambutnya.
"Setuju ma. Kita bawa dua buah selimut ma," katanya mengganti isapan \nya dari tetekku yang satu ke tetekku yang lain.
"Kenapa harus dua sayang. Satu saja.." kataku yang merasakan tusukan penisnya yang mengeras di pangkal perutku.
"Selimutnya kita satukan biar semakin tebal, biar hangat ma. Dua selimut kita lapis dua," katanya. Dia mendongakkan wajahnya dan memejamkan matanya, meminta agar lidahku memasuki mulutnya. Aku membernya. Sluuupp... lidahku langsung diisapnya dengan lembut dan sebelah tangannya mengelus tetekku.
Tiba-tiba Irvan berdiri dan amengarahkan penisnya ke mulutku. Aku menyambutnya. Saat penis itu berada dalam mulutku dan aku mulai menjilatinya dalam mata terpejam Irvan mengatakan:"Rasanya kita langsung saja pergi ya ma. Sampai dipuncak belum sore. Kita boleh jalan-jalan ke gunung yang dekat villa itu," katanya.

Aku mengerti maksudenya, agar aku cepat menyelesaikan keinginannya dan kami segera berangkat. Cepat aku menjilati penisnya dan Irvan Meremas-remas rambutku dengan lembut. Sampai akhirnya, Irvan menekan kuat-kuat penisnya ke dalam mulutku dan meremas rambutku juga. Pada tekak mulutku, aku merasakan hangatnya semprotan sperma Irvan beberapa kali. Kemudian di dudk kembali ke pangkuanku. Di ciumnya pipiku kiri-kanan dan mengecup keningku. Uh... dewasanya Irvan. Au membalas mengecup keningnya dengan lembut.

Irvan turun dari kursi, lalu memakaikan dasterku dan dia pergi ke kamar mandi. Aku kekamar menyiapkan sesuatu yang harus kami bawa. Aku tak lupamembawa dua buah selimut dan pakaian yang mampu mebnghangatkan tubuhku. Semua siap. Mobil meluncur ke puncak, mengikuti liuknya jalan aspal yang hitam menembus kabut yang dingin. Kami tiba pukul 15.00. Setelah check in, kami langsung makan di restoran di tepi saw2ah dan memesan ikan mas goreng serta lapannya. Kami makan dengan lahap sekali. Dari sana kami menjalani jalan setapak menaik ke lereng bukit. Dari sana, aku melihat sebuah mobilo biru tua, Toyota Land Cruiser melintas jalan menuju villa yang tak jauh dari villa kami. Mobil suamiku, ayahnya Irvan. Pasti dia dengan isteri mudanya atau dengan pelacur muda, bisik hatiku. Cepat kutarik Irvan agar dia tak melihat ayahnya. Aku terlambat, Irvan terlebih daulu melihat mobil yang dia kenal itu. Irvan meludah dan menyumpahi ayahnya:"Biadab !!!" Begitu bencinya dia pada ayahnya. Aku hanya memeluknya dan mengelus-elus kepalanya. Kami meneruskan perjalanan. Aku tak mau suasana istirahat ini membuatnya jadi tak indah.

Sebuah bangku terbuat dari bata yang disemen. Kami duduk berdampingan diatasnya menatap jauh ke bawah sana, ke hamparan sawah yang baru ditanami. Indah sekali.
Irvan merebahkan kepalanya ke dadaku. AKu tahu galau hatinya. Kuelus kepalanya dan kubelai belai.
"Tak boleh menyalahkan siapapun dalam hiduap ini. Kita harus menikmati hidup kita dengan tenanag dan damai serta tulus," kata kumengecup bibirnya. Angin mulai berhembus sepoi-sepoi dan kabut sesekali menampar-nampar wajah kami. Irvan mulaui meremas tetekku, walau masih ditutupi oleh pakaianku dan bra.
"Iya. Kita harus hidup bahagia. Bahagia hanya untuk milik kita saja," katanya lalu mencium leherku.
"Kamu lihat petani itu? Mereka sangat bahagia meniti hidupnya," kataku sembari mengelus-elus oenisnya dari balik celananya. Irvan berdiri, lalu menuntunku beridir. Akua mengikutinya. Dia mengelus-elus pantatku dengan lembut.
"Lumpur-lumpur itu pasti lembut sekali, Ma," katanya terus mengelus pantatku. Pasti Irvan terobsesi dengan anal seks, pikirku. Aku harus memberinya agar dia senang dan bahagia serta tak lari kemana-mana apalagi ke pelacur. Dia tak boleh mendapatkannya dari perempuan jalang.
Kami mulai menuruni bukit setelah mobil Toyota biru itu hilang, mungkin ke dalam garasi villa. Irvan tetapmemeluk pinggangku dan kami memesan duabotol teh. Kami meminumnya di tepi warung.
"Wah... anaknyanya ganteng sekali bu. Manja lagi," kata pemilik warung. Aku tersenyum dan Irvanpun tak melepaskan pelukannya. Sifatnya memang manja sekali.
"Senang ya bu, punya anak ganteng," kata pemilik warung itu lagi. Kembali aku tersenyum dan orang-orang yang berada di warung itu kelihatan iri melihat kemesraanku dengan anakku. Mereka pasti tidak tau apa yang sedang kami rasakan. Keindahan yang bagaimana. Mereka tak tahu.

Setelah membayar, kami menuruni bukit dan kembali ke villa. Angin semakin kencang sore menjelang mahgrib itu. Kami memesan dua gelas kopi susu panas dan membawanya ke dalam kamar. Setelah mengunci kamar, aku melapaskan semua pakaianku. Bukankah tadi Irvan mengelus-elus pantatku? BUkankah dia ingin anal seks? Setelah aku bertelanjang bulat, aku mendekati Irvan dan melepaskan semua pakaiannya. Kulumasi penisnya pakai lotion. Aku melumasi pula duburku dengan lotion. Di lantai aku menunggingkan tubuhku. Irvan mendatangiku. Kutuntun penisnya yang begitu cepat mengeras menusuk lubang duburku. Aku pernah merasakan ini sekali dalam hidupku ketika aku baru menikah. Sakit sekali rasanya. Dari temanku aku mengetahui, kalau mau main dri dubur, harusmemakai pelumas, katanya. Kini aku ingin praktekkan pada Irvan

Irvan mengarahkan ujung penisnya ke duburku. Kedua lututnya, tempatnya bertumpu. Perlahan...perlahan dan perlahan... Aku merasakan tusukan itu dengan perlahan. Ah... Irvan, kau begitu mampu memberikaapa yang aku inginkan, bisik hatiku sendiri. Setiap kali aku merasa kesat, aku denga tanganku menambahi lumasan lotion ke batangnya. Aku merasakan penis itu keluar-masukdalam duburku. Kuarahkan sebelah tangan Irvan untuk mengelus-elus klentitku. Waw... nimat sekali. Di satu sisi klentitku nikat disapu-sapu dan di sisi lain, duburku dilintasi oleh penis yang keluar masuk sangat teratur. Tak ada suara apa pun yang terdengar. Sunyi sepi dan diam. Hanya ada desau angin, desah nafas yang meburu dan sesekali ada suara burung kecil berkicau di luar sna, menuju sarangnya.

Tubuh Irvan sudah menempel di punggungku. Sebelah tangannya mengelus-elus klentitku dan sebelah lagi meremas tetekku. Lidahnya menjilati tengkukku dan dan leherku bergantian. Aku sangat beruntung mememiliki anak seperti Irvan. Dia laku-laki perkasa dan penuh kelembutan. Tapi... kenapa kali ini dia begitu buas dan demikian binal? Tapi... Aku semakin menikmati kebuasan Irvan anak kandungku sendiri. Buasnya Irvan, adalah buas yang sangat santun dan penuh kasih.

Aku sudah tak mampu membendung nikmatku. AKu menjepit tangan Irvan yang masih mengelus klentitku jugamenjepit penisnyadengan duburku. Irvan mendesah-desah...
"Oh... oh....oooooohh..."
Irvan menggigit bahuku dan mempermainkan lidahnya di sela-sela gigitannya. Dan remasan pada tetekku terasa begitu nikmat sekali. Ooooooooooohhhh... desahnya dan aku pun menjerit..
Akhhhhhhhhhhhh......... Lalu aku menelungkup di lantai karpet tak mampu lagi kedua lututku untuk bertumpu.
Penis Irvan mengecil dan meluncur cepat keluar dari duburku. Irvan cepat membalikkan tubuhku. Langsung aku diselimutinya dan diamasuk ke dalam selimut, sembari mengecupi leherku dan pipiku. Kami terdiam, sampai desah nafas kami normal.

Irvan menuntunku duduk dan membimbingku duduk di kursi, lalu melilit tubuhku dengan selimut hotel yang tersedia di atas tempat tidur. Dia mendekatkan kopi susu ke mulutku. Aku meneguknya. Kudengar dia mencuci penisnya, lalu kembali mendekat padaku. Dia kecul pipiku dan mengatakan:"Malam ini kita makan apa, Ma?"
"Terserah Irvan saja sayang."
"Setelah makan kita kemana, Ma?" dia membelai pipiku dan mengecupnya lagi.
"Terserah Irvan saja sayang. Hari ini, adalah harinya Irvan. Mama ngikut saja apa maunya anak mama," kataku lembut.
"OK, Ma. Hari ini haerinya Irvan. Besok sampai minggu, harinya mama. Malam ini kita di kamar saja. Aku tak mau ketemu dengan orang yang naik Toyota Biru itu," katanya geram. Nampaknya penuh dendam. Aku menghela nafas.
Usai makan malam, kami kembali ke kamar dan langsung tidur di bawah dua selimut yang hangat dan berpelukan. Kami tidur sampai pukul 09.00 pagi baru terbangun.

Si Buah Hati



Dedi, 44 tahun, nampak gelisah di atas tempat tidurnya, sulit tidur. Jam baru saja menunjukkan pukul 2 lewat. Dia melirik ke sampingnya, istri keduanya, Teti, 30 tahun yang baru ia nikahi 2 tahun yang lalu nampak tidur pulas. Dedi menghela nafas, perlahan turun dari tempat tidur, keluar kamar. Pelan – pelan tak mau membangunkan istrinya. Di luar ia menuju dapur, membuat secangkir minuman hangat. Ia lalu membawanya ke sofa, duduk agak berbaring. Pusing, banyak yang dipikirkan.

Mulutnya asem banget....belakangan ini memang ia berhenti atau tepatnya memaksakan diri berhenti dulu. Demi tujuan dan keinginannya. Dokter ahli kandungan yang menyarankan, sesuatu yang sebenarnya Dedi tergelitik untuk memperdebatkannya......banyak teman yang ia kenal, baik yang perokok biasa, perokok berat, atau perokok kelas berat yang tetap punya anak. Dari pemeriksaan, secara klinis dia tak bermasalah, spermanya baik secara kualitas dan kuantitas, sehat. Namun kata dokter itu, bila bisa berhenti merokok, lebih baik. Dedi menurut, toh demi hasrat yang ia dambakan. Namun tetap ia menyimpan cadangan di laci meja kerjanya di kantor atau di rumah, buat darurat. Dan malam ini Dedi butuh merokok sejenak, dia mengambil rokok lalu menyalakannya. Mulai kembali berpikir.

Istrinya, atau sekarang sebaiknya disebut istri pertamanya, Anna, 38 tahun, cantik dan mempesona, seperti biasanya....., tentu saja Dedi mencintainya, sampai kapanpun ia akan tetap mencintai wanita ini. Perkawinannya sudah berjalan selama hampir 18 tahun, mengiringi semua perjalanan karirnya, melewati semua suka dan duka. Anna memang cinta sejatinya. Sayangnya kesempurnaan rumah tangganya tidak lengkap. Mereka tak mempunyai keturunan. Sebenarnya dari awal menikah, Deddi sudah tahu...ia tak akan pernah mendapatkan keturunan dari Anna. Anna di masa pacaran, sewaktu menjelang mereka membicarakan keinginan menikah, secara jujur mengatakan kekurangan dirinya. Semasa mudanya, sekitar usia 15, Anna pernah mengalami kecelakaan motor, menyebabkan pendarahan hebat di bagian dalam perut dan sekitarnya. Bisa diselamatkan, sayangnya, kecelakaan itu juga merusak bagian rahimnya. Dokter memvonis Anna tak akan bisa hamil. Namun cinta Deddi memang besar terhadap Anna, dan juga ia menghargai kejujuran Anna, mereka tetap menikah, dan Deddi bahagia. Tak pernah ia mempermasalahkan masalah anak, tak pernah......setidaknya sampai 2 atau 3 tahun belakangan......

Sebenarnya ada Beni, 17 tahun, keponakan sekaligus sudah mereka anggap anak. Ceritanya, setelah 2 tahun awal perkawinan mereka, dengan kepastian tak akan pernah mendapatkan keturunan, Anna memutuskan mengambil Beni untuk dia asuh, yang juga Dedi setujui. Anna hanya mempunyai seorang kakak yaitu Wawan, 45 tahun. Orangtua mereka sudah tiada, dan Wawan sangat menyayangi adiknya ini, demikian sebaliknya, juga Wawan sangat menghargai Dedi yang berbesar hati mau menerima kekurangan adiknya. Wawan juga sudah menikah dengan Nani, 42 tahun, dan dikaruniai 3 orang anak, semuanya lelaki. Nah anak terakhirnya yaitu Beni ini. Waktu itu usianya 1 tahun. Anna sangat menyukai Beni kecil ini, menggemaskan hatinya. Ia lalu berembuk dengan Dedi suaminya mengenai keinginannya untuk mengasuh anak itu. Dedi setuju. Mereka lalu membicarakan hal ini pada Wawan, sambil berharap semoga disetujui, biar Wawan menyayangi adiknya, tapi belum tentu ia mau menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain. Mereka membicarakan hal ini. Wawan meminta waktu untuk berunding dengan istrinya, dan bukan karena mereka tak sayang atau tak mampu membiayai Beni, namun karena mereka juga iba dan simpati pada Anna dan Dedi, dan juga mereka masih ada 2 anak lelaki lainnya, maka mereka setuju. Selain itu Wawan percaya, Anna dan Dedi akan merawat Beni dengan sepenuh hati dan kasih sayang. Statusnya tetap anak Wawan dan Nani. Sesuai adat, tak ada makna khusus sebenarnya, hanya melaksanakan tradisi, untuk mencegah kesialan, Anna dan Dedi membayar uang pertanda ”Membeli” Beni, waktu itu 1000 rupiah, hanya sebagai simbolis adat saja.

Dedi menghembuskan asap rokoknya lalu meminum kopinya. Kini sudah 16 tahun Beni mereka asuh dan menjadi bagian hidup Anna dan Dedi. Pada orangtua kandungnya Beni memanggilnya ayah dan ibu. Sedang pada Anna dan Dedi, Beni dibiasakan memanggil mereka dengan sebutan Papa Dedi dan Mama Anna. Tentu saja Dedi dan Anna tetap sering membawa Beni ke orangtuanya, kalau Beni lagi mau menginap atau mau diajak pergi sama ayah dan ibunya, mereka akan mengantarnya. Beni juga di saat ia bisa mengerti dan memahami, sudah diberitahu. Beni sendiri menyayangi ayah dan ibunya, namun juga menyayangi papa dan mamanya. Tapi paling sayang sama mama Anna.

Entah berhubungan atau tidak, tetapi saat mereka memutuskan dan membawa Beni ke rumah mereka untuk diasuh dan dijadikan anak, kehidupan mereka menjadi lebih baik. Dedi masih ingat tak lama sesudah itu karirnya dan usahanya meningkat pesat sekali, bahkan akhirnya Dedi bisa membuat kantornya sendiri. Dalam banyak kesempatan kalau ada acara keluarga, Dedi sering berseloroh, kalau Beni adalah anak pembawa rejeki baginya dan Anna. Bagi Anna dan Dedi, Beni bukanlah keponakan, sudah mereka anggap dan menjadi anak mereka...dulu, sekarang dan selamanya. Mereka menyayangi Beni setulus dan segenap hati. Memberikan perhatian dan kebutuhannya.

Dedi kembali menyalakan sebatang rokok, menghisapnya sesaat, kembali melamun....benar dan memang benar, berasal dari lubuk hatinya sendiri, bagi Dedi Beni itu sudah ia anggap anak, bahkan kalau mau dibilang Dedi menganggap Beni sebagai anak kandungnya sendiri. Ia menyayangi dan mencintai anak itu. Dari awal pertama kali anak itu mereka bawa untuk menjadi bagian kehidupannya dan Anna. Semua berjalan dengan baik....dan itu benar, tak ada kepalsuan. Namun bukan berarti ia tak mencintai istrinya lagi, atau mau menyakiti hatinya, Dedi sudah menerima dengan segenap kesadaran dan segenap cintanya kekurangan Anna. Tetapi 3 tahun terakhir entah kenapa Dedi mempunyai obsesi sendiri....dia ingin mempunyai anak yang benar – benar anak kandungnya, dari benihnya sendiri. Semakin ia menepis pemikiran itu, semakin kuat pula obsesi itu mencengkram. Menghantui benaknya. Untuk itu Dedi memang harus menikah lagi, bukan masalah seks di sini pikir Dedi, murni untuk aku mendapat anak. Sewaktu ia mengatakan hal ini pada Anna, letupan dan pertengkaran kecil mulai terjadi. Tapi semarah apapun Anna, dia kalah. Anna menyadari kekurangannya...terserah kau sajalah Mas, kata Anna setelah pertengkaran terakhir mereka.

Dedi menjalin hubungan dengan Teti, waktu itu statusnya janda tanpa anak, suaminya meninggal karena sakit, setahun setelah mereka meninggal. Dedi mengenalnya karena dikenalkan seorang teman. Layaknya rmaja saja, mereka juga melalui tahap pacaran, sekalian masa pengakraban dan pengenalan karakter masing – masing. Hampir setahun, mereka merasa cocok dan mantap. Namun Dedi tak mau kecewa, maka dengan sedikit rasa bersalah juga takut Teti marah, ia membicarakan dan meminta apakah Teti bersedia untuk diperiksakan kondisi dan kemampuan kandungannya. Teti yang sudah tahu hidup dan masalah Dedi tidak marah, dan bersedia, hasilnya Teti sehat dan subur.

Kembali Dedi meminum kopinya, sedikit merubah posisi duduknya. Dia melanjutkan lamunannya. Setelah merasa mantap, Dedi membicarakan rencananya untuk menikah kepada Anna. Anna tidak berkata sepatah katapun, hanya mengangguk, menandatangani semua formalitas surat – surat yang Dedi butuhkan. Cinta Anna sendiri juga teramat besar pada lelaki ini. Lelaki yang menyayangi dan mau mengerti dirinya. Kini setelah sekian belas tahun perkawinan, setelah banyak memberikan kebahagiaan materi dan batin, biarlah Dedi mencari satu obsesinya yang tak akan mampu aku berikan. Dedi bersumpah tak akan menyia – nyiakan Anna, dan juga Beni. Kata Dedi bila nanti ia punya anak dari Teti, Beni akan selalu menjadi anaknya yang pertama. Walau Anna tak meminta, Dedi sudah membuat surat di notaris, isinya Dedi sudah menetapkan semua yang menjadi hak Anna dan bahkan Beni. Dedi tak mau ada prasangka buruk. Apa yang sudah ia dapat selama ini juga karena dukungan Anna dan Beni. Sedang apa yang akan ia bina dengan Teti, adalah urusan baru. Anna terharu dan juga amat menghargai keseriusan Dedi, obsesinya tak membuat Dedi lupa memikirkan kewajibannya. Tentu Dedi memperkenalkan Teti kepada Anna, yang Anna terima dengan hati yang tulus. Anna tahu dan bisa menilai kalau Teti bukan tipe yang mengejar materi. Terbukti Teti tak protest atau mempermasalahkan Dedi yang sudah membuat surat notaris mengenai hartanya untuk Anna dan Beni. Dan Anna tahu, sikap yang diperlihatkan Teti kepadanya saat bertemu, bukanlah sikap dibuat – buat. Akhirnya memang Dedi menikah kembali, dan membelikan rumah buat dirinya dan Teti sendiri. Iyalah...Anna memang mau menerimanya yang mau menikah lagi, tapi bukan berarti harus di bawah satu atap. Anna sendiri tentu mengabarkan hal ini kepada kakaknya, Wawan, biar bagaimanapun Wawan pengganti orangtua mereka, harus ia beritahu. Tentu awalnya Wawan marah dengan keputusan dan alasan Dedi menikah lagi, namun setelah Anna jelaskan dan terangkan, Wawan bisa mengerti.

Lagi Dedi mengambil sebatang rokok, sudah hampir jam 3, seharusnya semuanya berjalan dan berakhir sempurna. Awalnya tentu saja ia mencoba bersikap adil. Tapi prakteknya lebih sulit....jujur cintanya dan sayangnya pada Anna tak akan pernah luntur sampai kapanpun. Anna masih sangat cantik, tubuhnya pun masih tetap dan akan selalu mempesona dan membangkitkan gairahnya. Namun namanya...mungkin bisa ia bilang ”mainan baru” kadang Dedi masih hangat – hangatnya dengan Teti, lebih sering menghabiskan jatahnya di Teti. Dedi dengan jujur mengakui itu salahnya tak bisa adil. Tapi itu kan demi cepat membuat Teti hamil belanya lagi. Memang setahun menikah belum menampakkan hasil, pemeriksaan dokter tak ada masalah. Variasi dan mitos agar cepat hamil sudah dilakukan, yang segala namanya kalau lagi gituan, pantat perempuannya diganjal bantal, biar sperma lakinya masuk semua, sudah dikerjakan....yang pakai hitungan masa subur, sudah juga...yang lainnya, sudah juga...namun sejauh ini yang didapat cuma rasa enak saja. Belum ada tanda Teti hamil.

Anna sendiri dengan bahasa tubuhnya mulai kurang suka sama ketidakadilan Dedi ini, lebih banyak diam saja kalau Dedi sedang ngejatahnya. Bahkan belakangan mulai menyuarakan protestnya dan akibatnya sering bertengkar. Salahnya lagi pikir Dedi, karena malas bertengkar, aku jadi makin jarang berkunjung ke Anna. Tentu saja aku yang sudah sekian tahun bersamanya, amat sangat mengenal baik dirinya. Dalam hal seks sebenarnya Anna merupakan pasangan yang hebat...dan selalu mampu membangkitkan gairah. Terbuka dan variatif. Untuk masalah libido bahkan Dedi harus mengakui, beberapa tahun belakangan gairah Anna sangatlah meningkat. Tinggi. Namun bukanlah kategori seks maniak ataupun Nympho alias wanita yang gila – gilaan sekali dalam hal seks. Tidak, bukan itu, gairah dan libido Anna masih dalam batas wajar. Dan sejujurnya Dedi pun senang akan hal itu. Tak ada kata bosan baginya untuk Anna. Tapi itu dulu.....sekarang aku ada agenda dan kepentingan lain. Di dasar hatiku, jujur aku menyesal atas hal ini. Terbersit suatu ide gila di benak Dedi....Dedi mengernyitkan dahinya...ah...gila banget, tak mungkin.....Dedi segera menghabiskan kopinya dan membereskan semua, bersiap tidur. Tanpa pernah tahu bahwa ide yang terbersit itu lambat laun akan membebani pemikirannya.

Hari masih pagi sekali, Anna sudah bangun, sedang duduk di meja makan. Secangkir kopi instant masih mengepulkan asap. Ia menyalakan rokok mentholnya....kebiasaan yang tak sehat pikirnya. Sebenarnya Anna bukanlah perokok, baru setahun lebih ini ia merokok. Awalnya coba – coba, lambat laun terbiasa. Sedikit banyak mampu mengurangi stressnya. Seperti biasa suaminya Dedi tidak datang.....lagi. Padahal ini jadwalnya. Sulit, mau marah atau kesal juga susah, perkawinan mereka berlandaskan cinta yang kuat, suaminya juga baik. Sekarang walau merasa dirugikan karena Dedi tak adil, tapi mau bagaimana lagi, Anna juga memaklumi impian suaminya...impian yang ia tahu tak akan mampu ia berikan. Anna melirik jam, jam setengah enam, anaknya Beni belum bangun, seperti biasa suka malas bangun pagi. Anna tersenyum, ya Beni, anaknya...., sumber penghiburan dan kebahagiannya. Tak pernah Anna bisa marah kepadanya. Dedi juga begitu. Terdengar suara pintu kamar dibuka...Anna tersenyum, tumben nggak perlu dibangunin.

”Eh mama Anna, sudah bangun....”
”Dari tadi Ben, baru saja mama mau bangunin kamu.”
”Pagi – pagi gini mama sudah banyak banget merokok. Ma bikinin sarapan dong...”
”Mau sarapan apa kamu...?”
”Terserah mama deh...”
”Ya sudah...kamu tunggu sebentar.”

Beni duduk sementara Anna berdiri membuatkan sarapan. Beni duduk bengong sambil memandangi Anna yang sedang sibuk membuatkan sarapan.Entah mengapa belakangan ini Beni mulai suka memandang dan mengagumi mamanya ini. Tak lama sarapannya selesai, Beni segera memakannya, sementara Anna duduk menemani mengobrol.

”Ma...eh, hari ini Beni bolos ya, besok kan Sabtu juga libur....lagi malas nih.”
”Memangnya nggak ada ulangan...?”
”Nggak....boleh ya.”
”Ehmm...ya sudah. Terus kamu mau ngapain di rumah...? Paling main PS atau internet kan...”
”Hehehe...sudah tahu nanya....tapi kalau mama mau ngajak ke mall terus beliin baju juga boleh.”
”Deh...bilang saja minta ditraktir....tapi boleh juga deh, kayaknya asik, nanti siang kita pergi.”

Ya bolehlah buat hiburan pikir Anna. Dia tak keberatan anaknya bolos sesekali. Walau tak menonjol banget, tapi nilai sekolahnya selalu memuaskan, di atas rata – rata. Lagipula menghabiskan waktu bersama anaknya selalu menyenangkan. Anna lalu menghabiskan kopinya, meninggalkan Beni. Masuk ke kamarnya. Tadinya dia bangun karena sudah kebiasaan rutin setiap pagi, menyiapkan keperluan anaknya sekolah. Beni menyelesaikan sarapannya, lalu membereskannya. Kemudian ke kamar mandi, cuci muka.....dasar sudah sarapan baru cuci muka.

Beni lalu duduk di sofa, pikirnya dari semalam saja aku ngomong ke mama mau bolos, jadi nggak perlu bangun pagi.Beni lalu melamun...jorok, ya biasalah anak seumurnya. Otaknya yang lagi ngeres mulai mikirin beberapa teman sekolahnya, gurunya, juga cewek – cewek di film atau internet. Dan tentu saja mamanya. Beni selalu menyenangi mamanya, suatu hal yang tak bisa ia cegah, alamiah. Memang semenjak ia masuk SMA, mamanya mulai membatasi dan tak sebebas dulu, namun sampai ia kelas 3 SMP, mamanya termasuk cuek, kalau baru pulang bepergian dan ganti baju, pintu kamarnya kadang suka lupa ditutup, kalau Beni melihat, mamanya cuek saja. Mungkin waktu Beni belum terlalu mengerti, hal itu biasa saja, namun saat Beni mulai besar, tentu saja Beni mulai memahami keseksian mamanya, walau hanya melihatnya memakai BH dan CD, sedikit banyak mampu membuatnya terangsang. Sayang saat Beni masuk SMA, mama Anna mulai membatasi, tak sebebas dulu, mungkin karena ia berpikir anaknya sudah SMA, sudah masa puber. Di luar hal itu, mamanya tak terlalu bebas dalam berpakaian, kalau di rumah juga memakai daster yang sopan, atau kadang kaos dan celana pendek. Buat urusan seks, Beni yang sebentar lagi kelas 3 ini, memang selangkah lebih maju. Walau masih pemula, namun beberapa kali sudah ia melakukannya. Semuanya dengan Astri, teman sekolahnya yang memang terlalu bebas. Itu juga selalu bersarung pengaman. Yang pasti saat pertama kali dengan Beni, sudah nggak perawan. Secara garis besar, buat urusan kenakalan yang lain dan juga sikap, Beni standartlah, bahkan bisa masuk golongan anak manis, tapi buat urusan seks, termasuk sangat suka hehehe. Beni masih cukup lama melamun, akhirnya ia melihat jam, jam 7 kurang. Ia pun berdiri menuju kamar mamanya. Diketuknya pintu, suara mamanya menyahut menyuruhnya masuk.

”Ma...pergi jam berapa nanti...?”
”Eh...jam 1 saja ya. Nanti pulangnya ke rumah ayah kamu, sudah lama mama nggak ke sana...Ok..?”
”Iya deh...Beni kira mama lagi tidur.”
”Nggak...lagi baca – baca majalah.”
”Ya sudah lanjutin deh bacanya. Beni tidur lagi.”

Beni kemudian tidur di dekat mamanya, hal yang biasa. Dari dulu memang kadang Beni suka tiduran di tempat tidur mamanya. Mamanya nampak asik membaca majalah, duduk bersandar di pinggiran tempat tidur, punggungnya bersandarkan bantal, sementara kakinya diselonjorkan. Memakai daster yang panjangnya sedang. Beni lalu tertidur. Lumayan lama Anna masih membaca, akhirnya ia merasa ngantuk, diliriknya jam, jam 8 kurang. Dia meletakkan majalahnya. Anaknya nampak terlelap dekat situ. Dikecupnya pipi Beni, lalu Anna pun juga tidur. Memang ia kurang tidur belakangan ini, tidur sebentar akan mengembalikan kesegarannya.

Beni membuka matanya, menggeliat sebentar, AC di kamar mamanya terasa dingin, ia mengucek matanya....ugh...jam 10, lumayan lama ia tidur. Dia lihat mamanya tertidur, terlentang. Dasternya agak tersingkap, memperlihatkan sedikit pahanya yang putih mulus. Beni melirik wajah mamanya, masih pulas....cantiknya mama Anna, alisnya tebal. Pandangannya beralih ke bawah, teteknya juga besar....otak remajanya mulai ngeres...berani nggak ya...berani nggak...ah nekad dikit, pura – pura saja pikirnya, lagipula mamanya nampak tertidur pulas sekali. Maka sambil pura – pura merem, Beni menjulurkan tangannya dan seakan ”Tidak sengaja” tangannya menyentuh tetek besar mamanya di balik daster itu. Oh....empuk dan kenyal, kont01nya mengeras. Mamanya masih tertidur. Beni mengambil selimut, menutupi celananya, dengan satu tangannya yang lain ia, turunkan celananya....nekad deh...sudah tanggung. Ia mulai mengocok kont01nya, sementara tangan satunya masih ”Tak sengaja” menempel di tetek mamanya. Masih penasaran, Beni makin nekad, ujung jari kakinya beraksi, sedikit demi sedikit dan perlahan menarik ujung daster mamanya yang tersingkap tadi, akhirnya nampak CD putih yang mama Anna kenakan, tebal sekali pikir Beni. Beni agak memiringkan tubuhnya, biar jelas, samar ia melihat warna kehitaman yang lebat, bahkan...oh beberapa helai jembut nampak menyembul. Tapi senekadnya Beni, ia masih takut, hanya puas melihat saja. Kalau mamanya bangun, tangannya yang ”tak sengaja” di tetek itu masih wajar dan bisa beralasan, namanya tidur kan bisa nggak sengaja. Tapi kalau tangan ada di CD, gimana jelasinnya. Memangnya mama Anna bego. Beni mempercepat kocokannya, ketika merasakan mau keluar, ia tahan sebentar, ujung kont01nya ia dekatkan ke ujung kaosnya...pejunya muncrat di kaosnya. Ia lalu melipat ujung kaosnya.Perlahan Beni mulai menarik kembali ujung daster mamanya. Tangannya juga sudah ia tarik dari tetek mamanya. Dan memang mamanya sangat mengantuk, masih tertidur pulas tanpa tahu kenakalan Beni barusan. Beni pun segera keluar dari kamar mamanya. Akhirnya memang siang itu mereka menghabiskan waktu keliling Mall, makan, belanja, sorenya berkunjung ke rumah ayah dan ibunya Beni. Baru malamnya mereka pulang. Dan Anna kecewa, suaminya kembali tak datang....nasib.

Dua bulan berlalu, tak ada perubahan berarti, Beni baru saja naik kelas 3. Hari Sabtu ini Beni sedang pulang ke rumah ayah ibunya. Kemarin ayahnya menelepon, mau ngajak anaknya berlibur sekeluarga. Tadinya Anna juga disuruh ikut, tapi ia malas. Dan juga memang suaminya kemarin menelepon, bilang mau datang....tumben menghormati jadwal. Dan seperti biasa salah satu acara mereka menghabiskan waktu adalah dengan bercinta.

Anna nampak mendesah, teteknya bergoyang – goyang liar, sementara Dedi asik menyodok m3meknya yang sudah basah dengan cepat. Kont01nya keluar masuk menerobos lobang m3meknya yang sudah lama tak disodok. Anna meremas teteknya...merasakan pentilnya yang mengeras, memainkannya dengan jarinya, sesekali mulutnya mendesah nikmat membuat Dedi makin bernafsu.

Dedi segera menciumi tetek Anna, mengulum dengan nikmat pentil kecoklatan itu, kont01nya dengan mantap terus memompa, memberikan kenikmatan pada m3mek Anna di setiap pompaannya. Gemas ia jilati ketek Anna yang berambut lebat, kesukaannya, sesekali tangannya membelai bulu ketek itu. Anna ikut menggoyangkan pantatnya, menambah kenikmatan pada kont01nya.

Desahan Anna makin kuat, gairahnya memang sudah lumayan lama tak disirami, kont01 Dedi saat ini sedang memulai tugasnya kembali. Ahhh....desahnya, tangannya mulai ia julurkan ke bawah, meremas biji suaminya. Dedi diam sejenak, menikmati saat jemari Anna dengan lincah memainkan bijinya, selalu memberikan rasa nyaman. Akhirnya Dedi mulai memompa kembali, dengan kuat dan cepat, membuat Anna kelojotan....dan mendapatkan orgasme. Namun Dedi juga sudah mulai letih, segera saja ia memompa dengan cepat.....ahh..crooot...crooot pejunya memancar....ia terkulai, mencabut kont01nya dan berbaring.

Mereka baru saja selesai, sedikit memuaskan dahaga Anna yang sudah agak lama dan jarang disetubuhi secara rutin. Dedi akhirnya memulai percakapan....

”Na,....eh...2 bulan ke depan...mas mungkin nggak bisa di sini dulu...”
”Seperti biasa....aku nggak bisa komplain kan....”
”Jangan begitu dong.....mas sedang ada kesibukan kerja...”
”Bukannya sibuk sama Teti mas...?”
”Na...jangan mulai lagi dong, benar kok, mas sedang menjalin kerjasama baru dengan investor. Dan investor ini mau membuka usaha ini di daerahnya di Sumatra sana. Jadi mas harus bolak – balik ke sana. Tentu dengan kesibukan ini mas nggak bisa ke mari.”
”Terserah mas sajalah....tak bisa kemari, tapi tetap bisa ke rumah mas yang satu lagi kan ? Sebenarnya rumah di sana dan di sini juga sama – sama di Jakarta kan ?”

Dedi diam saja. Memang benar dia tak bohong kalau dalam 2 bulan ke depan harus bolak balik mengurus kerjaan. Tapi sedikit banyak jawaban Anna juga telak menohoknya. Ia mencoba mengalihkan situasi...

”Bagaimana kabar Beni ?”
”Baik seperti biasanya. Mungkin mas yang kurang merhatiin anak itu. Ingat mas, dulu waktu kita mengambilnya, kita sudah berjanji akan merawatnya dengan baik. Kalau mas sibuk sampai tak punya waktu buat aku, nggak masalah...aku mulai TERBIASA. Tapi paling tidak mas HARUS menyempatkan waktu buat mengajak anak itu pergi sesekali. Sadar nggak dalam 2 tahun ini mas amat jarang mengajak Beni pergi.”
”I...iya sih. Pas sekarang aku datang dia lagi pergi sama mas Wawan.”
”Gimana kabar Teti mas ?”
”Baik...baik, dia titip salam buatmu.”
“Salam balik. Sesekali suruh ia datang kemari. Sendiri saja kalau lagi senggang. Aku nggak bakalan gigit dia kok.”
”Iya...iya, mas juga sudah sering menyarankan hal itu. Tapi itulah...si Teti bilang...dia masih malu sama Kak Anna, sungkanlah sama Kak Anna...sulit...”

Pembicaraan dan suasan yang mulai membaik, juga perasaan Anna yang mulai kembali senang karena bisa kembali merasakan kehangatan dan juga menghabiskan waktu mengobrol santai dengan suaminya yang jarang ia dapatkan belakangan ini, akhirnya mulai memanas kembali. Sepele...atau mungkin tidak, tergantung dari sisi mana kita melihat. Sisi Dedi atau sisi Anna.

”Mas....ngobrolnya nanti lagi ya...sekarang.....”
”Na...aku capek nih, barusan kan sudah, besok pagi saja ya. Biarkan mas istirahat dulu ya.”
”Mas ini gimana sih...? Sudah jarang datang, sekalinya datang juga nyebelin. Memang, Anna tahu, Anna nggak semenarik Teti lagi yang lebih muda kan ?”
”Ya ampun..Anna, jangan bicara seperti itu. Sungguh, mas lagi lelah. Perusahaan kita sedang mengerjakan beberapa proyek. Kau kan paham, dulu kalau aku sedang dalam situasi seperti ini juga sering lelah. Tolong, jangan marah terus.”
”Ah...sesuka mas Dedi sajalah. Tidur deh sepuasnya...aku tidur di kamar Beni biar tak mengganggu istirahat mas.”

Anna segera memakai dasternya. Dedi yang tak mau ribut, membiarkan. Biarlah besok pagi, kalau sudah tenang suasananya ia bicara. Susah...serba salah. Anna bukannya tak tahu kondisi seperti ini, memang kalau suaminya sedang repot kerjanya, cepat lelah. Namun di sisi lain ia juga berhak kesal, sekian lama suaminya jarang datang. Sekalinya datang mengabarkan 2 bulan ke depan akan sibuk dan tak bisa datang ke sini. Sudah itu, sekian lama ia tak dijamah oleh suaminya, baru juga main sekali, suaminya malah mau tidur, siapa yang tak marah. Lebih baik malam ini ia tidur di kamar Beni yang sedang kosong. Seperti adatnya yang sabar dan tak mau marah, Dedi pasti akan membiarkannya, menunggu kemarahan reda.

Dedi hanya menghela nafas, duh urusan kok bukannya beres malah runyam. Secara teori sih harusnya gampang, punya 2 istri yang cantik dan sama – sama menggairahkan harusnya bisa membuat semua lelaki iri. Tapi hidup bukan hanya seks semata. Ia harus bekerja, mencari nafkah, tentu saja ia lelah. Permintaan Anna dan kemarahannya beralasan, tapi Dedi bukan anak muda lagi. Dedi diam sambil berbaring, ide gila yang belakangan sering muncul itu kembali menyeruak....ah ide itu lagi.....dia hanya diam melamun. Belakangan ini karena terlalu seringnya ide itu terlintas, ia mulai memikirkannya, merasakan pertentangan juga kemungkinannya dalam memikirkannya. Ah...tidak putusnya...Anna tak bakalan menyukai atau menerima ide gila ini. Dedi pun tertidur.

Sementara Anna setelah keluar kamar, ke kmar mandi depan, mencuci m3meknya, lalu menuju dapur, membuat kopi instant di gelas ukuran besar, mengambil asbak dan rokoknya. Ia membuka kamar Beni, menyalakan lampunya. Duduk di bangku belajar Beni. Mulai menyalakan rokoknya, baru jam 11 lewat. Makin parah saja...... pikirnya, sungguh aku rela dan ikhlas saat dia mau menikah lagi demi impiannya, bisa menerima pula saat belakangan ini dia mulai jarang di sini. Tapi saat dia datang, salahkah aku menuntut hakku sebagai istri...yang kalau mau jujur sudah jauh berkuarang kuterima ? Tangannya iseng memainkan pulpen di pinggiran meja belajar Beni, tiba – tiba menyetuh mouse komputer, layar monitor LCDnya menyala. Anna terkejut....duh si Beni, pasti lupa matiin komputer. Dia tersenyum melihat desktopnya menampilkan foto dia dan Beni yang sedang berangkulan saat pergi ke Bandung. Suaminya yang memfoto mereka. Sudah lama mereka tak pergi bareng. Ah sudahlah sekalian saja aku browsing, menghilangkan kekesalan hati. Memang biasanya Anna di kala senggang suka browsing. Biasanya memakai laptop di kamarnya.

Dan bukannya Beni lupa matiin komputer waktu mau pergi tadi. Dia pergi tadi sore. Sedari siang memang Beni yang kalau Sabtu libur sekolah, asik menghabiskan waktu dengan main internet. Browsing situs – situs favouritenya. Jam 3 tadi, Rio kakaknya menelepon, menanyakan Beni yang belum datang, ya...ampun pikir Beni, keasikan main internet...lupa. Padahal mereka sekeluarga mau berangkat jam 4. Duh tanggung, Download managernya lagi download beberapa file seru nih, cukup besar ukurannya, sayang kalau diputus..sudah setengah jalan Beni menutup sekaligus jendela browser firefoxnya...klik...klik, nggak mengindahkan message yang keluar, tutup saja. Meletakkan mousenya ke pinggir. Layarnya nggak usah dimatiin, nanti mati sendiri. Beni lalu bersiap – siap, mengambil kunci motor, mematikan lampu kamar, keluar kamar, mencari mamanya, lalu pergi. Tak khawatir, sebab mamanya jarang dan hampir tak mungkin memakai komputer di kamarnya, sebab mama punya laptop sendiri. Sebuah pemikiran yang logis dan tak salah sebenarnya.

Anna mengklik icon browser firefox seperti yang biasa ia lakukan saat mau browsing. Menunggu sebentar...lho...apa ini....dibacanya pop up message yang keluar...sorry..bla bla bla...do you want to restore your previous...wah kayaknya Beni waktu terakhir memakai sedang buru – buru, tadinya Anna mau mengklik No, tapi penasaran ia klik opsi sebaliknya. Anna menghisap rokoknya. Tak lama browser selesai meloading halaman – halaman. Ada beberapa tab yang terbuka. Anna mengernyitkan dahi melihat halaman yang sedang terbuka. Sungguh Anna menyadari anak seusia Beni sedang dalam masa puber dan penasaran dalam hal seks dan wanita. Anna juga tahu bahaya internet bagi remaja, tapi prinsipnya yang salah bukan internetnya, semua berpulang pada perilaku pemakainya. Lagipula bagi Anna, tak perlu memfilter atau membatasi komputer Beni, biar dia belajar bertanggungjawab, sesekali pasti anak remaja seusianya suka nakal, tak bisa kita kontrol terus menerus. Tapi tak urung ia mengernyitkan dahi melihat halaman web itu, tampak thumbnail foto – foto wanita, dia mengklik satu...astaga kok bisa muat sih, satu lagi...ya ampun gede amat...duh gila sampai sesak begitu..... Sejauh ini Anna memakai internet di kamarnya memang hanya membuka situs yang berkaitan dengan dunia wanita, kesehatan, fashion atau berita, makanya dia sangat terperangah melihat semua yang di komputer Beni. Anna mengklik tab yang lain...duh si Beni..apa nih MILF...Mother I’d Like To fish, apalagi ini ? Kembali Anna mengklik beberapa gambar. Anna kembali menyalakan rokoknya, mulai membuka tab yang lain. Ini apa lagi...Anna membaca bluefame.com, nampaknya semacam forum, sudah posisi login, ia melihat layar, mencari kepala judul..apalagi nih Cerita – Cerita Seru...Incest...ia kembali mengernyitkan dahi. Dilihatnya judul...judul yang ada...mamaku...ibuku....mama....mama juga, penasaran ia klik satu judul Irwan 1: Mamaku Pengalaman Pertamaku, membacanya dengan berdebar. Selesai, ia klik judul lain Si Mamat Punye Cerite...ia baca lagi....mendebarkan juga. akhirnya Anna menutup semuanya.

Anna bersandar di kursi, meminum kopinya. Ia teringat artikel yang pernah ia baca, di situ diterangkan, biasanya secara bawah sadar sekalipun, orang akan otomatis membuka atau mencari situs yang sama dan setipe yang sesuai kebiasaannya. Sedikitnya itu merefleksikan dan menggambaran selera dan obsesi orang itu. Contohnya yang suka situs fashion gaya eropa misalnya akan selalu berusaha mencari dan membuka situs lain yang sejenis, kalaupun membuka situs berbeda, tapi tetap di antaranya akan ada situs idolanya. Dilihat dari situs – situs di komputer Beni semuanya memiliki keseragaman, gambar wanita – wanitanya selalu sekitar usia 30 ke atas, bertetek besar...,belum lagi cerita yang ia baca tadi. Untuk meyakinkan...mudah – mudahan si Beni belum menghapus historynya....ya belum...Anna kemudian mengklik link – link halaman web yang ada di history...sama...sama...semodel....nggak beda....duh Beni..Beni. Anna lalu menutup semua browser. Sengaja tak mematikan komputernya. Ia kembali menyalakan rokoknya...berpikir.

Ampun.....Beni, nakal juga ya anak ini. Dia tak akan mencabut fasilitas internet, itu tak akan menyelesaikan masalah. Di rumah dicanut, di luaran mana bisa ia mengontrol. Tapi ia akan bicara kepada Beni. Terus kenapa pula anak ini, usianya 17 tahun lebig dikit, tapi dari apa yang Anna lihat tadi, kenapa Beni sukanya justru melihat wanita yang 30 tahunan lebih dan bertetek besar seperti....seperti...astaga...Anna agak kaget memikirkannya...seperti......aku. Anna agak terhenyak memikirkan kemungkinan ini. Probabilitasnya tinggi sekali. Mencoba kembali menganalisa, tak mungkin ibunya. Beni dari kecil sampai sekarang menghabiskan waktu, bertemu dan mengobrol, curhat dan macam – macam lainnya ya sama aku, hampir 90% dari hidupnya. Apa anak itu terobsesi sama aku ? Anna menghembuskan asap rokoknya. Kalaupun iya, bukan salah Beni sepenuhnya. Salahku juga, sedikit banyak dulu ia sering melihat aku mengganti baju, aku yang dengan teledor malah cuek saja. Hal mana yang akan membekas dan tersimpan di otaknya. Di saat usia pubernya ini. Anna menghela nafas, ia pun bersiap tidur. Semoga cuma obsesi semata....Anna merinding saat tiba – tiba terlintas bayangan ia dan Beni sedang bercumbu. Ia segera memejamkan matanya.

Paginya Anna bangun, keluar kamar Beni, nampak suaminya sudah bangun sedang minum kopi dan membaca koran. Suaminya menegurnya, menanyakan apakah ia mau kopi, Anna mengangguk. Dedi segera meletakkan koran dan membuat kopi. Anna kembali ke kamar Beni, mengambil rokok. Ia menyalakan rokok sementara Dedi membuat kopi.Dedi tak melarang saat mengetahui Anna mulai merokok. Dedi menyerahkan kopi.Tak lagi melanjutkan membaca koran, memulai percakapan...

”Na...tentang semalam...”
”Sudahlah mas....aku minta maaf, mungkin sedang emosi.Seharusnya aku menghargai kerja kerasmu.”
”Tidak...tidak perlu begitu....aku juga salah.”
”Ya sudah....sama – sama memafkan dan mengerti sajalah mas. Aku nggak mau nuntut terlalu banyak sama mas.”

Mereka kembali diam, mulutnya mulai asem, Dedi mencomot sebatang rokok milik istrinya. Anna memandang sejenak. Sebersit ide aneh melintas. Juga ia mau menggoda suaminya. Anna memulai percakapan...

”Mas...aku mau bertanya...pertanyaan seandainya.”
”Iya...aku mendengarkan...seandainya apa...?”
”Seandainya aku yang belakangan ini kurang puas dalam hal hubungan seks, mencari kepuasan dengan lelaki lain.....”
”APA...? APA MAKSUDMU ANNA...?”
”Aku belum kelar bicara mas..aku teruskan...mencari kepuasan dengan lelaki lain yang asing, nah apa mas akan rela...?”
”GILA...Tentu tidak.”
”Sudah kuduga. Kalau misalnya lelaki itu mas kenal...?”
”SAMA SAJA...TIDAK JUGA”

 Dedi nampak gusar, menyeruput kopinya, Anna masih asik memainkan rokoknya. Wajahnya tersenyum menggoda sementara memandang suaminya. Ia melanjutkan.....

”Kalau lelaki itu Beni.....?”

Suaminya nyaris tersedak, segera menaruh gelas kopinya, menatap istrinya serius dan heran...

”APA.....jangan....jangan katakan....kau dan anak kita Beni...telah...telah...”
”Tidak...tidak, aku tidak seperti itu mas. Kan sudah kubilang ini hanya seandainya. Apa jawabmu ?”

Sebenarnya Anna sangat yakin sekali suaminya akan menjawab tidak. Setelah ia membuat suaminya terkejut, kini gantian ia yang akan terkejut.....

”Oh begitu...baiklah karena kau sudah bertanya....kalau lelaki itu Beni...mungkin aku akan menjawab....YA.”
”HAH...? APA MAS ? YA ?”
”Kau bertanya padaku kan, jadi aku jawab...mungkin saja ya”
”Mung....mungkin ya ? Jadi mas mau aku seperti itu...?”

Anna benar – benar terkejut. Benarkah ini Dedi yang ia kenal...? Jangan – jangan ini Allien yang menyamar jadi Dedi. Ditatapnya Dedi dengan serius dan menyelidik. Dedi kembali berbicara.

”Na dengar ya. Jangan kau potong dulu omonganku, dengar saja dulu sampai aku kelar bicara. Setuju ?”
”Baiklah...aku dengarkan mas. Harus ada alasan logis dibalik jawaban mungkin YA dari mu ini.”
”Aku sudah egois dengan impianku dan kembali kawin. Itu fakta dan tak bisa dibantah. Dalam hal cinta, jelas aku masih mencintaimu, namun sedikit banyak aku menelantarkan kau. Bukan dalam materi. Ya, kita tahu tentang lumayan besarnya hasratmu hehehe, dan aku telah mengurangi dan mengabaikan hal itu, jelas aku bersalah. Itu fakta juga tak bisa dibantah. Lalu karena aku merasa bersalah tentu saja kepikiran, bahkan akhirnya timbul ide yang konyol dan gila, dan anehnya...yang kau tanyakan itu adalah ide tersebut. Yang aku tak berani tanyakan ke kau, takut kau tersinggung. Tapi karena kau tanya, aku jawab saja.”
”Mengapa kau jawab Ya, apa kau benar – benar rela aku melakukan hal seperti itu de..dengan Beni.”

Dedi diam sejenak, menyalakan sebatang rokok lagi, menghembuskan asapnya lalu menjawab....

”Awalnya saat ide itu datang, tentu tidak rela dan menganggapnya Absurd. Lama – lama kok ide itu sedikit masuk akal. Tentu saja tak mungkin aku tak marah kalau kau melakukan dengan orang lain yang jelas – jelas asing. Tapi kalau Beni...ya...gimana ya, aku juga sayang sama anak itu, terlalu sayang. Membayangkan kau dan Beni begitu, awalnya konyol, tapi lama – lama karena terbersit terus, jadi suatu hal yang mungkin. Dan memang baik ke kau atau ke Beni. Kalian berdua tak bisa membuat aku marah.”
”Mas....tapi tadi aku hanya berandai saja....”
”Anna, dengar ya, aku nggak tahu karena alasan atau dasar apa tiba – tiba saja kamu menanyakan pertanyaan tadi. Tapi kita realistis saja, pertanyaan SEANDAINYA....sudah sering terbukti sedikit banyak merefleksikan hasrat dan keinginan diri yang tak disadari. Boleh kau membantah. Tapi....jangan kau tersinggung, kau dan Beni di rumah ini setiap saat. Aku sekarang punya istri lagi. Mana aku tahu kalau ”SEANDAINYA” suatu saat kalian melakukan hal itu...? Tapi kalau itu terjadi...maka kau tahu jawabnya....YA.”

Anna benar – benar kehabisan kata. Tapi setelah bisa kembali berpikir dengan tenang Anna mulai berbicara....

”Jadi mas menyarankan aku seperti itu...?”
”Gimana ya.... menyarankan tidak, melarang juga tidak. Anna aku sadar akan kekuranganku dalam memuaskanmu belakangan ini. Tapi aku tak bisa merubahnya. Namun cintaku tak akan berubah, sampai kapanpun. Kalau kau, yang aku tahu merasa berat dengan jarangnya aku memenuhi hasratmu belakangan ini memutuskan untuk mencari kepuasan dengan lelaki lain, jawabanku Tidak. Tapi kalau suatu saat kau memutuskan melakukannya dengan dan hanya dengan Beni...silahkan. Anggap juga itu sebagai tanda terimakasihku padamu yang telah merelakan aku menikah lagi.”
”Mas...aku tak mungkin....”
”Ssstttt...jangan membuat janji yang kaupun tak pasti. Aku dan kau tak akan pernah tahu. Ingat, yang kita bicarakan adalah hasrat seks, kalau sudah menyangkut hal ini, pikiran bisa tak logis. Nah, lebih baik kita ke kamar, aku mau melunasi hutang semalam......”

Sebulan berlalu. Anna tentu saja tak melakukan apapun dengan Beni. Namun setelah pembicaraan dengan suaminya dulu, juga setelah mengetahui hasrat Beni, sedikit banyak ia mulai memperhatikan Beni. Dia bahkan tak menegur Beni soal masalah internet itu. Suaminya memang tak datang sebulan ini seperti perkataannya, memang sibuk. Urusan uang belanja dan semacamnya tak masalah, biasa ditransfer. Teti istri muda suaminya juga sudah mulai datang, bahkan Anna mengajaknya jalan belanja bersama. Secara kehidupan sehari – hari semua normal. Namun yang mengganggu adalah masalah gairahnya. Berkurang drastis pemuasaannya. Di usianya sekarang ini Anna merasa gairah seksnya meningkat sekali, tapi ibarat baut tak ketemu mur, repot.....

Dia mulai memikirkan dengan sangat serius kemungkinan pembicaraan dengan suaminya. Hasrat sih mengatakan ya, tapi otaknya, normanya, logikanya tetap menjadi penentang utama. Beni memang boleh dibilang oke, ganteng, tinggi, tegap, tapi dia kan anakku. Bahkan tanpa disadarinya, belakangan ini ia mulai menggoda Beni, mulai cuek tak menutup pintu kamarnya saat mengganti baju, mulai sedikit berani memakai baju tidur yang biasanya hanya berani ia pakai di kamar saat bersama suaminya. Sedikit membuat Beni heran dan terangsang tentunya. Tapi tetap saja dirinya tak mampu, bukan hal yang mudah melakukan hal seperti ini. Maka makin terombang – ambinglah Anna dengan pikirannya, dengan masalah hasratnya. Memang suaminya secara jelas telah menyatakan persetujuannya, tapi bagaimanapun ia tak bisa. Dan suaminya lagi – lagi benar dengan perkataannya...pertanyaan ”SEANDAINYA” itu, kini malah membuat Anna bergairah....

Malam minggu ini Beni di rumah saja. Tadi jam 7 dia dan mamanya sudah kelar makan. Setelah itu mamanya menonton TV di ruang tamu. Beni masuk kamarnya, jam 8 ia keluar menggembok pagar dan mengunci pintu. Balik ke kamarnya lagi, secepatnya, hanya menutup pintu lupa dikunci, maklum tanggung. Di kamarnya Beni sedang asik menonton DVD bokep di komputernya, biasa ngambil punya kakaknya waktu ia pulang. Nontonnya pakai earphone. Sementara Anna menonton TV tanpa semangat, sebenarnya ia mengharapkan Beni ikut menonton, biar ada teman ngobrol. Akhirnya jam 9 ia matikan TV, tapi belum mengantuk, jam segini Beni pasti belum tidur, lebih baik aku ke kamarnya mengajaknya ngobrol. Anna segera melangkah ke kamar Beni, diketuknya pintu, agak pelan memang, tak ada jawaban...lagi...tak ada jawaban juga, pelan – pelan ia membuka pintu kamar anaknya itu. Beni tak tahu karena memunggungi mamanya, sedang duduk dengan earphone di kupingnya, serius sekali....Anna mendekat, astaga...Beni pikirnya...nonton film apa lagi anak ini.

Anna duduk dengan perlahan nyaris tak menimbulkan suara di tepi tempat tidur, Beni masih belum sadar, asik menonton. Untung saja ia tak menonton sambil mengocok kont01nya. Anna melirik layar, nampak pemain film wanita yang bertetek besar sedang merem melek disodok lawan mainnya. Sangat panas adegannya. Lama juga ia menonton. Sedikit banyak membuat gairahnya bangkit. Ia merasakan m3meknya agak basah. Tak lama Beni agak menggerakkan duduknya, biasa ganti posisi, nggak nyaman dengan celana yang sesak, saat kepalanya agak menoleh.....astaga...mama Anna...gawat deh....tengsin. Mamanya hanya melihat Beni dengan wajah datar, tanpa komentar. Beni segera melepas earphonenya, segera dengan panik mengklik tanda x untuk menutup player. Lalu dengan muka menyesal ia segera bicara...

”Ma...a...anu maaf....aduh....pokoknya maafin Beni ma, Beni bisa jelasin...”
”Jelasin apa Ben..? kamu itu ngapain nonton film kayak begitu...?”
”A...anu ma, namanya juga anak lelaki...ingin tahu...”
”Oh gitu...ingin tahu, terus kalau sudah tahu...ingin apa lagi...? Ingin ngerasain...?”
”Ya...ng...nggak lah ma.”

Anna diam sejenak, nampak berpikir sedang bergelut dengan pertentangannya.

”Ben...kamu malam minggu gini memangnya nggak ada kerjaan lain apa, selain nonton gituan...”
”Ya...ada sih ma, Cuma sekarang lagi malas main game atau internet...”
”Ah...internet ya. Mama juga lupa, mau buka situs jorok...? situs yang isinya wanita usia 30an lebih, yang teteknya besar, terus juga baca cerita jorok yang isinya obsesi terhadap mamanya, ibunya, tantenya, begitu kan...?”
”Lho...lho kok...”

Beni seperti kucing kebakaran jenggot, kok mama Anna bisa nembak dia secara tepat. Belum heran keterkejutannya mamanya mulai berbicara lagi, lebih mengejutkannya...”

”Ben...yang jujur ya...kamu sering mengkhayalkan mama kan...?”
”Eng...eh...duh...i...iya.”
”Nah...daripada kamu berkhayal, sekarang kamu wujudkan deh.”
”HAH...?A..apaan ma...?”
”Iya...kamu nggak mau mewujudkan khayalanmu ? Kalau mau, ayo, mama kasih kesempatan.”

Masih heran juga tak percaya Beni dengan ragu – ragu mendekat, tak menyangkalah dia, Beni sendiri sebenarnya sudah siap kalau mama Anna memakinya saat ketahuan nonton film tadi, tapi kok malah jadi begini. Ia mendekat Anna yang sedang duduk...

”Kamu pasti sering membayangkan ini kan...?” Anna menunjuk teteknya. Beni hanya diam.
”Mama tahu kok, film yang kamu tonton juga sama, wanitanya bertetek besar. Lho kok diam, kamu nggak mau merasakannya...?”

Beni diam saja, Anna memegang tangan Beni, mengarahkannya ke teteknya. Tangan Beni agak gemetar saat menyentuhnya. Jauh...jauh lebih besar daripada tetek si Astri. Awalnya Beni hanya memegang dan meremas dengan takut – takut, namun saat dilihatnya Anna hanya diam saja, percaya dirinya mulai timbul, remasannya makin kuat dan lebih berani. Anna mulai memejamkan matanya seekali, mulai merasakan rasa nikmat mengaliri tubuhnya. Kini Beni bahkan sudah berani menggunakan kedua tangannya. Terasa pentil mamanya yang besar dibalik dasternya itu. Kont01nya..... Seingat Beni belum pernah sekeras ini

Lagi asik meremas, mama Anna menyuruhnya berhenti dan menyuruh beni membuka bajunya...semuanya kata mama Anna. Beni menurut saja. Saat ia sudah telanjang mata Anna menatap kont01 Beni dengan kagum....sedikit lebih panjang dari Dedi, tapi tak gemuk. Nah Beni sudah membuka bajunya, biar adil maka Anna segera berdiri, sementara Beni duduk di tepi tempat tidur. Anna mulai menarik dasternya, CD hitamnya terlihat oleh Beni, perutnya dan tetek besar yang menggelantung indah itu, yang pentilnya mengacung sempurna....lalu saat mamanya mengangkat tangan membuka dasternya, Beni melihat rimbunan bulu keteknya yang lebat...astaga....Beni terangsang sekali. Astri tak mempunyai bulu ketek, namun saat ia melihat bulu ketek Anna, sungguh nafsu Beni naik sampai ke ubun – ubun....gila. Kini Anna hanya memakai CD Hitamnya.

Dan terlalu indah rasanya untuk Beni bayangkan....mama Anna mendekat ke arahnya yang sedang duduk di tepi ranjang, mamanya berjongkok di hadapannya, tangannya....oh tangan halus mama Anna mulai menggenggam kont01nya....membelainya dengan enak, memainkan bijinya, mengocoknya perlahan....lalu...astaga lidahnya mulai menjilati kepala kont01nya.......ya ampun...kalau ini mimpi, tolong jangan biarkan aku bangun....tapi ini bukan mimpi. Beni merasakan lidah mamanya mulai menjelajahi batang kont01nya memberikan sensasi kenikmatan pada titik – titik sensitifnya, dan mulut seksi itu mulai menelan kont01nya, mengulum dan menghisapnya....emutannya sangat kuat dan menggairahkan. Beni mendesah lemah....Anna mendongak sesaat matanya bertemu mata Beni....Beni makin bergairah. Benar – benar lewat si Astri pikir Beni mengomentari hisapan maut milik mamanya. Apalagi saat bijinya dihisap dan diemut....oh....sensasinya terasa sampai ke sendi...gilaaaa...Beni merem melek.

Oh apa lagi ini....mama Anna nampak makin mendekat, kont01 Beni diletakkan di antara teteknya, sementara kedua tangannya mengepit dan ditangkupkan di pinggiran teteknya, membuat kont01 Beni terjepit dengan manisnya di belahan tetek besarnya. Beni sangat antusias, dia sering melihat adegan ini di film bokep, sayangnya tetek Astri tak memungkinkan untuk mencoba cara ini. Saking antusiasnya Beni dengan lugunya berucap...

”Ma...tahu juga gaya ini ya...”
”Beni..Beni..., waktu kamu belum bisa jalan saja mama sudah kenal dan ngerti ngewek. Ya pahamlah kalau cuma gaya begini...”

Mau nggak mau Beni nyengir juga menyadari keluguannya. Mamanya juga nyengir. Mama Anna mulai menggoyangkan tetek besarnya itu, mendepetkannya makin menjepit kont01 Beni, saat tetek yang sebelah goyang ke atas, yang sebaliknya ke bawah, begitu terus bergantian, makin lama makin cepat....Aaahhh...Beni mendesah, gila enak banget kont01nya....dijepit tetek yang besar...tiada tara. Makin cepat saja Anna memainkannya, ketika ia melihat anaknya mendesah keenakkan. Beni sampai kelojotan, mati – matian menahan diri....

Akhirnya Anna menyudahi acaranya memainkan kont01 Beni. Ia berdiri, naik ke tempat tidur Beni, berbaring. Beni segera mendekat dan dengan tak sabaran mulai menyerbu teteknya....tangan remaja itu dengan ganas meremasi dengan kuat tetek besar milik mamanya yang sudah lama ia bayangkan. Keras dan kenyal. Mulutnya mulai menghisapi pentilnya yang mengacung itu, dijilati, digoyang – goyang dengan lidahnya, bergantian kiri dan kanan. Beni lalu mengangkat tangan Anna,, penasaran...ia mulai menciumi keteknya yang hitam itu, aromanya sungguh harum dan memberikan sensasi sensual, dengan rakus ia mulai menciumi, menjilatinya...Anna menggelinjang kegelian.

Lalu pada akhirnya Beni menurunkan tubuhnya, menatap selangkangan Anna. CD Hitamnya masih ia kenakan. Nampak tebal mengundang. Sedikit menampakkan jembut yang menyembul di pinggirannya. Jari Beni mulai menggosok CD itu, perlahan lalu mulai cepat. Anna mulai merasakan nikmat, m3meknya mulai basah. Beni menarik pinggiran Cdnya yang menutupi m3meknya, seperti menyempitkannya, lalu menariknya ke atas, membuat CDnya terjepit di antara belahan m3meknya yang kini terlihat jelas. Beni memandangi pinggiran dan permukaan belahan m3mek mamanya yang ditumbuhi jembut itu. Segera Beni menurunkan CD hitam itu, ingin melihat lebih jelas. Terpesona memandang m3mek tebal itu. Di atasnya dengan jembut hitam yang lebat, belahan m3meknya sudah agak mekar, sedikit memperlihatkan isinya yang kemerahan

Beni menunduk mendekatkan kepalanya....awalnya Anna merasa risih, dia memang mau melakukannya, maksudnya langsung saja, kalau Beni harus memainkan m3meknya dia masih sungkan...tapi sudahlah...go ahead, toh aku juga tadi mainin kont01 anak ini. Beni mulai mendekatkan mulutnya...aroma enak memenuhi rongga hidungnya.Mulutnya dengan lembut mulai menciumi jembut mamanya. Sesekali menjilatnya, agak basah jembut Anna kini. Lalu ia mulai menyapukan bibirnya naik turun pada belahan m3mek Anna. Enak sekali...diciuminya dan dijilatinya seluruh permukaan m3mek itu, akhirnya fokus ke daging sebesar kacang yang menonjol itu, lidahnya mulai menjilati dengan ganas, memainkannya dengan semangat it1l tersebut....setelah agak lama jarinya disodokkan ke lobang m3mek mamanya. Lama ia bermain di bawah sana...Oh..No...Desis Anna....gila...Beni....

”Awwww....Bennnnn....”
”Pinteeerr....kammuuuu.....Aiiihhhh......”
”Ogghhhhh.....Yessssss..........”

Anna mengejang...orgasme yang sudah agak lama ia jarang dapatkan. Beni segera menghetikan kegiatannya, menaiki tubuhnya, menindih tubuh Anna, bersiap menyodoknya...

”Ben...kamu bandel juga ya....cara kamu....sudah pernah begituan ya...nakal kamu...”
”Iya...sama teman ma...itu juga pakai kondom...”

Ya...setelah sekarang dia dan mamanya sama – sama bugil, buat apa lagi Beni sungkan atau berbohong..? Tak ada gunanya kan. Beni mulai bersiap, tapi Anna kembali berkata...sedikit ironi...

”Yang...nanti keluarin di dalam saja...toh tak bakalan jadi.”

Beni agak sedih jadinya, tapi hanya sesaat, Beni mulai menurunkan pantatnya....blesss...mantap. Beni diam sebentar...enak. jadi begini rasanya kalau tak pakai kondom...nyamannya pikir Beni.Anna menatap beni yang lagi bengong sebentar menikmati moment emasnya, tak sabaran jadinya, segera menggoyangkan pantatnya...Beni tersadar, mulai bergerak memompakan kont01nya...keluar masuk dengan konstant dalam m3mek mamanya yang terasa masih sempit dan hangat itu. Setiap gerakannya terasa nikmat, kont01nya seakan dibelai oleh cairan yang lembut dan sejuk.

Sementara tetap memompakan kont01nya, mata Beni memandang pada tetek besar mamanya yang selalu membuatnya terangsang itu, tetek itu nampak bergoyang, Beni memepercepat sodokannya, tetek itu bergoyang makin cepat. Nafsuin bangeeet, Beni segera menciumi tetek Anna dengan ganasnya. Sampai kegelian jadinya mamanya, mana hisapan Beni sangat kuat pada pentilnya, Anna mendesah erotis sekali. M3meknya mulai terbiasa dan menikmati kont01 anaknya, makin merasakan nikmatnya setiap sodokan kont01nya.

”AAAhhhh....Teruussss.....”
”Oooohh,,,,Ooohh......Yeesssss...”
”Ughh.....tekeeeenn Beeennnn......”

Anna kembali mengejang dengan kuat, Beni merasakan semburan hangat membasahi kont01nya, orgasme milik mama Anna. Dengan sedikit tergesa Beni mempercepat sodokannya, lalu mencabut kont01nya. Ditariknya tangan mamanya.

Anna segera bangkit, Beni membuat posisinya menungging, lalu Blesss...kont01 beni kembali menerobos m3meknya dari belakang. Bunyi pahanya beradu dengan Beni yang sedang menyodoknya terdengar nyaring di kamar in, menambah tinggi birahi. Beni dengan puas menyaksikan kont01nya keluar masuk, sesekali ia meremas bongkahan pantat mamanya yang sangat montok itu. Dia terus menyodok tanpa kenal lelah. Ditundukkan sedikit badannya, tangannya menjulur, meremasi tetek mamanya. Enak banget sambil nyodokin m3mek mamanya yang nungging, tangannya mainin tetek mamanya....makin nafsu saja Beni, ia menyodok makin kuat dan cepat...Anna benar – benar kelojotan...dan kembali mendapatkan orgasme...ampun dashyat juga anak ini......sementara Beni makin menggila saja, kont01nya menyodok sekuat dan sedalam mungkin...plok....plok...ahhh...desahnya...akhirny a ia merasakan....crooot....croootttt...pejunya memancar dengan kuat dan banyak, membasahi m3mek mama Anna. Terdiam dia, badannya menempel pada punggung mamanya yang sedang nungging itu. Setelah diam agak lama ia mencabut kont01nya yang masih keras.

Anna segera bangun, terasa peju yang mengalir di m3meknya. Baru saja ia mau membersihkannya, Beni sudah menariknya lembut, membaringkannya agak miring, dan Beni berbaring di sampingnya, tanpa banyak bicara mengangkat satu kaki Anna, lalu....ya ampun....langsung lagi ? Kont01 Beni kembali menyodok m3meknya, dan Beni mulai mencumbunya, Anna tanpa ragu membalas ciumannya, panas dan bergelora....Tangan anak itu kembali meremasi teteknya...Anna mendesah, tangannya merangkul kepala Beni, memeperlihatkan keteknya yang lagi – lagi segera habis dilumat oleh Beni. Sodokan kont01nya juga makin kuat, bahkan Anna merasakan kont01 Beni makin membesar saja di dalam m3meknya yang sudah sangat basah itu. Gila...bisa jebol lagi nih.....Anna memandang ke arah bawah, menyaksikan kont01 milik naknya yang sedang menerobos keluar masuk m3meknya yang sudah memerah itu...gairahnya jadi terbakar.....Beni benar – benar merasakan betpa nikmatnya m3mek mamanya ini, tak memperdulikan keringat yang mengalir, makin asik memompakan kont01nya, terkadang desahan suara mamanya terdengar, sangat erotis dan merangsang di telinganya. Dan lagi....mamanya mendapatkan orgasme, mamanya memburu bibirnya, menciuminya dengan kuat, membuat beni kehilangan kontrol sesaat. Beni masih saja memompa, saat ia merasakan bijinya dimainkan dan diremas, gilaaaaa....enak banget makin menambah nikmatnya setiap sodokan yang ia lakukan....oooohhh.....akhirnya batas Beni pun tiba, denyutan itu menandakannya....kembali ia mencium bibir mamanya...kali ini dengan hangat dan lembut....crooot...crooot....selesai. Lemas dan bahagia. Daerah selangkangan mereka berdua sudah basah dan lengket, cairan putih seperti busa nampak menempel di sekitar paha mereka. Beni segera mencabut kont01nya.

Anna terkulai lemas....ampun...kalau Beni meladeninya seperti ini, hasratnya akan selalu terpenuhi, kalau memang harus begini jalannya, ya terjadilah. Tapi tetap aku harus menjaga wibawa Dedi di mata Beni...

”Ben, rahasiakan ini dari papamu ya.”
”Iya ma. Ma, Beni nggak tahu alasan mama membuat kita melakukan ini, tapi yang pasti Beni senang dan setelah ini akan terus meminta mama, mana bisa berhenti lagi. Paling berhenti kalau ada papa.”
”Hehehe...nakal kamu, ingat, jangan nonton film kayak gitu terus, juga jangan buka situs jorok.”
”Kayaknya nggak deh...mana sempat lagi ? Kan nyodokin mama terus hehehe”

Dan dasar anak muda masih kuat, Cuma istirahat sebentar sudah nyodok lagi. Anna hanya bisa tersenyum saja. Dia dan si buah hati kini telah memasuki babak baru dalam kehidupan mereka.

Sebulan kemudian suaminya datang, setelah selesai urusan kerja sama bisnisnya. Dedi baru saja masuk. Beni lagi di kamarnya. Anna menyambutnya seperti biasa, dan melihat wajah Anna juga senyumnya yang lepas, tahulah Dedi...dia sudah melakukannya. Dedi tersenyum saja. Itu sudah jalannya, biarlah Anna juga berhak meraih impiannya. Kehidupan terus berjalan, akhirnya Teti hamil, kini sudah bulan ke 5, Dedi bagaikan di awang – awang, makin jarang datang aja ke Anna, tapi Anna tak pernah mengeluh lagi......Dan memang Anna tak butuh mengeluh lagi, buat apa...selalu ada Beni anak kesayangannya, buah hatinya, juga pelepas dahaganya......